Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 33)

Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 33)
Ilustrasi: Cindelaras dan ayam jagonya



Oleh: Budi Puryanto

Cerita sebelumnya (Seri-32):

Setelah raja melepas pelukan eratnya, Cindelaras menunjukkan bungkusan yang diberikan oleh ibunya dan diberikan kepada Raja, yang lalu membukanya. Ternyata isinya dua buah “Cunduk Mentul” terbuat dari emas, yang dihiasi dengan batu permata. Indah gemerlapan saat terkena sinar lampu.

“Cindelaras. Ini adalah pemberianku kepada ibumu saat aku meminangnya. Cindelaras, kau adalah anakku. Kau adalah anak Raja Jenggala,” kata Raja.

Cindelaras diam menundukkan kepala dalam-dalam. Pikirannya tidak karuan, antara kaget, senang, dan bingung bercampur menjadi satu. Mendadak dia ingat ibunya yang masih ditengah hutan.

“Cindelaras, anakku. Aku mohon maaf karena telah mentelantarkan kamu dan ibumu. Tetapi aku sudah benjanji untuk menebus semua kesalahanku. Bersabarlah, tetaplah disini dulu. Aku akan mengatur agar hakmu dipulihkan. Ikuti saja apa yang diperintahkan oleh para penjaga. Tidak usah melawan. Yakinlah, anakku, waktunya tidak lama lagi keadilan akan ditegakkan kembali. Tetaplah disini. Sewaktu-waktu aku akan mengunjungimu, Kau akan aman disini. Jangan katakan kepada siapapun kita pernah betremu,” kata Raja lalu merangkul Cindelaras.

Sesaat kemudian raja keluar dari ruang penjara yang ditempati Cindelaras.

*************************************

SERI-33

Padepokan Kiageng Ronggo 

Selesai bertemu dengan raja di Patirtan Balekambang, Ki Patih tidak langsung pulang ke Kepatihan. Dia sengaja mampir ke padepokan Ki Ronggo. Dia tidak bisa menunda lagi pertemuan itu. Sebelumnya, dia memang ada rencana untuk bertemu dengan Kiageng Ronggo. Juga Kiageng Pandan Alas. Namun waktunya belum pasti kapan. Dia menunggu waktu yang tepat sambil melihat perkembangan keadaan. Namun setelah Raja memanggilnya, Ki Patih yakin inilah waktu yang tepat untuk segera menemui Kiageng Ronggo dan setelah itu menemui Kiageng Pandan Alas.

Sebenarnya jarak dari Patirtan Balekambang ke Padepokan Kiageng Ronggo tidak jauh. Dengan kuda yang bagus seperti milik Ki Patih ini, saat fajar pagi mestinya sudah sampai. Tetapi Ki Patih memilih berjalan santai. Bahkan dia sempat beristirahat ditengah jalan.

Sambil berjalan pelan, dia belum bisa melupakan kejadian tadi malam. Dia terus merenungkan pertemuan yang baru saja terjadi. Semuanya diluar perkiraan Ki Patih. Kerumitan yang semula dibayangkan, kini mulai terurai. Jalan yang harus ditempuhnya mulai tampak terang. Raja yang dibayangkan menjadi pihak yang harus dimusuhinya, kini berbalik dipihaknya. Keadaan ini membuat jalan kemenangan makin jelas terpampang didepannya.

“Namun, kekuatan Permaisuri tidak bisa diremehkan. Bagaimanapun, dia punya pengaruh cukup besar. Tokoh-tokoh penting negera masih berada dibawah kendalinya. Apalagi pengelolaan keuangan dan perbendaharaan kerajaan dipegang langsung oleh Permaisuri,” bisik Ki Patih.

“Ditambah lagi, dia menguasai para pendekar sakti dari golongan hitam. Aku tidak boleh menganggapnya enteng. Bila pasukan dibawah Senopati dan pasukan pendekar sakti bergabung, akan menjadi kekuatan besar yang sulit dikalahkan,” katanya.

“Tetapi kekuatan kunci, Raja, berada dipihakku. Posisi raja harus dipulihkan dahulu. Dia tidak boleh dikendalikan lagi oleh Permaisuri. Aku harus berada disisinya lagi untuk menguatkan kendalinya atas kerajaan ini. Tetapi, sayangnya, posisiku sendiri masih lemah. Sebagai Patih, aku tidak memiliki kekuasaan apapun,” keluhnya.

Pagi hari, sekira matahari naik sepenggalah, Ki Patih sudah sampai di Padepokan Kiageng Ronggo. Tuan rumah, Kiageng Ronggo menyambutnya didepan pintu gerbang.

“Sejak malam aku terus kepikiran Kanjeng Patih. Mulai pagi tadi, burung prenjak terus berkicau tiada henti-hentinya. Aku yakin, pejabat tinggi kerajaan Jenggala akan datang. Makanya aku menunggu disini. Silakan masuk Kanjeng Patih,” kata Kiageng Ronggo dengan ramah.

“Ha..ha..ha..Inilah pejabat tinggi kerajaan Jenggala, tapi tak punya mahkota kekuasaan lagi,” jawab Ki Patih sambil tertawa.

Keduanya berangkulan tanda memendam kerinduan mendalam. Lalu berjalan seiring menuju pendopo padepokan. Setiap kali kesini, Ki Patih selalu mengenang masa-masa mudanya dahulu. Saat dia belajar menempa diri dibawah asuhan Kiageng Bharadah atau dikenal juga sebagai Mpu Bharadah.

“Kanjeng Patih memang tidak punya kekuasaan resmi lagi, tetapi dengan ilmu, pengalaman dan kebijaksanaan, pengaruh Kanjeng Patih tak berkurang sedikitpun. Bahkan lebih leluasa mengembangkan pengaruh sampai jauh diluar istana,” kata Ki Ronggo sambil tertawa kecil, yang lalu diikuti oleh Ki Patih.

Setelah saling berkabar baik, dan berbicara ringan mengenang masa lalu di padepokan ini, Ki Patih memulai dengan pembicaraan inti.

“Kiageng Ronggo, aku tadi malam menemani raja di Patirtan Balekambang. Lebih tepatnya, aku menemuinya. Sebenarnya aku dipanggil di Puri Raja, beberapa hari sebelumnya. Tetapi aku beralasan sakit, sehingga tidak bisa menghadap Raja. Kemudian aku menitipkan surat, akan menemui raja diluar istana. Patirtan Balekambang adalah tempat yang disukai raja,” kata Ki Patih membuka pembicaraan.

“Ini suatu kabar gembira, pertanda baik, tetapi juga aneh Kanjeng Patih,” kata Kiageng Ronggo.

“Aneh bagaimana Kiageng.”

“Bukankah raja didampingi permaisuri. Bisa diartikan permaisuri menyetujui pertemuan raja dengan Kanjeng Patih.”

“Tidak, Kiageng Ronggo. Permaisuri tidak ikut. Raja didampingi Sawitri, isteri selirnya yang tertua, tetapi yang paling disayang raja.”

“Oh..ini pertanda apa Kanjeng Patih.”

“Baiklah aku jelaskan. Raja memanggilku, karena jiwanya terguncang setelah mimipi didatangi Permaisuri lama. Permaisuri mengatakan kepada raja, bahwa anaknya sudah ada di istana, agar diperlakukan dengan baik. Sejak saat itu, dia gelisah dan menanggung perasaan bersalah tak tertahankan. Dia ingat lagi peristiwa puluhan tahun silam. Aku dipanggil untuk memastikan, apakah perintah benar-benar telah dijalankan.”

“Kiageng Ronggo bisa membayangkan, betapa terkejutnya aku. Aku diam saja, karena belum tahu keinginan raja yang sesungguhnya. Dia juga mengeluhkan keadaan Pangeran Anom yang menurutnya lemah sebagai calon penggantinya. Menurut raja masa depan Jenggala sangat berbahaya ditangan Pangeran Anom. Apalagi disisinya ada Permaisuri, yang menurut raja akan membawa banyak pengaruh buruk.”

“Raja menyadari banyak kesalahan telah dibuatnya, yang mengakibatkan  terjadinya penderitaan rakyat berkepanjangan. Raja bertekad dalam sisa hidupnya akan memperbaiki keadaan dan mengembalikan kejayaan Jenggala.”

“Aku sedikit lega. Kemudian aku ceritakan yang sesungguhnya. Bahwa aku telah membangkang perintahnya. Aku telah membohonginya. Aku tidak tega membunuh Permaisuri lama yang sedang mengandung putranya.”

“Apa tanggapan raja. Apakah dia memarahi Kanjeng Patih, karena tidak menjalankan perintah itu,” sela Kiageng Ronggo.

“Aku sudah siap apapun yang akan dilakukan Raja. Termasuk apabila harus menerima hukuman berat. Tetapi, diluar dugaanku, raja justru senang luar biasa. Juga aka katakan, bahwa pesan permaisuri lama dalam mimpi itu benar adanya.”

“Karena senangnya, raja sampai turun dari tempat duduknya, dan merangkulku lama sekali. Dia berterima kasih kepadaku. Dia menangis bahagia. Air matanya bercucuran membasahi baju yang aku kenakan.”

“Apalagi saat aku katakan anaknya memang sudah berada di istana. Namun saat ini masih diruang penjara. Dia menjadi tidak terkendali. Ingin segera mengetahui siapa nama anaknya itu.”

“Cindelaras…..” kata Kiageng Ronggo menyahut pelan.

“Ya. Saat kusebut nama Cindelaras, wajah Raja menjadi berbinar segar becahaya. Dia tersenyum senang dan bahagia. Raja mengaku sudah mendengar nama itu. Anak muda hebat yang menggoncangkan negeri Jenggala. Tapi baru tahu, bahwa anak muda itu ternyata anaknya sendiri.”

“Lalu apa yang akan diperbuat raja setelah tahu Cindelaras adalah anaknya,” sela Kiageng Ronggo tidak sabar.

“Ini yang paling penting Kiageng Ronggo. Raja ingin memenuhi sumpah janjinya untuk menebus kesalahannya. Raja ingin mengembalikan kejayaan negeri Jenggala dengan cara mengembalikan hak Cindelaras sebagai putra mahkota, yang akan mengganitkan dia sebagai raja Jenggala kelak.”

Baca Juga:

“Raja yakin, Cindelaras adalah anak muda yang mampu memimpin negara ini. Dia telah mengalami tempaan yang cukup. Dia memiliki kepribadian yang baik. Keberanian, kejujuran, keihlasan, dan yang tidak kalah penting, dia mencintai rakyat Jenggala. Dan, segenap rakyat Jengala juga mencintainya. Buktinya banyak,” jelas Ki Patih.

“Oh..Sang Hyang Widi. Sang Hyang Maha Agung. Kau telah menunjukkan jalan bagi Cindelaras. Ini rupanya misteri tersembunyi yang aku belum mampu memecahkannya,” kata Kiageng Ronggo.

“Apa maksud Kiageng Ronggo,” tanya Ki Patih.

“Saat aku mendengar Cindelaras ditangkap, pikiranku menjadi gelap. Tidak ada setitik pun terang yang bisa menjelaskan, apa makna dibalik penangkapan itu. Nah, sekarang menjadi jelas. Rupanya Yang Maha Agung mendekatkan Cindelaras dengan ayahandanya, raja Jenggala,” jawab Kiageng Ronggo.

“Ya, tetapi misteri belum berakhir Kiageng. Karena jalan Cindelaras tidak mudah. Meskipun raja sudah berjanji akan mengangkatnya menjadi putra mahkota, ingatlah di istana sekarang ada permaisuri baru. Dia punya anak lelaki seusia Cindelaras. Dan permaisuri juga ingin anaknya itu menjadi pewaris raja Jenggala. Bahkan menjadi raja Jenggala kelak, apapun caranya. Itu sesungguhnya yang paling ditunggunya selama ini. Hanya saja, Raja selalu menunda keputusan untuk menyerahkan kekuasaaan kepada Pangeran Anom,” jawab Ki Patih.

“Kiageng Ronggo, raja juga berkata kepadaku. Aku diserahi tugas untuk menyusun strategi penyerahan kekuasaan dari raja sekarang kepada Cindelaras. Raja sudah siap menyerahkan kekuasaannya kapada Cindelaras.”

“Hanya saja, saat ini keadaanku sudah berbeda Ki Ronggo. Aku bukan lagi  Patih yang sepenuhnya. Aku tidak punya kekuasaan apapun lagi. Bagaimana aku bisa menyusun langkah-langkah yang diminta raja. Tanpa kekuasaan ditanganku, semua rencana dan langkah akan mudah dipatahkan.”

Kiageng Rongga tertawa mendengar cerita Ki Patih, terutama penjelasan yang terakhir itu.

“Mengapa Kiageng justru tertawa. Apakah ada yang lucu dari penjelasanku ini.”

“Bukan lucu Kanjeng Patih. Tetapi keluhan yang Kanjeng Patih katakan terakhir itu, sebenarnya itu tidak layak dikeluhkan. Mungkin yang benar justru harus disyukuri.”

“Apa maksud Kiageng Ronggo.”

“Ingat apa yang dikatakan raja tadi. Meminta Kanjeng Patih untuk menyusun langkah untuk memulihkan hak ananda Cindelaras sebagai putra mahkota dan pengalihan kekuasaan raja kepadanyaa. Makna dibalik perkataan raja itu, bisa diartikan bahwa raja terlebih dahulu akan memulihkan kedudukan Kanjeng Patih dengan semua hak yang melekat pada kedudukan itu. Artinya, kekuasaan Kanjeng Patih secepatnya akan kembali. Raja sendiri yang akan mengembalikannya,” kata Kiageng Ronggo.

Baca seri selanjutnya:

Ki Patih hanya tersenyum. Dia percaya Kiageng Ronggo memiliki kemampuan lebih dibanding orang lain. Apalagi sebagai putra Mpu Bharadah, tentu saja ilmunya linuwih.

“Saya minta Kiageng Ronggo membantu saya memenuhi perintah raja ini. Dalam hitunganku, pekerjaan ini tidak mudah. Tetapi karena sudah menjadi tekad kita untuk turut memperbaiki kebobrokan negeri ini, maka tugas itu harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung-jawab.Kita tidak punya waktu panjang Kiageng Ronggo. Inilah saatnya yang tepat, yang kita tunggu-tunggu selama ini. Kita harus bertindak sekarang, sebelum negeri ini masuk jurang kehancuran yang lebih dalam lagi. Kita tidak boleh terlambat. Kita tidak boleh ragu-ragu,” kata Ki Patih.

“Saya setuju Kanjeng Patih. Apa yang harus aku lakukan.”

“Kiageng Ronggo pasti sudah tahu apa yang dilakukan oleh Permaisuri selama ini. Dia terus menggalang kekuatan dari kelompok orang-orang sakti aliran hitam. Terutama aliran ilmu warisan Nyi Calon Arang. Permaisuri merupakan tokoh kuat dalam aliran ini. Selama ini dia yang membiayai semua kebutuhan kelompok ini. Dia yang menjamin keamanan bangkit dan berkembangnya aliran ini. Para murid dan pewaris ilmu Nyi Calon Arang dari seluruh negeri ini merasa mendapatkan kesempatan hidup lagi. Dan mungkin juga mewarisi dendam gurunya Nyi Calon Arang yang dikalahkan Mpu Bharadah.”

“Dalam hitunganku, aku merasa yakin semua yang dilakukan Permaisuri itu bermuara pada satu tujuan untuk mendukung cita-citanya, menjadikan anaknya Pangeran Anom sebagai Raja Jenggala. Dia yang duduk sebagai Ibu Suri. Dengan begitu maka kekuasaannya akan makin besar. Bahkan akan melebihi raja itu sendiri.”

“Aku minta Kiageng Ronggo menggalang semua kekuatan kelompok putih dan orang-orang sakti yang sejalan dengan kepentingan perjuangan kita ini,” kata Ki Patih.

“Aku sependapat dengan gagasan Kanjeng Patih. Dan aku sudah melakukan itu Kanjeng Patih. Karena aku ingat pesan Kiageng Sepuh Mpu Bharadah. Meskipun Nyi Calon Arang sudah meninggal dalam pertarungan, tetapi murid-muridnya masih banyak. Mereka lari dan bersembunyi kemana-mana. Mereka akan bangkit lagi suatu ketika jika saatnya memungkinkan. Dan pesan Mpu Bharadah itu rupanya benar. Sekarang mereka sudah bangkit dan menyusun kekuatan baru dibawah kendali Permasuri saat ini,” kata Kiageng Ronggo.

“Baguslah Kiageng Ronggo. Kalau begitu, saya harus segera kembali ke Kepatihan untuk mengamati perkembangan keadaan di istana. Saya berharapa keadaan akan tetap terkendali, sehingga tidak perlu terjadi beturan yang membawa korban dipihak rakyat,” kata Ki Patih.

Tidak lama kemudian Ki Patih kembali pulang. Dalam perjalanan pulang hatinya menjadi terbuka. Pendapat Kiageng Ronggo telah berhasil mendorong kembali semangatnya yang sempat mengendor.

Alam raya negeri Jenggala dirasakannya makin indah. Gunung Arjuno yang biru menjulang dilangit. Tebing-tebing terjal dikanan-kiri jalan yang dilewatinya. Sungai mengalirkan air yang jernih menyegarkn. Juga sesawahan menghijau membentang luas memberikan harapan hidup yang lebih baik.

Dengan kudanya, Ki Patih terus melaju menuju rumahnya.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=