Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 40-TAMAT)

Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 40-TAMAT)
Ilustrasi: Cindelaras dan ayam jagonya



Oleh: Budi Puryanto

Cuplikan seri sebelumnya (Seri-39):

Semuanya serba cepat. Semuanya serba diluar dugaan para nayaka praja. Cindelaras yang kemarin masih dipenjara, kini sudah diangkat menjadi Pangeran Mahkota. Dia calon raja Jenggala nantinya.

“Seluruh nayaka praja harus menghormati keputusanku ini. Ki Patih aku minta segera mengumumkan kepada seluruh rakyat Jenggala tentang keputusanku ini. Bagi siapa saja yang menolak keputusan ini akan berhadapan denganku. Apakah kalian setuju dan mendukung keputusanku?” tanya raja.

“Setuju Baginda Raja dan mendukung keputusan Baginda raja,” jawab segenap nayaka praja yang hadir.

“Raden Panji Inu Kertopati berdirilah. Dipundakmu negeri Jenggala aku titipkan,” kata Baginda Raja.

“Ini adalah keris pusaka kerajaan. Sebagai pertanda restuku. Terimalah,” kata raja, sambil menyerahkan keris pusaka kepada Raden Panji Inu Kertopati.

Bisa diduga, kejadian di Pisowanan Agung hari itu menyebar luas dengan cepat seperti ingin. Kabar itu menggoncangkan negeri Jenggala. Seluruh rakyat Jenggala dibuat kaget oleh keputusan Baginda Raja.

Kabar itu diterima oleh permaisuri baru pada hari itu juga. Yang membawa kabar itu tidak lain adalah Ki Senopati, yang hadir pada Pisowanan Agung itu.

*************************************

SERI-40

Permaisuri Muda sangat marah mendengar laporan dari Ki Senopati. Segala usaha yang dia bangun bertahun-tahun lamanya sudah hancur berkeping. Harapannya sudah musnah. Mimpinya menjadikan anaknya Pangeran Anom sebagai Pangeran Mahkota benar-benar hilang.

“Ini gara-gara Patih sontoloyo itu. Dia telah menipuku selama ini. Aku memang tidak pernah percaya dengan apa yang diucapkannya. Dugannku selama ini benar, permaisuri tua itu masih hidup. Tapi aku tidak mengira sama sekali kalau Cindelaras ternyata anak Baginda. Kurang ajar si tua bangka itu,” celoteh Permaisuri Baru didepan Ki Senopati.

“Apa yang harus kita perbuat tuan putri,” kata Ki Senopati.

“Tidak ada cara lain. Kita harus melawan. Dengan cara apapun aku harus merebut tahta itu untuk anakku. Kalau anakku tidak bisa, maka yang lain juga tidak boleh menduduki tahta itu. Senopati, kau siapkan pasukanmu. Pada hari yang kita tentukan, kita angkat senjata. Pasukanmu digabung dengan pasukan para pendekar sakti yang sudah aku himpun, akan menjadi kekuatan yang dahsyat. Kita bersama-sama menyerbu istana. Siapa saja yang menghalangi harus kita singkirkan,” kata Permaisuri tegas.

Senopati diam membisu. Pikirannya berkecamuk. Dia bingung apa yang harus dikatakan kepada Permaisuri.

“Senopati. Mengapa kamu diam saja. Kamu ragu dengan perjuangan ini. Kamu takut untuk menyerang istana. Ingat Senopati, kedudukanmu sekarang berkat bantuanku. Kamu harus menentukan pilihan sekarang. Kalau kita menang, kursi Patih akan aku berikan kepadamu. Saya tidak menghitung Ki Tumenggung, yang nasibnya tidak jelas hingga sekarang. Mungkin dia sudah menjadi bangkai di wilayah timur.,” kata Permasisuri.

“Kau jawab sekarang. Kamu ikut barisanku atau kau akan menjadi musuhku. Waktunya tidak banyak Senopati. Kita harus segera menyusun rencana penyerbuan ke istana secepatnya, sebelum mereka menyerang kita. Kita harus mendahului menyerang,” tegas Permaisuri.

Entah kekuatan apa yang dipancarkan dari diri Permaisuri itu, akhirnya membuat Ki Senopati menurutinya. Kedudukan Patih tentu saja menggiurkan Senopati yang memang memiliki ambisi kekuasaan yang besar.

“Baiklah Tuan Putri Permaisuri, saya siap menyerang istana kapanpun. Pasukanku juga sudah gatal untuk berperang, setelah digladi sekian lamanya,” kata Senopati.

“Bagus. Aku kira pasukanmu tidak ada masalah. Karena semangat tempurnya sudah sangat tinggi. Sekarang kamu perintah pun, mereka akan bergerak. Pasukanku pendekar sakti pun begitu. Mereka sedang menunggu perintahku,” tegas Permasuri dengan amarah yang meluap-luap.

“Pasukanmu tidak ada masalah karena berada di kotaraja dan terus melakukan siaga. Sekarang pikirkan, bagaimana agar gerakan para pendekar kearah kotaraja tidak mencurigakan.”

“Harus ada alasan yang masuk akal agar mereka tidak dicurigai.”

Permaisuri tidak tenang, dia berjalan mondar-mandir dirumah besar yang menajadi markasnya itu. Sejak kedudukan Ki Patih dikukuhkan lagi oleh Baginda Raja, dia membuat markas diluar kotaraja. Dia jarang kembali ke istana. Dan tidak pernah sama sekali ikut Pisowanan Agung. Dia mengukuhkan tekadnya, dengan cara apapun harus bisa merebut kekuasaan di Jenggala.

Tiba-tiba dia menemukan gagasan cemerlang. Dengan senyum sinis, wanita yang masih cantik di usianya yang tidak muda lagi itu, lalu dengan mantap berkata kepada Senopati yang dari tadi hanya diam termenung.

“Senopati.Aku ada gagasan untuk menutupi gerakan kita. Kita adakan adu jago di kotaraja dekat istana. Yang utama adalah jago Pangeran Anom melawan Cindelaras. Umumkan keseluruh negeri, pasti rakyat akan berbondong-bondong melihat pertarungan itu. Mulai sekarang pasukanmu harus disebar ke seluruh pelosok negeri untuk memberikan kabar pertarungan besar ini. Waktu pertarungan tujuh hari dari sekarang.”

“Dengan begitu akan mudah bagi pasukan pendekar sakti memasuki kotaraja tanpa dicurigai,” tegas Permaisuri.

Senopati memahami strategi cemerlang dari Permaisuri ini. Dengan wajah sumringah penuh semangat, dia menyatakan sekali lagi, kesetiaannya kepada Permasuri.

Maka, mulai hari itu juga pasukan Senopati disebar keseluruh pelosok negeri untuk memberikan kabar gembira tentang pertarungan besar adu jago antara Pangeran Anom melawan Cindelaras, sang Pangeran Mahkota.

Kabar itu menyebar dengan cepat seperti angin. Rakyat pun menyambutnya dengan gembira. Ini akan menjadi pertarungan besar kedua, tetapi akan menjadi yang paling ramai dan seru. Karena diumumkan jauh hari sebelumnya.

***********************

Setelah penobatan Cindelaras yang sekarang bernama Raden Panji Inu Kertopati sebagai Pangeran Mahkota, Ki Patih bergerak cepat. Khawatir terjadi sesuatu, maka ibunda Cindelaras, Parmaisuri Sepuh atau Permaisuri Tua segera dijemput ke istana. Gagasan itu disetujui oleh Baginda Raja.

Maka saat memasuki istana yang suduh puluhan tahun ditinggalkannya, Permaisuri Sepuh tersenyum bahagia. Di istana sudah menunggu Baginda Raja, Ki Patih, beberapa nayaka praja, Cindelaras, Aryadipa, Respati, dan Ki Joyo, serta beberapa dayang yang akan bertugas melayani Permasisuri Sepuh.

Suasana haru meliputi istana. Baginda memeluk Parmaisuri seraya meneteskan air mata. Taki kuasa dia menahan bahagia sekaligus rasa bersalah kepada isterinya itu. Namun Permaisuri bukanlah wanita pendendam. Dia seorang wanita halus budi, dan pemaaf. Dia menyadari semua peristiwa ini sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Manusia hanya menjalani saja.

Setelah memeluk anaknya Cindelaras, dia lantas melihat anak muda berpenampilan aneh berdiri disamping Cindelaras. Dia tersenyum sambil mendekati anak muda aneh itu.

“Cindelaras, siapa anak muda berpenampilan aneh ini. Mengapa dia berpakaian seperti itu. Siapa namamu ‘wong ayu’,” tanya Permaisuri.

Cindelaras tersenyum. Sementara Respati diam tidak menjawab pertanyaan Permaisuri yang disampaikan dengan halus penuh keibuan itu. Hatinya justru merasa tersanjung dengan sapaan itu. Seketika dia ingat ibundanya yang telah tiada.

“Ibunda, dia sering dipanggil Respati. Kadang saya memanggilnya Dewi Candra Kirana. Nama yang sebenarnya adalah Dewi Sekartaji, putri Kerajaan Kadiri,” jawab Cindelaras.

Tidak terduga, Permaisuri mendekati Dewi Sekartaji dan memeluknya seperti anaknya sendiri.

“Oh, anakku Dewi Sekartaji. Disini kau rupanya. Aku sudah mendengar kabar ibumu yang telah tiada. Sejak saat itu aku terpikirkan nasibmu ‘wong ayu’. Senang aku rasanya kau berada disini,” kata Permaisuri.

Dewi Sekartaji tak kuasa menahan rasa harunya. Dia menangis dalam pelukan Permaisuri Sepuh. Dia seperti menemukan kembali ibunya yang telah tiada.

“Cindelaras, kau tidak boleh menyia-nyiakan wanita muda cantik yang baik ini. Mintalah kepada ayahandamu untuk segera melamarnya ke Kadiri. Dia bukanlah orang lain. Dia masih ada hubungan kerabat dengan kita,” kata Permaisuri Sepuh sambil tersenyum kepada Baginda Raja.

“Cindelaras, ibumu sudah merestui, akupun juga begitu. Maka aku akan segera melamar Dewi Sekartaji untuk mendampingimu. Karena kau sebentar lagi akan menggantikan ayahmu yang sudah tua ini. Alangkah baiknya bila kau segera mempunyai pendamping. Dan aku merestui Dewi Sekartaji untuk menajadi isterimu,” kata Baginda Raja yang disambut dengan senyum bahagia segenap yang hadir.

Dewi Sekartaji sangat bahagia. Begitu juga Cindelaras, Permaisuri Sepuh dan tentunya Baginda Raja. Sejak saat itu Dewi Sekartaji tinggal di istana. Begitu juga Cindelaras dan Permaisuri Sepuh.

Namun diluar dugaan, kebahagiaan itu dikejutkan oleh adanya kabar dari seorang prajurit perwira. Dia melaporkan adanya “woro-woro” yang telah menyebar di sleuruh pelosok negeri. Yang menyebarkan adalah para prajurit Jenggala sendiri dibawah perintah resmi dari Ki Senopati.

“Apa isi woro-woro itu, perwira, laporkan dengan selengkapnya jangan ada yang dikurangi,” perintah Ki Patih.

“Kanjeng Patih, dalam woro-woro itu disebutkan seluruh rakyat Jenggala diminta untuk hadir di alun-alun kerajaan untuk menyaksikan pertandingan adu jago antara Pangeran Anom melawan Cindelaras,”

“Kapan waktu pertandingan itu.”

“Tujuh hari lagi dari sekarang, Kanjeng Patih.”

“Bagaimana tanggapan rakyat Jenggala.”

“Rakyat senang sekali, Kanjeng Patih. Pasti banyak yang akan hadir menyaksikan pertarungan itu.”

“Ki Patih, rupanya ini bukan sekedar pertandingan adu jago biasa. Ada gerakan yang disamarkan dari rencana pertandingan adu jago ini. Aku serahkan kepadamu Ki Patih untuk menjawab gerakan ini. Persiapkan segala kemungkinan, termasuk pasukan yang berada dalam kendali Ki Senopati haus diwaspadai. Terserah Ki Patih, aku percayakan kepadamu cara menyelesaikannya,” kata Baginda Raja.

“Mohon ampun Baginda, titah Baginda akan kami junjung. Kami akan segera mempersiapkan untuk menjawab gerakan tersamar ini,” jawab Ki Patih.

“Raden Panji Inu Kertopati, anakku, kau bantu Ki Patih untuk menghadapi gerakan yang sepertinya didalangi oleh Permaisuri Muda dan Senopati ini,” perintah Raja kepadaRaden Panji Inu Kertopati, nama baru oleh Baginda Raja.

Pertemuan di istana itu segera berakhir. Raja, Permaisuri Tua, dan Dewi Sekartaji segera undur dari bansal keraton. Sementara Ki Patih, Ki Joyo, Raden Panji Inu Kertopati, Aryadipa, dan beberapa perwira  langsung mengadakan pertemuan untuk menghadapi situasi tak terduda ini.

Ki Patih menilai “woro-woro” pertandingan adu jago antara Pangeran Anom melawan Cindelaras yang sekarang sudah bergelar Pangeran Mahkota itu, bukan peristiwa biasa. Dia melihat dengan jernih bahwa pertandingan itu hanya siasat untuk menutupi gerakan yang utama.

“Ini hanya siasat untuk menutupi gerakan yang sesungguhnya. Renungkanlah dengan pikiran jernih. Siapa yang berada dibalik gerakan ini? Lalu kita akan tahu apa tujuannya?” kata Ki Patih membuka pembicaraan.

“Kanjeng Patih, Saya mengetahui Ki Senopati yang memerintahkan prajurit menyebarkan “woro-woro” ke seluruh pelosok negeri. Dalam sehari ratusan prajurit disebar bersamaan. Sehingga kabar itu menyebar dengan cepat,” kata seorang perwira.

“Lalu apa kesimpulanmu?” tanya Ki Patih.

“Ki Senopati terlibat dalam gerakan ini.”

“Tepat. Tapi dia hanya disuruh. Ada pemimpin diatas Ki Senopati. Siapa dia. Apakah ada yang tahu?” tanya Ki Patih seperti menguji kemampuan  para perwira itu dalam membaca keadaan.

“Ini keadaan genting, jadi kita tidak boleh ragu dalam menilai situasi. Lebih baik salah dalam bertindak daripada tidak bertindak sama sekali. Sama, kita perlu mengetahui siapa saja yang berada dibalik gerakan ini. Dan yang terpenting, siapa pemimpinnya,” jelas Ki Patih.

Seorang perwira muda cerdas menjawab pertanyaan Ki Patih.

“Saya menduga Kanjeng Putri Permaisuri Muda adalah yang memimpin gerakan ini. Dia kecewa atas penunjukan Pangeran Mahkota yang diberkan kepada Raden Panji Inu Keropati.”

“Apa tujuan Permaisuri Muda?”

“Menuntut hak Pangean Mahkota diberikan kepada Pangeran Anom.”

“Mengapa membuat woro-woro adu jago yang disebarkan ke seluruh pelosok negeri?”

“Untuk menutupi gerakan pasukan khusus. Tepatnya, ada pasukan diluar para prajurit kerajaan yang berada di bawah kendali Ki Senopati. Mereka berasal dari para pendekar sakti aliran hitam. Kanjeng Permaisuri Muda memiliki hubungan dengan mereka. Bahkan dalam aliran Bhairawa Tantra yang mewarisi ilmu Calon Arang, Kanjeng Permaisuri merupakan tokoh utama,” kata seorang perwira.

“Pintar kau perwira. Benar penilaianmu. Jadi, begitulah kira-kira apa yang terjadi saat ini. Dan siapa yang menjadi otak dari gerakan ini. Sehingga kita sudah bisa menyusun langkah untuk menghadapi gerakan ini. Ini adalah gerakan merebut kekuasaan baginda raja. Ini adalah rencana gerakan pemberontakan dengan bersenjata yang akan melibatkan para prajurit kerajaan, maupun para pendekar dari berbagai perguruan,” jelas Ki Patih.

“Kita harus melangkah lebih cepat dari para pemberontak itu. Pertama, pertandingan harus tetap diadakan. Rakyat tidak boleh tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Kalau kita batalkan akan terjadi kehebohan di masyarakat, dan itu akan menguntungkan para pemberontak. Dia bisa menggunakan kesempatan itu untuk membakar kekecewaan rakyat.”

“Jadi, persiapkan arena pertandingan sebaik mungkin. Kita mengambil tempat di alun-alun utama, agar bisa menampung penonton sebanyak-banyaknya. Anakmas, Raden Panji Inu Kertopati, saya minta mempersipakan diri sebaik mungkin menghadapi pertandingan itu. Ingat anakmas, ayam jago Pangeran Anom bukan ayam jago biasa. Itu ayam jago pilh tanding. Apalagi untuk pertandingan saat ini, tentu dipersiapakan dengan sungguh-sungguh,” jelas Ki Patih.

“Kau perwira Mundarang, kau saya tugaskan menemui Kiageng Ronggo di kaki Gunung Arjuno. Kau berikan surat yang akan aku tulis setelah ini. Kiangeng Ronggo kita harapkan dapat membantu kita dalam menghadapi para pendekar sakti dari aliran hitam itu.”

“Dan kau perwiran Sanjaya, kau ambil alih posisi Senopati. Saat ini pula Ki Senopati saya copot dari jabatannya. Kau sekarang yang menjadi Senopati. Senopati Sanjaya. Hari ini juga, kau akan diwisuda menjadi Senopati baru didepan para prajurit. Bersihkan semua prajurit dari pengaruh para pemberontak. Pisahkan para prajurit yang masih setia kepada Kerajaan. Bagi yang tidak setia atau kau anggap mendukung gerakan pemberontak, kau Senopati Sanjaya, boleh mengambil tindkan tegas kepada prajurit itu. Tetapi sebisa mungkin sadarkan mereka apa yang sebenarnya terjadi. Agar para prajurit itu kembali kepada jati dirinya dalam membela negara,” perintah Ki Patih.

Perwira Sanjaya menerima tugas itu dengan hati gemetar. Karena didepannya tugas berat menanti.

“Mohon ampun Kanjeng Patih, hamba siap menerima tugas berat ini,” jawab perwira Sanjaya.

“Yang terakhir, perintahku, siapa saja yang akan masuk kotaraja, mulai malam ini harus diperiksa. Yang membawa senjata apapun, maka senjata itu harus dirampas. Kerahkan para prajurit untuk menjaga semua pintu masuk kotaraja. Saya menyatakan Negara Dalam Keadaan Tidak Aman. Sehingga Senopati Sanjaya saya angkat sebagai Pemimpin Utama dalam melawan Gerakan Pemberontakan ini,” tegas Ki Patih.

“Mohon ampun, hamba siap Kanjeng Patih,” jawab Senopati Sanjaya.

Hari itu juga Senopati Sanjaya diwisuda dan dikukuhkan sebagai Senopati baru. Sekaligus diumumkan bahwa Senopati sebelumnya dicopot. Tidak diberikan alasan apapun kepada prajurit.

Senopati Sanjaya bergerak cepat. Dia memastikan para prajurit yang masih setia kepada negara. Dihadapan prajurit dia menegaskan untuk memilih dirinya dan setia dibawah perintahnya atau memilih Senopati lama. Bagi yang tidak puas disuruh mundur dari keprajuritan. Ternyata sebagian besar masih setia.  Hanya sebagian kecil saja prajurit yang memilih setia kepada Senopati lama yang kini sudah dipecat.

Mengetahui dirinya dipecat, Senopati lama marah besar. Dia mengumpat-umpat Ki Patih dan Baginda Raja. Namun, ibarat nasi telah menjadi bubur. Dia makin bulat hati mendukung gerakan Permaisuri Muda untuk melakukan pemberontakan. Untuk menggulingkan kekuasaan raja.

“Hanya ini pilihan yang tersisa. Malu rasanya menanggung beban sebagai Senopati yang dipecat. Aku harus tunjukkan siapa diriku. Aku akan hancurkan siapapun yang menghadangku. Aku ingin tahu seperti apa kekuatan Sanjaya. Anak kemarin sore berani-beraninya menjadi Senopati. Tunggu saatnya Sanjaya. Aku akan lumatkan tubuhmu,” kata Senopati lama.

“Simpan amarahmu Senopati. Kau bagiku tetap Senopati terbaik di Jenggala. Tidak lama lagi kedudukanmu akan naik menjadi Patih. Setelah kita hancurkan musuh-musuh kita. Ini semua gara-gara Patih si tua bangka itu. Orang itu tua itu jangan sampai lepas. Dia licik, culas, dan berbahaya,” timpal Permaisuri Muda.

Sementera itu, jam malam diberlakukan dengan ketat. Penjagaan di pos-pos masuk kotaraja diperkuat. Semua orang yang hendak masuk kotaraja dilakukan penggeledahan. Bagi yang membawa senjata dirampas. Bagi yang mencurigakan ditahan.

Waktu terus berjalan, mendekati hari pertandingan adu jago warga yang memasuki kotaraja terus meningkat. Bahkan saat kurang satu hari, mereka berduyun-duyun memasuki kotaraja. Hal itu membuat pemeriksaan tidak bisa berjalan dengan baik. Kelemahan ini dimanfaatkan oleh para pendekar sakti aliran hitam dibawah kendali Permaisuri Muda dan Senopati lama yang telah dipecat. Mereka juga berpakaian seperti warga pada umumnya. Sehingga sulit dibedakan.

Untuk menyambut warga yang datang dari berbagai pelosok desa, terutama desa-desa yang dekat dengan kotaraja, berbagai hiburan ditampilkan. Termasuk hiburan seni yang dipimpin oleh Ki Joyo. Gending, tarian, dan tidak lupa cerita-cerita menarik ditampilkan, sehingga warga sangat terhibur.

Tidak terasa akhirnya sampai pada puncak acara utama yaitu pertandingan adu jago. Pertandingan itu dibuat dua babak. Babak pertama adu jago diikuti oleh jago-jago terbaik. Baru pada babak kedua, adu jago antara ayam jago milik Pangeran Anom melawan ayam jago milik Cindelaras.

Agar mudah dilihat oleh penonton, dibuatkan panggung yang tinggi, sehingga sambil duduk warga bisa menonton pertandingan. Di tempat terpisah yang tidak jauh, juga dibuatkan panggung yang indah. Dari panggung ini Baginda Raja, Permaisuri Sepuh, Dewi Sekartaji, Cindelaras yang menyandang nama baru Raden Panji Inu Kertopati, para pejabat penting istana, dan para dayang-dayang, dapat meyaksikan pertandingan itu secara jelas.

*******************************************

Pertarunan Pamungkas

Di tempat yang agak jauh dari panggung, dengan pakaian seperti layaknya para penonton lainnya, Permaisuri Muda tidak mudah dikenali. Dia bisa bergerak secara leluasa ditengah penonton yang berjubel itu. Dia sangat marah. Hatinya panas membara melihat Permaisuri Sepuh dan Baginda Raja berada di panggung. Apalagi disana ada Cindelalaras dan Dewi Sekartaji. Hampir-hampir saja dia tidak bisa mengendlaikan diri. Api kemarahannya menjalar di sekujur tubuhnya hingga ke ubun-ubun.

Dia secepatnya memalingkan muka.

“Para bajingan tengik sudah berkumpul semua di panggung. Akan lebih memudahkan bagiku menjalankan rencana ini,” pikir Permaisuri Muda itu sambil menahan amarah yang hampir tak terbendung.

Dia sudah menyusun rencana dengan rapi. Dia berhasil menghimpun para prajurit yang setia kepada. Mereka yang selama ini selalu mendapat perlindungan dan jatah uang berlebih dari permaisuri. Juga para pendekar sakti dari aliran hitam yang jumalhnya cukup banyak. Mereka semua berbaur dan sudah menempatkan diri di posisi masing-masing. Pada saat yang yang ditentukan, secara bersama-sama mereka akan bergerak. Saat itu adalah tepat setelah pertandingan adu jago antara Pangeran Anom dan Cindelaras usai. Apapun hasil perandingannya, rencana akan tetap berjalan. Seluruhnya pasukan Permaisuri Muda sudah paham. Komando gerakan pemberontakan itu diberikan kepada Senopati lama. Agar dia merasa tetap terhormat.

Sementara itu, ditepat terpisah, Ki Patih bersama Kiageng Ronggo dan Kiageng Pandan Alas alias Ki Joyo duduk bertiga dibawah pohon, agak jauh dari panggung yang berada ditengah alun-alun. Ketiga tokoh tua berpengalaman ini sedikit tegang. Karena mereka memahami, sebentar lagi akan terjadi gejolak yang belum pernah ada sebelumnya. Meskipun rencana sudah disusun secara rapi.

Semua prajurit dikerahkan. Prajurit terpilih dibawah Senopati Sanjaya sendiri berada disekitar panggung Baginda Raja. Ini arena pengaman utama. Mereka benar-benar dalam kondisi waspada. Semangat mereka berada dipuncak-puncaknya, karena telah digladi cukup lama, tetapi tidak bisa menerapkan ilmunya berperang.

Sementara para prajurit lainnya dalam keadaan siaga penuh. Mereka menyebar di seluruh arena pertandingan, disekitar istana, bahkan disudut-sudut kotaraja. Ibukota Jenggala benar-benar seperti api dalam sekam. Bisa terbakar dalam hitungan cepat.

Begitu juga para pasukan pendekar dari aliran putih dibawah kendali Kiageng Ronggo, mereka sudah dalam kondisi siaga penuh. Mereka berbaur dengan penonton. Di bajunya ada tanda khusus, sebagai ciri pasukan Ki Ronggo. Tanda itu hanya diketahui oleh mereka sendiri.

Dua kekuatan besar sudah berada di arena adu jago. Satu kekuatan bertujuan merebut kekuasaan Jenggala. Satu kekuatan lagi berada pada posisi mengamankan Jenggala dari para pemberontak. Yang agak menyulikan, warga masyarakat berada ditengah-tengah mereka. Benturan ini bisa menimbulkan banjir darah warga tak berdosa itu.

Ini yang menjadi perhitungan tersendiri oleh Ki Patih, Ki Ronggo, dan Ki Pandan Alas. Mereka tidak berharap jatuh korban dari warga yang sedang menimati hiburan pertandingan adu jago itu. Memang rencana telah disusun rapi. Tetapi menemukan dan menandai para pemberontak, ditengah lautan penonton sebanyak tentu saja sangat sulit. Mereka, para pemberontak sewaktu-waktu dapat bergerak tanpa bisa diketahui lebih dahulu.

“Ini yang menyulitkan kita. Membedakan warga biasa yang hanya ingin  menonton pertandingan, dan para pemberontak yang ingin membuat keonaran dan mengambil alih kekuasaan,” kata Ki Patih.

“Harus diakui, otak pemberontakan terselubung ini cukup pintar. Mereka memakai warga tak berdosa sebagai tameng. Ini licik dan kejam,” kata Ki Patih selanjutnya.

“Rencana sudah kita buat dan kaita jalankan, Kanjeng Patih. Selebihnya kita serahkan kepada kekuasaan Yang Maha Agung. Kita tidak secara pasti apa yang akan terjadi dengan Jenggala. Kita harus bisa menerima takdir Jenggala ini, apa adanya. Tidak lebih tidak kurang,” kata Kiageng Ronggo yang dibenarkan oelh Kiageng Pandan Alas.

“Saya menangkap wangsit, memang akan terjadi gejolak disini. Tetapi tidak lama. Dan hampir tidak ada darah tercecer. Ada pertolongan dari Yang Maha Kuasa. Ada seorang dengan kemampuan sangat tinggi tiba-tiba muncul dan menyelamatkan Jenggala. Memang sulit dipercaya, apalagi sekarang kita saksikan sendiri, warga sekian banyaknya “tumplek blek” dilaun-alun,” kata Kiageng Pandan Alas.

“Sulit sekali mempercayai wangsit itu. Tetapi begitulah, yang aku terima,” Kiageng Pandan Alas menegaskan.

Ketiga orang itu hanya bisa pasrah, setelah berusaha sekuat-kuatnya untuk menghentikan gerakan pemberontakan yang ada didepan mata mereka saat itu.

Diluar sepengetahuan mereka bertiga, sebenarnya Cindelaras menyusun rencana sendiri. Rencana itu hanya diketahui dirinya, Dewi Sekartaji dan Aryadipa. Intinya, Dewi Sekartaji dan Aryadipa bertugas mengamankan Baginda Raja dan Permaisuri Sepuh. Sebelum pertandingan adu jago usai, Baginda Raja dan Permaisuri harus segera dibawa masuk istana.

Cindelaras juga berketetapan hati untuk menggunakan semua kemampuan yang dimiliki, termasuk semua ilmu aneh-aneh yang sulit dipercaya. Juga, dia akan mencoba ilmu-ilmu tingkat tinggi yang diajarkan oleh leluhur-leluhurnya. Dia tidak mau arena adu jago itu berubah menjadi arena pambantaian warga tak berdosa.

Waktu yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pertandingan adu jago terbesar yang pernah ada di Jenggala. Dua-duanya adalah ayam terbaik yang pernah ada. Sama-sama tidak pernah terkalahkan. Yang satu milik Pageran Anom, putra raja dari Permaisuri Muda. Yang satu milik Cindelaras, putra raja dari Permaisuri Sepuh.

Begitu kedua Pangeran itu masuk panggung masing-masing membawa ayam jagonya, sorak-sorai dari penonton bergemuruh.  Entah siapa yang memualai teriakan ini terus bergema: Cindelaras….Cindelaras…..Cindelaras……Cindelaras……diselingi tepuk tangan merah dari para penonton.

Di panggung lainnya, Baginda Raja dan Permaisuri tersenyum senang. Tetapi ada yang senang sekaligus gelisah. Dia adalah Dewi Sekartaji alias Dewi Candra Kirana alias Respati. Dia ingin melihat lebih dekat lagi, tetapi karena ingat pesan Cindelaras untuk jangan jangan jauh-jauh dari Ibunda permaisuri dan Baginda Raja, keinginan mendekat itu disingkirkannya.

Kedua ayam itu memang sangat hebat. Warnanya sama-sama bagus, badannya sama-sama besar, dan kluruknya sama-sama kuat. Yang membedakan hanya merdu dan melengkingnya. Yang terakhir ini ayam Cindelaras lebih unggul.

Sejak turun minum pertama hingga turun minum kelima, tidak nampak jago mana yang akan kalah. Karena keduanya sama-sama kuat. Pertarungan kedua ayam itu benar-benar menghibur penonton. Tepuk tangan dan sorak sorai dari seluruh penonton menggema, menggetarkan langit. Saking asiknya pertandingan itu, sehingga konsentrasi pasukan pemberontak sedikit mengendur., lupa akan tugas utamanya.

Saat itu, Cindelaras berdiri dipinggir panggung menyaksikan ayamnya bertarung. Tanpa diketahui oleh siapapun Cindelaras sebenarnya sedang mengerahkan ilmu-ilmu puncak yang dimilikinya. Dalam sekejap, dia telah mampu membelah dirinya menjadi tujuh badan yang kesmeuanya mirip. Badan aslinya tetap diatas panggung, tetapi badan halusnya menyebar keseluruh arena dengan tujuan mendatangi tokoh-tokoh pemberontak. Dengan ilmu mendengar dari jauh, dan ilmu memperkuat panca indra lainnya, dia bisa mencari dengan cepat posisi para tokoh pemberontak berada, khususnya Senopati lama dan Permaisuri Muda, dan para pendekar sakti dari lairan hitam. Posisinya telah diketahui secara pasti oleh Cindelaras. Dia menunggu waktu yang tepat untuk melakukan gerakan cepat dengan keenam tubuh halusnya.

Sementara itu, didepan panggung Baginda Raja dan Permaisuri Sepuh, tiba-tiba muncul kabut cukup tebal yang menghalangi pandangan mata. Aryadipa dan Dewi Sekartaji paham, inilah saatnya menyelamatkan Baginda Raja dan Permaisuri Sepuh.

“Baginda Raja dan Ibunda Permasisuri, ini permintaan Cindelaras, bila ada kabut muncul kami diminta membawa Baginda dan Ibunda Permaisuri untuk segera memasuki istana,” kata Dewi Sekartaji, yang segera mengantarkan Baginda dan Permaisuri memasuki istana.

“Ada apa anakku Sekartaji, tiba-tiba aku dan Baginda diajak memasuki istana. Padahal pertandingan belum selesai. Aku ingin tahu Cindelaras yang menang dalam adu jagoitu,” kata Permaisuri Sepuh.

“Ibunda Permaisuri, itu tadi pesan langsung dari Cindelalaras, saat kabut mulai muncul. Saya tidak tahu secara pasti mengapa tiba-tiba Cindelaras memberi pesan ini,” kata Sekartaji.

“Sudah benar yang dilakukan anakmu Cindelaras Parmaisuriku. Dia sedang menjalankan rencananya untuk mengamankan kita orang-orang tua ini ha..ha..ha..Siapa tahu nanti disana ada kerusuhan dari orang-orang jahat ha….ha…ha…,” kata Baginda Raja.

“Baginda jangan bercanda begitu. Keadaan kan bisa saja tidak baik disana, mengapa kita disuruh masuk istana. Aneh-aneh saja Cindelaras itu,” kata Permasuri.

“Ya kita-kita yang sudah tua ini biar aman dulu. Yang muda-muda biar yang menangani itu, ha..ha…ha…,” kata Baginda Rajayang sangat senang karena Cindelaras berhasil menngrahkan puncak-puncak ilmunya. Ilmu menciptakan kabut untuk menghalangi pandangan lawan itu berasal dari Baginda Raja. Namun yang Baginda Raja heran, ternyata Cindelaras juga sudah menguasai ilmu memecah diri menjadi tujuh badan. Itu puncaknya memecah diri. Baginda raja sendiri belum mencapai tataran puncak itu.

Di arena pertandingan adu jago, pertarungan sengit terus berlangsung. Kedua ayam itu mengerahkan kekuatan besarnya masing-masing. Namun lawannya tetap saja bisa mengimbangi. Anehnya, meksipun sudah berlangsung hingga turun minum ke sepuluh, kedua ayam belum tampak lelah.

Tetapi terjadi keanehan dipanggung yang ditempati Baginda Raja dan Permaisuri. Begitu kabut hilang, tiba-tiba dipanggung itu sudah kosong tidak ada siapapun. Tinggal kursi kosong yang masih ada disitu.

Permaisuri Muda kaget saat melihat keadaan tersebut. Dia marah dan menyesal karena pandangannya terhalang oleh kabut. Setelah kabut hilang, target utama mereka Baginda Raja dan Permaisuri telah meninggalkan panggung.

Belum selesai rasa herannya Permaisuri Muda, dalam waktu singkat tiba-tiba muncul kabut disekitar panggung adu jago. Mula-mula tipis, kemudian makin tebal, makin meluas, ahingga akhirnya diseluruh alun-alun tertutup kabut. Sehingga pandangan terganggu.

Kejadian aneh ini tidak luput dari pengamatan Kiageng Pandan Alas, Kiageng Ronggo, dan Ki Patih. Mereka kaget tapi cuma sebentar. Bahkan tersungging senyum di bibir Kiageng Ronggo dan Kiageng Pandan Alas.

“Baginda Raja dan Permaisuri sudah diamankan masuk istana. Kanjeng Putri Dewi Sekartaji dan Aryadipa yang menemani masuk istana. Itu pasti atas permintaan Cindelaras,” kata Kiageng Pandan Alas diikuti tertawa ringan.

Sambil tertawa kecil dan geleng-geleng kepala Kiageng Ronggo menjawab.

“Luar biasa Cindelaras. Rupanya ini jawaban teka-teki wangsitmu Kiageng Pandan Alas. Cindelaras telah berhasil mengerahkan puncak-puncak ilmunya. Pertama dia menciptakan kabut didepan panggung Baginda Raja, lalu berikutnya kabut itu menyebar keseluruh alun-alun saat ini. Apa yang akan dilakukannya selanjutnya,” kata Kiageng Ronggo.

“Dia juga sudah berhasil memecah dirinya menjadi tujuh badan, Kiageng Ronggo. Badan kerasnya tetap diatas pangung itu, sementara enam badan halusnya bergerak menyebar dengan kecepatan sangat tinggi. Saat kabut  gelap menyelimuti pandangan mata, badan halus Cindelaras sedang melakukan penyerangan dengan kekuatan besar terhadap tokoh-tokoh pemberontah itu,” kata Kiageng Pandan Alas.

Kedua tokoh itu saling berbicara sendiri, sementara Ki Patih hanya mendengarkan saja. Terus terang Ki Patih juga heran bagaimana bisa muncul kabut dengan tiba-tiba, padahal pada siang hari bolong. Setelah mendengar itu tercipta dari ilmu Cindelaras, Ki Patih baru mengerti, meksipun tetap saja heran.

Tidak berapa lama, kabut yang berada di alun-alun itu perlahan hilang. Saat kabut hilang sama sekali, terdapat pemandangan aneh ditengah alun-alun.Banyak orang duduk dengan muka tertunduk. Sebagian lagi terjatuh ditanah, mungkin berbenturan satu sama lain karena gelapnya kabut. Ada lagi yang sedang berdoa. Mereka kaget dan tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Namun diluar perkiraan banyak orang, tokoh-tokoh pemberontak yang ada di alun-alun itu semuanya mati terbunuh. Mayatnya bergelimpangan disana-sani. Mengetahui pemimpinnya terbunuh dengan cara aneh itu, sisa-sisa pasukan pemberontak lari menyelamatkan diri. Mereka sudah tidak lagi tertarik dengan semua iming-iming yang dijanjikan. Yang penting mereka dapat menyelamatkan dirinya.

“Luar biasa, ternyata pasukan pemberontak itu banyak sekali jumlahnya. Mereka mundur dengan sendirinya setelah tahu para pemimpinnya terbunuh secara aneh. Terbunuh saat kabut gelap melanda alun-alun,” kata Kiageng Ronggo.

“Kemampuan ilmu Cindelaras memang luar biasa. Tidak ada tandingannya di Jenggala. Dia telah berhasil memadamkan pemberontakan dengan caranya sendiri. Dengan kekuatan ilmu yang dimilikinya, dia telah menyelamatkan banyak warga Jenggala dari kemungkinan pembunuhan yang mengerikan. Banjir darah di alun-alun Jenggala dapat dicegah. Negara Jenggala ini akan besar karena memiliki raja yang besar. Sudah pantas dia menjadi raja Jenggala. Segenap warga Negeri Jenggala pasti mendukungnya,” kata Kiageng Pandan Alas.

“Dibawah kepemimpinan Cindelaras, kerajaan Jenggala ini pasti akan menjadi negera besar dan berpengaruh. Sudah saatnya yang tua-tua seperti saya ini mundur. Beri kesempatan yang muda dan memiliki kemampuan hebat untuk tampil memimpin,” kata Ki Patih.

“Benar Kanjeng Patih. Kita yang tua-tua ini harus tahu diri. Tidak usah menunggu disuruh mundur. Apalagi dipaksa untuk mundur,” kata Kiageng Ronggo singkat. Ketiga tokoh tua itu tertawa. Menertawakan dirinya sendiri.

TAMAT

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=