Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Ulama Ahmad Syafii Maarif menyebut bahwa ungkapan Indonesia bak sekeping surga bisa berubah menjadi sekeping neraka jika tak ada perbaikan dalam pengelolaan negara jelang 100 tahun peringatan kemerdekaan. Upaya kritik ke pemerintah tak boleh berhenti
Hal itu disampaikan ‘Buya’ Syafii dalam bedah buku daring ‘Bernegara Hukum Tanpa Budaya Malu’ karya Sudjito, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), tahun 2020 yang lalu, dalam rangka Dies Natalis ke-75 FH UGM.
“Kalau Indonesia terletak di selatan Sahara, Afrika, kita sudah lama gulung tikar, kita jadi negara gagal. Tapi karena kita ada di kawasan khatulistiwa– alamnya dermawan, walau sudah dirusak–masih juga memberi harapan,” tutur mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu
Buya menyebut Indonesia menghadapi berbagai persoalan, seperti rentetan korupsi dan perusakan alam. Korupsi bahkan terjadi sejak 1970-an oleh Pertamina, lalu di masa berbeda terjadi skandal BLBI, Lapindo, Bank Bali, hingga kasus-kasus terbaru seperti Jiwasraya, Bumiputera, dan Asabri.
“Kalau begini terus, saya khawatir kalau peringatan ini tidak didengar oleh pengambil keputusan, oleh presiden dan menteri, kita menghadapai masalah yang sangat berat sebelum 100 tahun Indonesia merdeka. Tahun 2045 itu sebentar lagi,” tuturnya.
Menurut dia, sejumlah ekonom memang meramalkan Indonesia masuk lima besar negara terkuat dalam perekonomian di dunia.
“Tapi siapa yang nikmati itu semua? Rakyat kecil, petani kita, kata orang sejak zaman VOC kualitasnya tidak semakin membaik,” ujar dia.
Sementara itu, kata Buya, sekelompok kecil orang menguasai hutan, perbankan, dan pertambangan dari bumi Nusantara. Padahal, Indonesia bukan negara kekuasaan tapi negara hukum.
“Pancasila seperti tidak berdaya di tangan anak-anak bangsa yang tuna-adab, tuna-moral, seperti bernegara hukum tanpa budaya malu. Negara hukum tidak akan tegak tanpa malu,” kata Buya.
Buya mengungkap banyak pejabat yang dikenalnya memang pintar. Namun ia meragukan mereka punya karakter karena kerap bersandiwara, bertingkah seenaknya, hingga melakukan kongkalikong.
“Kalau bergini terus apa ada harapan untuk anak cucu kita? Apa mereka nanti cuma dapat ampas saja? Dikatakan orang, Indonesia ini seperti keping surga yang dipindahkan ke muka bumi. Itu nanti bisa jadi keping neraka,” kata dia.
Namun Buya meminta semua pihak tak berputus asa. Akademisi, misalnya, tetap harus mengkritik melalui buku dan ceramah dengan penyampaian secara populer agar mudah diterima masyarakat luas.
“Kita teriak terus. Kalau kita tiarap semua, proses negara gagal bukan suatu hal yang mustahil. Kalau arahnya ke sana (negara gagal), itu salah kita semua. Kita telah berkhianat pada Pancasila dan Tuhan,” ujarnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Perlu Perubahan untuk Hancurkan Tirani Oligarki
Ketua DPD RI: Yang Menolak Perjuangkan Kedaulatan Rakyat Adalah Pengkhianat
KAMI Lintas Provinsi Minta DPD RI Memproses dan Mengawal Pemakzulan Presiden Jokowi
Anies Cabut Ijin Usaha Holliwings di Seluruh DKI Jakarta
Ronaldinho Beri Menko Airlangga Jersey Warna Kuning
Gugatan Ke MK, LaNyalla: Bagian dari Kemenangan Rakyat Lawan Oligarki
Mahasiswa ITS Rancang Ekosistem Bisnis Digital Masuk Sektor Pendidikan
ITS Raih Gelar Terbaik pada Dua Indikator Kinerja Utama PTN-BH
Di Depan Keluarga Pinrang, LaNyalla Sebut Pasal 222 MK Koyak Persatuan Bangsa
Perubahan Tak Bisa Dikompromi, Harus Segera Dilakukan!
No Responses
You must log in to post a comment.