JAKARTA – Pakar sejarah Universitas Indonesia, Dr Didik Pradjoko, mengatakan semua pihak hendaknya tidak berlaku gegabah dalam menangani kasus kerusuhan di kawasan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Apalagi di kawasan itu yang dahulu merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Banteng, pernah terjadi kerusuhan sosial besar yang terkenal dengan peristiwa Pemberontakan Petani Banten di tahun 1888.
‘’Kala itu rakyat mengamuk atau membuat rusuh karena kehidupannya di eksplotasi oleh kekuatan ekonomi global. Mereka menjadi miskin dan tersisihkan dalam kehidupan. Apalagi pada peristiwa Pemberontakan Petani Banten dahulu pun sampai kemudian bersinggungan dengan soal suku, agama, dan ras (SARA). Kala itu yang dilawan rakyat adalah cengkeraman ekonomi kulit putih kaum kolonial dan adanya ketersinggungan kaum agama,’’ kata Didik Pradjoko dikutip KBA News, Senin siang, 11 November 2024.
Indikasi adanya keterkaitan peristiwa kerusuhan itu dengan peristiwa di Banten di masa lalu, adalah ketika para tokoh di sana terkait rusuh di Teluk Naga itu beberapa hari lalu telah menyampaikan sikapnya dengan menyinggung soal sosok Sultan Ageng Tirtayana hingga Syekh Yusuf Al Makassari. Maka bila tidak ditangani dengan baik serta seksama, maka pola kerusuhan yang terjadi di masa lalu itu berpotensi akan muncul kembali.
‘’Tapi masalahnya, apakah pemimpin generasi masa sekarang paham akan sejarah geger di Banten pada tahun 1888 itu. Mungkin mereka tahu, namun apakah mereka paham karena membaca buku soal itu secara seksama? Ingat sejarah itu unik, yakni hanya sekali terjadi. Namun, pola-pola kejadiannya bisa berulang pada kurun atau masa yang sesudahnya,’’ kata Didik.
Menurut Didik, di masa kolonial dahulu rakyat kecil di Nusantara hidup dalam tekanan akibat eksploitasi dari kekuatan ekonomi global dari barat (kolonial). Di Makassar misalnya terjadi perang ketika penguasa perusahaan atau kongsi Belanda VOC ingin menguasi perdagangan rempah-rempah di kawasan itu dan kawasan Indonesia bagian Timur.
Sedangkan, perlawanan rakyat di Jawa mencapai puncaknya sewaktu meletus Perang Jawa (Perang Diponegoro) yang terjadi antara tahun 1825-1830. Dan bila dirunut lagi akar perlawanan rakyat ini sudah muncul semenjak Sultan Agung gagal menaklukkan VOC di Batavia pada awal abad 16.’’Mulailah saat itulah perlawanan atau kerusuhan semakin banyak terjadi apalagi secara perlahan-lahan seluruh kekuasaan para Sultan di pantai utara, yakni mulai dari Karawang hingga Madura. Wilayah itu kemudian jatuh ke tangan kolonial Belanda.”
Bahkan setelah rusuh Banten, perlawanan rakyat akibat kehidupannya hanya dijadikan eksploitasi ekonomi, yakni sistem tanam paksa, terus bermunculan. Di kawasan Condet ada kerusuhan yang dipimpin Entong Gendut. Begitu juga para petani di Ciomas melakukan perlawanan ketika tanah mereka dirampas untuk melayan sistem tanam paksa itu. Bahkan, oleh pakar sejarah Sartono Kartodirdjo disebut bila kerusuhan di Jawa seusai perang Diponegoro itu muncul seperti hujan gerimis. ’’Istilahnya kerusuhan memang tak besar layaknya hujan deras, tapi hanya seperti gerimis yang kecil namun merata dan terus menerus di sekujur Jawa.”
‘’Yang paling menarik adalah peristiwa sosial yang terjadi di kawasan Marunda yang dikaji dalam disertasi doktoral antropologi dari putri Bung Hatta di UI, Dr Meutia Hatta. Kala itu dia mengkaji mengenai kasus sosial yang terjadi di kawasan kampung Nelayan Marunda di Jakarta Utara. Masyarakat di sana berubah menjadi temperamental atau gampang marah karena stres ketika perkampungannya dipindah ke pedalaman pada awal 1980-an,’’ ujarnya.
Pada disertasi itu disebutkan, bila ingin memindahkan kehidupan rakyat dari kampungnya maka harus dilakukan secara seksama dan tak boleh sewenang-wenang.
‘’Kalau rakyat kecil dipindahkan dengan begitu saja mereka menjadi gampang marah. Ini misalnya karena nelayan di kampung Marunda ketika dipindahkan ke pedalaman berubah profesinya, mereka pun menjadi resah dan jengah. Akibatnya mereka mengalami stres karena tercabut dari kehidupan sosial yang semula menjadi nelayan karena berada di kawasan pantai, berubah menjadi petani dan buruh ketika tinggal di pedalaman. Jadi dalam sisi itulah pemahaman sejarah menjadi penting dan membuat kita lebih berpikir holistik ketika muncul sebuah masalah,’’ tandas Didik Pradjoko.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Lumajang Punya Pemimpin Baru, Gus Adim: Tidak Usah Mengkotak-kotakan NU dan Muhammadiyah
Sadis, di lereng Gunung Kelud Kediri, seorang guru bersama isteri dan 2 anaknya dibantai. Apa motifnya??
Rusia mengatakan kapal perangnya tiba di Qingdao, Tiongkok
Kemendagri evaluasi kinerja Penjabat Walikota se-Indonesia, Moetaqqien Hasrimi Pj Walikota Tebingtinggi masuk top 5 penjabat walikota terbaik
Kumpulkan Stakeholder, Pendamping Desa Kab Malang Fasilitasi & Dukung Branding “Kopi Lereng Kawi”
Roadmap Indonesia Menuju Emisi Nol 2060: Tantangan dan Solusi untuk Meningkatkan Produksi Energi Bersih
KA Matarmaja Seruduk Mobil RSUD Gambiran Kediri
Harmonisasi Zakat dan Wakaf Menyelesaikan Persoalan Umat
dr. Raja Faisal Apresiasi Tanggung Jawab Kapolrestabes Semarang dan Evaluasi SOP Penggunaan Senjata Api
Mobil Tangki Milik PT Sean Bumi Indo Bermuatan Solar Subsidi Parkir di Polsek Ngasem, Ada Apa??
No Responses