Ditulis Ulang Oleh: Ir HM Djamil, MT
Perjalanan Jombang -Tulung Agung kalau ditempuh dengan bus biasanya memakan waktu dua jam-an, tapi kali ini agak lambat, yang membuat hati wali Paidi gelisah karena belum sholat dhuhur, maka sudah diniatkan untuk jamak ta’khir.
Untuk sampai di rumahnya (tepatnya rumah orang tuanya) mestinya dia berhenti di daerah kulon kali, tapi kali ini hatinya ingin ke terminal Tulung Agung untuk sholat di musholah terminal.
Bus berhenti dan wali Paidi turun sambil membawa satu kresek besar yang berisi minuman dan makanan ringan pemberian dari pedagang-pedagang asongan di atas bus serta sebuah tas kresek kecil berisi uang receh pemberian Gohel.
Baru melangkah turun dari bus wali Paidi langsung dihampiri seorang ‘gila’ yang pakaiannya tampak kotor tapi mukanya bersih berseri, orang gila tersebut langsung menarik–narik tas kreseknya.
“Hee.. sini.., minuman dan makanan ini punyaku,”…ucap orang gila tersebut sambil ngeloyor pergi,
Wali Paidi membiarkan saja tas kreseknya direbut, dia pergi menuju mushollah terminal untuk sholat. Namun ternyata orang gila tersebut mengejar dan memberikan kantong plastik yang berisi uang.
“He… Di..ini untukmu… yang ini kharam bagimu… mereka memberimu tidak ihlas… ha..ha…ha..,” kata orang gila tadi sambil tertawa pergi.
Sholat wali Paidi kali ini menjadi kurang khusuk, setelah sholat ia ingin mencari tahu hal orang gila ini, untung ada jama’ah yang kelihatannya adalah salah satu pedagang di terminal.
“Mas… orang gila yang biasa di terminal ini sudah lama ta, kok supir-supir ndak Protes,” tanya wali Paidi pada salah seorang dari mereka.
“Ya kira-kira setahunan-lah, kenapa mas… diapakan?… dia baik biasanya ndak ngganggu orang… kecuali pada anak-anak yang mbolos sekolah”.
“Endak… apa apa… tadi bawaan saya dirampas tapi ndak apa barang ndak penting, apa sering dia mengambil atau merampas barang penumpang?” tanya wali Paidi lagi.
“Lho… iya too… belum pernah mas.”
“Perampok iku nomer berapa,”.. lanjut orang itu bertanya pada temannya.
Ternyata orang gila yang baik itu semua tindakan gak wajarnya selalu diramesi oleh para pedagang dan juga sopir-sopir sebagai wacana nomer Togel.
“Namanya siapa yaa,” tanya wali Paidi lagi.
”Nama tepatnya ndak ada yang tahu tapi orang-orang sini memanggilnya Bang Oyik… atau Oyik saja… dia tidak jahat dan tidak mengganggu… bahkan sopir-sopir sini sering memberinya makanan… dan kadang mereka juga minta nomer togel… tapi kalau pada anak-anak sekolah yang mbolos dia marah dan kadang anak-anak itu dilempari batu… ndak pernah ada batu yang kena, tapi anak-anak yang mbolos pada takut… heran yaa, kok bisa tahu,” jelas orang itu.
“Dia baik kok mas, jarang dia ganggu orang, bahkan kalau menjelang bukaan togel banyak yang menafsiri tingkah lakunya,” sahut orang lain yang juga jama’ah.
“Pernah bikin heboh.. menjelang bukaan togel, ndak ada hujan ndak ada angin tiba-tiba dia teriak,“Betet… Betet, besoknya orang orang terminal termasuk sopir-sopir pada mencarinya dan memberi hadiah… termasuk warung-warung itu.”
“Yaa termasuk sampeyan,” sela orang tadi.
Wali Paidi mesem serta menjabat tangan kedua orang itu berpisah, mereka kembali menuju lapaknya masing-masing di terminal, sedang wali Paidi Kembali ke Mushollah mengambil kresek berisi uang yang dikembalikan oleh Orgil tadi.
Dalam kresek ternyata selain uang ada rokok yang sudah kalong, wali Paidi mengambil rokok itu dan tiga lembar uang lima ribuan, lainnya semua dimasukkan kotak amal, lalu pergi.
Pikiran wali Paidi masih terganggu dengan Orgil tadi karena Orgil itu memanggil namanya berarti dia bukan orang gila sembarangan. Ternyata orgil itu berada di tempat agak kumuh sedang membagi makanan pada anak-anak yang nasibnya kurang beruntung.
Melihat kedatangan wali Paidi Orgil itu melotot sambil berkata, “He… mau apa… ,“ dia berdiri menghadap wali Paidi melindungi anak anak itu.
“Siapa namamu !” kata wali Paidi agak kasar.
“Ali Fidaus… ha.. ha… ha…” jawab Orgil itu sambil tertawa, kontan wali Paidi berbalik meninggalkan mereka.
Wali Paidi menuju pangkalan ojek akan melanjutkan perjalanan sambang ke masjid abanya yang kini dikelola oleh kakaknya, setelah menyampaikan alamat ke tukang ojek, “dua puluh ribu aja mas” kata tukang ojek.
“Lima belas aja ini uangnya hanya lima belas ribu,” sahut wali Paidi.
“Ya monggo sekalian saya pulang”.
Ternyata rumah Paidi tidak terlampau jauh dari terminal, belum jam lima sore dia sudah nyampai, namun karena di rumahnya nampaknya ada tamu, dia langsung jujug ke masjid; yang lebih tepat disebut langgar atau mushollah karena ndak pernah dipakai jum’atan. Namun Paidi selalu menyebutnya masjid, karena setiap masuk ke situ ia selalu menyempatkan sholat tahiyyatul masjid, bukan tahiyyatul mushollah.
Selesai hormat masjidnya, wali Paidi melongok ke pintu rumah pas kebetulan tamu itu akan pamitan, wali Paidi sempat berpapasan dengan tamu tadi, tamu itu tersenyum ke wali Paidi dan wali Paidi sempat temenggengen karena dia akrab dengan wajah itu tapi pernah ketemu kapan dan dimana… orangnya necis pakai dasi.
”Assalamu alaikum,” suara kakaknya mengagetkan dan membuyarkan pikirannya tentang tamu berdasi itu.
“Njanur gunung… kamu kok kayak boy-boy gini Lii.. dari mana,” tanya kakaknya lagi ndak memberi kesempatan wali Paidi menjawab salam.
“Assalamualaikum… waalaikum salam Warohkatullah… dari Jombang.. niat kesini kangen sama sampeyan sekeluarga.”
Sengaja dia menyampaikan salam, baru menjawab salam dan menjawab pertanyaan kakaknya; karena wali Paidi merasa sebagai tamu seharusnya menyampaikan salam dahulu tapi karena dia temenggengen memandangi tamu tadi, jadilah dia tidak salam duluan.
“Waduh dik Ali.. kok ngganteng… mau kunjung pacar tah,” timpa istri kakaknya keluar ke ruang tamu. Ndak pakai duduk apalagi ngobrol-ngobrol, masih posisi berdiri wali Paidi mohon pamit, namun sebelum pamit dia sempat menanyakan tentang tamu yang baru datang.
“Kurang jelas siapa namanya… tapi orang ini aneh… masa dia bawa tiga bolpoin dan minta dido’akan agar bolpoin ini barokah… kemudian dia pamit dan hanya membawa satu bolpoinnya… ini satu kamu bawa aja berikan ke anak-anak dikampungmu sebagai hadiah… lho.. ini namanya,” kata kakak wali Paidi sambil menyerahkan kartu nama yang di beri tamu tadi.
Wali Paidi memandangi bolpoin… kayaknya ini bolpoin yang diberikan oleh pedagang di bis tadi… dan diamati kartu nama tertulis… drs. H. Moch. Shodiq… wali Paidi tersenyum dan bergumam “Bang Oyik”.
Wali Paidi mohon pamit, prilaku seperti ini sudah biasa dilakukan pada kakak dan orang-orang dekatnya, kalau tujuannya kangen, seharusnya setelah melihat yang dikangeni itu seger waras, maka dia segera pergi ndak usah banyak basa-basi.
Kalau tujuannya karena keperluan tertentu, misalnya minta bantuan atau apa, maka perlu duduk rembukan dan bila misinya tercapai atau gagal maka beliau segera balik.
Setelah bersalaman dan mencium tangan kakaknya serta melambaikan tangan ke mbakyunya, wali Paidi berjalan ke belakang musholah…. Dan tatkala adzan magrib masih terdengar dari musholahnya… dia muncul dari lompongan pinggir rumahnya, rupanya tadi dia pulang dari Jombang jalan kaki lewat jalan terabasan.
Dengan masih berpakaian seperti boy-boy, kacamata hitam dilipat dicangklok dileher kaos depan tangan kanan membawa bolpoin dia langsung menuju mushollah, melepas sepatu, mengambil wudhu, dan memberi isyarat agar segera dikomati.
Wali Paidi menjadi imam sholat dengan pakaian celana Jean dan pakai kaos, ndak pakai kopiah. Tidak tahu apakah ada jemaahnya yang menjadi kurang khusuk karenanya.
Setelah sholat maghrib berjamaah dan menyelesaikan beberapa wirid ia berdiri maksudnya ingin segera mandi-mandi dan ganti pakaian, tetapi ada jama’ah yang menarik celananya sambil berkata, “Ayo dik Paidi… ke rumah pak Sampir sekarang, ndak usah ganti nanti ndak keburu… kasihan bu Sampir kalau yang tahlil hanya sedikit.”
Terpaksa wali Paidi ikut ramai-ramai kesana setelah ia meletakkan kacamata dan bolpoin di pengimaman musholah.
Pada acara tahlilan di rumah bu Sampir yang termasuk tetangganya walaupun beda RT, wali Paidi tidak termasuk pimpinan atau pemandu tahlil, tapi karena dia datang dengan salah costoom, maka ada juga orang yang ngerasanI..,“tahlilan kok pakaiannya kayak Yahudi.”
EDITOR: REYNA
Related Posts
Imbangan Analisis Psikologis Prabowo Subianto
Psikologi Prabowo Subianto: Di Persimpangan Jalan Yang Kompleks Dalam Hubungannya Dengan Jokowi dan Gibran
Kurikulum : Dari Shallow ke Deep Learning
Pendidikan Sekolah Perlu Mengajarkan Intuisi dan Penguatan Nurani Untuk Kesuksesan Sejati
Mosaik Kepemimpinan Dalam Al Quran
ITS Ibu Yang Luhur
Mengapa Amandemen UUD 1945 Itu Berkaitan Dengan Kemunduran Ekonomi
Anak Semester I itu Lafran Pane, Pendiri HMI
Peringatan 10 Nopember Sepi
Dimensi Ketuhanan Dalam Firman
No Responses