Cerpen: Astika Disaat Ngopi Semedi

Cerpen: Astika Disaat Ngopi Semedi
Ilustrasi: Kedai kopi "Klinik Kopi" di Yogyakarta



Oleh: Yudhie Haryono
Pendiri Universitas Nusantara

Bogor. Kulihat senyummu di bulir rintik hujan. Aku menengadahkan tangan mencoba menangkapnya. Dingin. Sebeku hatimu padaku. Dan, ada banyak isu tak bisa ditelusur satu-satu.

Di sini setelah hujan lalu gerimis. Bulirnya dikirim yesus. Tapi orang-orang butuh keadilan. Bukan dahaga air berlebihan.

Rasanya aku mulai terus bergairah. Merayumu tak ingin menyerah. Menembus diammu penuh sedekah. Sebab kutahu rindumu kan merekah. Memintaku memelukmu sepenuh-penuh. Sidarta kirim budha dengan bilah.

Para kyai, romo, pendeta, bikku dan teis. Ingin kupastikan bagaimana takdir kejeniusan, mengulurkan persembahan untuk masa depan rakyatmu. Aku jatuh cinta padamu: Indonesiaku. Dalam gemuruh dan riuh. Dalam gelap dan terang. Dalam dompet dan uang.

Ya. Uang tidak menjamin kebahagiaan. Tapi, kebahagiaan rasanya sulit tanpa uang. Kau tahu, uang tidak akan dibawa mati. Tapi hidup tanpa uang rasanya mau mati. Ada uang, den kowi disayang. Tidak ada uang, den kowi ditendang. Sehat jika tidak punya uang yo mumeet. Punya uang tapi tidak sehat yo mumet.

Saat mumet, Tuhan menakdirkan semua elite Indonesia menjadi begundal neoliberalisme, kecuali aku. Sebab, aku yang ditakdirkan Tuhan untuk menumpas mereka sampai ke akar-akarnya!

Kesadaran ini penting sebab, penjajahan dan cengkraman genk begundal neoliberal sudah dimulai saat Batavia dibangun VOC menggunakan cetak biru Freemasonry Hindia Belanda. Kelompok persaudaraan okultis ini menyisipkan aneka simbol Masonik-nya di berbagai tata ruang kota, arsitektur gedung dan monumen, prasasti makam, dan lain-lain, yang masih bisa disaksikan hingga sekarang.

Pada 1738 dan 1751, Vatikan menyatakan Freemasonry tidak bertuhan. Pada 1962, Presiden Soekarno membubarkannya. Namun, pada 2000, Gus Dur menerbitkan Keppres No. 69/2000 yang melegalkan kembali Freemasonry di Indonesia. Ingat, Gus Dur. Ya. Doi presiden yang tak begitu paham konstalasi ekopol kolonial. Tetapi, ya sudahlah.

Jika tuan-tuan kesulitan mencerna kuliah-kuliahku, kalian bisa melihat dari sisi cerita. Ada tiga penulis novel yang karyanya mewakili kegelisahanku, kuliah-kuliahku, buku-bukuku, riset-risetku dan imaji-imajinasiku. Tentang postkolonial, oligarki, arsitektur ekopol kolonial, neoliberalisme, Pancasila, atlantik, nusantara, triasekonomika, lemurian, psikohermeneutika, jalur rempah, nusantara studies dan mental kolonial.

Para novelis itu adalah: Tere Liye, ES Ito dan Rizki Ridyasmara. Berikut 6 isi novel tersebut: “Jika engkau membacanya, kukira daya kecerdasanmu akan makin tajam. Daya amarahmu makin jenius. Menuju kesadaran semesta. Mercusuar dunia.”

Ini penting kusampaikan saat dik Kowi mengetik: Orang tolol, bicara kejelekan. Orang pandai, bicara perbaikan. Orang jenius, bicara terobosan.

Dan, dik Bowo mengetik: Orang tolol membicarakan orang. Orang pandai membicarakn peristiwa. Orang jenius membicarakan gagasan. Saat ini, uang tidak menjamin kebahagiaan. Tapi, kebahagiaan rasanya sulit tanpa uang. Uang tidak akan dibawa mati. Tapi hidup tanpa uang rasanya mau mati. Ada uang, den kowi disayang. Tidak ada uang, den kowi ditendang. Sehat jika tidak punya uang yo mumeet. Punya uang tapi tidak sehat yo mumeet.(*)

EDITOR: REYNA