Cerpen Yudhie Haryono: Kisah Serdadu Tuwir

Cerpen Yudhie Haryono: Kisah Serdadu Tuwir
Tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang ikut serta dalam Pemberontakan Blitar di bawah pimpinan Supriyadi dihadapkan pada penguasa Jepang di Jakarta.




Oleh: Yudhie Haryono, Universitas Nusantara

Kami berasal dari KNIL dan PETA. Secara geneologis, kami serdadu bayaran kolonial. Jadi kalau sama penjajah, kami sungkan dan takut. Tapi kalau sama warganegara dan teman sendiri, kami bisa sangat ganas. Kadang-kadang kami bahkan baku tembak antar kawan sendiri. Jika harus mengusir teroris ekonomi macam Vriput dan EM-EN-CE, yang selama ini menyuap elite ya kami mogok.

Tetapi kalau disuruh gusur rakyat yang tak punya serifikat tanah (SHM) agar tanah itu jadi milik asing dan aseng, ya itu tugas suci. Kami memang penjaga begundal kolonial. Kalian mau apa hah?

Monumen dan Museum PETA di Bogor

Kini, ayok kita nyanyi dulu. Lagu berjudul “serdadu.” Dulu dinyanyikan Iwan Fals.

Isi kepala di balik topi baja/Semua serdadu pasti tak jauh berbeda/Tak peduli perwira, bintara, atau tamtama tetap tentara/Kata berita gagah pekasa/Apalagi sedang kokang senjata/Persetan siapa saja musuhnya/Perintah datang karangpun dihantam.

Serdadu seperti peluru/Tekan picu melesat tak ragu/Serdadu seperti belati/Tak dirawat tumpul dan berkarat/Umpan bergizi oh titah bapak menteri/Apakah sudah terbukti/Bila saja masih ada buruknya kabar burung/Tentang jatah prajurit yang dikentit.

Lantang suaramu otot kawat tulang besi/Susu, telur, kacang ijo, extra gizi/Runtuh dan tegaknya keadilan negeri ini/Serdadu harus tahu pasti/Serdadu baktimu kami tunggu/Tolong kantongkan tampang serammu/Serdadu rabalah dada kami/Gunakan hati jangan pakai belati.

Serdadu jangan mau disuap/Tanah ini jelas meratap/Serdadu jangan lemah syahwat/Nyonya pertiwi tak sudi melihat.

Tentu, kalau baca buku baku maka sejarah serdadu dibentuk melalui perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dari ancaman Belanda yang ingin kembali berkuasa menjajah Indonesia melalui kekerasan senjata. Itu yang baku. Kalau yang standar, lain lagi. Kalau yang kritis, ya pasti tidak begitu.

TNI pada awalnya merupakan organisasi yang bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan selanjutnya diubah kembali menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Pada masa mempertahankan kemerdekaan ini, banyak rakyat Indonesia membentuk laskar-laskar perjuangan sendiri atau badan perjuangan rakyat. Usaha pemerintah Indonesia untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, sambil bertempur dan berjuang untuk menegakkan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.

Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden Soekarno mengesahkan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara resmi. Ini kisah yang ditulis mereka, oleh mereka dan untuk Indonesia. Yang sejatinya, tentu warna-warni.

Tetapi, kisah serdadu di negara postkolonial selalu tampil dalam dua wajah: pahlawan dan pengkhianat. Pahlawan misalnya Soedirman. Pengkhianat misalnya Soeharto. Studi-studi terhadap mereka juga punya dua style. Mendukung dan menolak. Ini memang simalakama. Sayangnya, jenis pengkhianat lebih banyak. Hal ini karena pembinaan liberalisme Amerika dkk lebih dulu daripada nasionalisme Ki Hadjar Dewantara. Konflik PKI versus AD adalah point awalnya. PKI dianggap pembela rakyat. AD dituduh penjajah rakyat. Lihat saja pertarungan mereka, antara perwira lurus dan zuhud melawan jendral-jendral yang hobinya golf dan mobil mewah.

Sejarah serdadu hari ini makin solid menuju babak baru sebagai pelaksana shadow economics. Jika dulu hanya sebagai pelindung, kini makin akut sebagai pelaku.

Lihat. Betapa banyak kini serdadu yang menjadi centeng dari pembuat atau pelaku tindakan yang melanggar hukum. Club-club malam, tempat prostitusi, bahkan tempat berjudi justru mendapatkan perlindungan dan pelaku sekaligus.

Munculah penilaian negatif dari warga. Maka cara menutupinya dengan menyebut serdadu profesional. Apanya yang profesional? Mencari uang demi kantongnyakah? Ingat, profesi itu pekerjaan. Maka mereka nyari kerja. Bukan bela bangsa. Bukan bela negara. Apalagi rakyat miskin!

Padahal, fungsi serdadu itu mulia sekali jika kita baca di atas kertas: 1)Sebagai penangkal terhadap ancaman bagi kedaulatan, keutuhan, serta keselamatan bangsa Indonesia baik itu dalam bentuk ancaman militer maupun ancaman bersenjata yang berasal dari dalam dan luar negeri; 2)Sebagai penindak lanjut terkait ancaman yang dapat mengganggu kedaulatan, keutuhan, serta keselamatan bangsa Indonesia baik dalam bentuk ancaman militer maupun bersenjata yang berasal dari dalam atau luar negeri; 3)Sebagai pemulih kondisi keamanan negara Republik Indonesia yang terganggu akibat adanya kekacauan yang mengganggu keamanan.

Sedang tugas pokok serdadu juga dahsyat. Minimal ada tiga: 1)Menegakkan kedaulatan Negara; 2)Mempertahankan keutuhan wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945; 3)Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia dari segala ancaman atau gangguan yang dapat membahayakan keutuhan bangsa.

Aikh berat dan suci bener yah. Sesungguhnya, semua bayi di Indonesia lahir dengan kecerdasan dahsyat dan karakter kuat. Para calon serdadu dan vulisi juga sama. Kaum elitlah yang membuatnya bodoh dan cacat karakter di kehidupan selanjutnya.

Karena itu tak ada kejahatan lebih besar di dunia ini kecuali membuat bayi-bayi itu menjadi pengkhianat konstitusi. Dan, itu pekerjaan kolonial yang diulang-ulang elit republik ini.

Coba lihat dik Luhut (bekas Jendral bintang). Kerja sebagai menko maritim dibayar pakai APBN tapi ngurusi cagub di pilkadal DKI? Begundal bukan?

Maka, menjadi serdadu di negaramu kini seperti proses membusukkan diri. Mirip ingatan yang tak pernah solid. Tak bisa stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Dus, mudah membela yang bayar. Mereka seperti kertas, ketika menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah: mencari jati diri yang sering terbeli. Kadang murah, kadang mahal.

Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembab atau memerah. Tergantung yang menang. Tergantung yang modali. Asong tepatnya.

Serdadu kita kini persis neoliberalisme: penyakit modern yang kadang dipuja berlebihan tapi sesungguhnya rapuh dan lumpuh. Makin hari makin tak dimengerti oleh warganya sendiri.(*)

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=