', layer: '
IKLAN BUKU PAK DUBES
'} ];
Tulisan berseri ini diambil dari Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, lihat linknya dibawah tulisan ini. Atau pesan langsung bukunya pada redaksi zonasatunews.com dengan nomor kontak WA: 081216664689
Novel “SAFARI” ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata yang dialami sejumlah mahasiswa yang kuliah di luar negri dikombinasi dengan pengalaman pribadi penulisnya. Seorang mahasiswa yang memiliki semangat tinggi untuk menuntut ilmu di negara maju, ditopang oleh idealisme berusaha memahami rahasia kemajuan negara lain yang diharapkan akan berguna bagi bangsa dan negaranya saat kembali ke tanah air.
Karya: Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO
SERI-25
Canberra merupakan kota yang sangat tenang, bahkan dapat dikatakan sepi, untuk sebuah kota yang memiliki status ibukota negara, apalagi Australia termasuk negara besar dan maju. Mungkin karena kota ini sengaja dirancang untuk urusan pemerintahan saja, sehingga jauh dari hirukpikuk dunia bisnis dan hiburan.
Canberra ditetapkan sebagai ibukota Australia pada 1913. Kota ini dirancang oleh seorang arsitektur Amerika bernama Walter Burley Griffin, dibangun dengan moto Untuk Ratu, Hukum dan Rakyat. Karena merupakan kota baru yang dirancang di lahan kosong, tata kotanya sangat ideal dan sempurna. Konon Canberra dipilih karena letaknya di antara Sydney dan Melbourne, dua kota besar yang berebut ingin dijadikan ibukota negara. Agar adil, maka dipilihlah Canberra.
Pusat kota berada di Gedung Parlemen lama. Gedung parlemen tersebut sekarang dijadikan sebagai museum berdirinya negara Australia. Bagaimana pertamakali orang-orang Inggris mendarat di negeri itu, kehidupan suku asli Aborigin, dan hubungan antara pendatang dan penduduk asli dapat dilihat di museum tersebut. Gambargambar
para tokoh dan perjuangannya diabadikan di gedung parlemen itu. Di sebelahnya terbentang Danau Burley Griffin yang airnya tenang dan sangat bersih. Nama danau itu diambil dari nama sang Perancang Canberra.
Saat meninggalkan gedung tersebut Aku melihat gubuk dekil yang dibangun secara mencolok, kontras dengan lingkungannya yang hijau dan asri di sebrang jalan di depan gedung. Ada bendera berwarna aneh di atasnya, menyerupai bendera suku-suku di pedalaman Afrika. Dengan hati-hati Aku bertanya kepada petugas yang sedang berdiri di depan museum.
“Mmm itu orang-orang Aborijin yang tidak tahu diuntung!”, kata petugas itu sambil memalingkan wajahnya dengan muka cemberut.
Aku tidak faham apa makna dari sikapnya itu, tapi untuk melontarkan pertanyaan tambahan jelas tidak mungkin. Karena itu, sementara Aku pendam rasa ingin tahuku.
Di kejauhan, di seberang museum, berdiri War Memorial yang menyimpan koleksi benda-benda bersejarah yang bercerita tentang keterlibatan Australia pada Perang Dunia Pertama dan Kedua. Bentuk bangunannya sangat anggun, meminjam gaya arsitektur Byzantium dengan ciri dinding tebal-tebal, banyak lengkungan, serta atapnya berbentuk kubah. Koleksi di dalamnya berupa berbagai persenjataan yang pernah digunakan, serta alat angkut dari mobil, tank, pesawat tempur, dan kapal perang.
Pada arah yang berlawanan, di sebuah bukit, terletak gedung parlemen baru. Orang menyebutnya Capitol Hill yang arti harfiahnya adalah “bukit ibukota”. Bukit itu berjarak sekitar 5 km dari War Memorial. Bila kita berdiri di puncak gedung parlemen yang baru itu, maka War Memorial akan tampak kecil sekali. Di antara Capitol Hill dengan War Memorial terbentang bulevar yang di tengahtengahnya terletak gedung parlemen lama yang kini sudah jadi museum itu.
Biasanya sebuah gedung bertingkat dibangun ke atas. Tapi, Capital Hill dibangun ke bawah dengan cara menggali bukit. Sebagian tanah yang menuju puncak bukit dibiarkan seperti sediakala. Walaupun gedung
itu berlantai empat, tapi tinggi atapnya sama dengan puncak bukit semula. Masyarakat umum leluasa berlalulalang melewati atapnya. Bahkan anak-anak yang sedang bermain, berguling-guling di rumput di atas bukit serta bisa berdiri di puncak gedung.
Bangunan Capital Hill didasari pada filosofi bahwa baik anggota parlemen maupun para menteri, bahkan perdana menteri, yang sering berdebat di tempat tersebut, sesungguhnya berada di bawah telapak kaki
rakyat. Gedung itu dirancang oleh Romaldo Giurgola yang memenangkan sayembara yang diikuti oleh banyak arsitektur dari seluruh dunia. Gedung tersebut resmi mulai digunakan tahun 1988 setelah diresmikan oleh Ratu Elizabeth II.
Saat Aku mengunjunginya, Perdana Mentri John Howard berada di dalam gedung tersebut. Howard yang didampingi para menterinya sedang berdebat dengan anggota parlemen dari kubu oposisi partai Buruh. Para pengusaha, para pengamat yang berkepentingan terhadap perkembangan mutakhir atas isu-isu tertentu, juga ikut menyaksikan perdebatan itu. Bahkan, anak-anak sekolah yang diantar oleh guru mereka tampak asyik menonton di antara para pengunjung.
Simbol negara Australia, kanguru dan burung unta, diambil dari jenis hewan yang khas dan tidak dimiliki negara lain. Penduduk aslinya adalah Suku Aborigin yang berkulit gelap dan berambut ikal. Orang Inggris pertama kali mendarat di Australia pada akhir abad ke-17, dan pada pertengahan abad ke-18 Benua Australia ditetapkan sebagai koloninya. Sydney, yang berupa teluk kecil, merupakan tempat pemukiman pertama yang dibangun. Kota ini sekarang menjadi pusat bisnis dan kota terbesar
di Australia. Jaraknya hanya sekitar setengah jam dari Canberra dengan pesawat terbang.
ANU terletak di kota Canberra. Acara resmi seminar hanya berlangsung satu hari. Kami memiliki dua hari waktu sisa untuk tinggal di Guest House yang berada di kompleks kampus. Prof. Frederich memberikan kebebasan penuh kepadaku untuk menghabiskan waktu yang tersisa. Aku
senang sekali berjalan-jalan di lingkungan kampus ANU, khususnya pada siang hari saat matahari bercahaya sempurna, sementara udara masih dingin untuk ukuran orang Indonesia. Aku tetap menggunakan jaket walaupun orang Australia sendiri kebanyakan menggunakan T-Shirt.
Pada musim semi seperti ini, daun-daun yang berwarna hijau segar mendominasi pohon-pohonnya. Banyak pohon, baik besar maupun kecil, ditata rapi dan asri. Udaranya juga sangat bersih. Mahasiswa maupun dosen banyak yang menggunakan sepeda ontel ke kampus. Aku membayangkan kapan kita punya kampus dengan suasana seperti itu.
Di lingkungan kampus, para mahasiswa Muslim tidak pernah kesulitan untuk melaksanakan shalat lima waktu, karena hampir di setiap bangunan ada tempat yang bisa digunakan untuk shalat yang diberi nama Prayer Room. Aku shalat Jumat di sebuah barak yang dipermak menjadi mushala. Mayoritas yang shalat Jumat saat itu adalah para mahasiswa dari Indonesia. Terlihat juga beberapa mahasiswa dari Pakistan, Malaysia dan Afrika. Seluruh mahasiswa yang kuliah di kampus ini tidak kurang dari 13.000, berasal dari 94 negara. Khatib berhotbah dengan menggunakan bahasa Inggris yang cukup fasih. Ketika shalat Jumat usai, Aku menyapa sang khatib,
“Khotbahnya bagus sekali!”.
“Alhamdulillah”, jawabnya dengan nada merendah.
“Saya Amil, mahasiswa Indonesia. Saat ini sedang studi di Jerman”, katakuku memperkenalkan diri.
“Saya Tengku Rifqi, asal Aceh”, balas khatib yang masih sangat belia itu.
“Berapa banyak mahasiswa Indonesia yang sedang studi di sini?”, tanyaku ingin tahu.
“Mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti program master atau doktor di kampus ini, merupakan mahasiswa asing terbesar. ANU menjadi favorit, mungkin karena di samping dekat dari tanah air, universitas ini memiliki reputasi internasional. Berdasarkan penelitian lembaga independen terbaru, ANU berada di urutan ke 16 universitas terbaik dunia. Para ilmuwan sering berkumpul di kampus ini. Tokoh-tokoh politik juga sering diundang untuk berbicara. Sore ini Mantan Wakil Perdana Mentri Malaysia Anwar Ibrahim akan memberikan ceramah. Tokoh-tokoh Indonesia juga sering diundang ke kampus ini. Tapi yang paling menarik bagi teman-teman, tentu karena banyaknya beasiswa yang ditawarkan untuk mahasiswa Indonesia. Sebagian besar mahasiswa yang kuliah di sini menggunakan beasiswa”.
“Bagaimana dengan kualitas dosennya?”, tanyaku ingin tahu.
“Para profesor di sini sebagian besar orang Australia sendiri, kecuali beberapa orang yang sengaja didatangkan dari luar. Di sini banyak dosen yang menekuni tentang Indonesia yang lazim dipanggil Indonesianis. Karena seriusnya, bahasa Indonesianya sampai-sampai sudah seperti orang Indonesia asli. Bahkan kalau berbicara body language-nya lebih santun daripada orang Indonesia sendiri. Dan jangan kaget, di antara mereka tidak sedikit yang beristrikan orang Indonesia”.
Selama di Australia Aku dibantu penuh oleh teman-teman mahasiswa yang sedang kuiah di ANU. Sebuah kehangatan yang jarang Aku temui di tempat lain. Para mahasiswa Indonesia di luar negeri biasanya sangat senang bila ada saudara sebangsanya datang. Mereka berusaha untuk membantu berbagai keperluanku. Mungkin sebagai kompensasi akan rindu kampung halaman. Orang-orang Indonesia selalu ingin pulang bila sudah menyelesaikan program doktoralnya, meskipun sering kali mendapat tawaran dengan gaji besar di tempatnya menuntut ilmu. Berbeda dengan mahasiswa Cina atau India yang umumnya tidak ingin pulang setelah menyelesaikan studinya.
Baca Juga:
- Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-22): Mengunjungi Piramida Firaun
- Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-23): Takjub Di Luxor
- Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-24): Menjadi Asisten Herr
Aku dikunjungi banyak kawan yang sedang belajar di Australia. Selain mengunjungi tempat tinggal mereka, Aku juga diundang sebagai pembicara untuk berdiskusi. Kesempatan ini Aku gunakan untuk mengetahui persoalan suku Aborigin yang masih mengganjal sejak secara tidak sengaja melihat gubuk dekilnya.
“Sebagai penduduk asli, bagaimana nasib orang Aborigin di negeri ini?”, tanyaku pada Mas Marijan yang paling antusias menemaniku.
“Pada umumnya mereka terbelakang, baik secara ekonomi maupun pendidikan”.
Bagaimana sikap pemerintah terhadap mereka?”, tanyaku penasaran.
“Saat ini jauh lebih baik daripada dulu. Mereka mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah”.
“Maksudnya, dulu mereka diperlakukan buruk?”, tanyaku menegaskan.
“Yah, seperti Suku Indian di Amerika”, jawabnya diplomatis.
“Apa yang membuat pemerintah mengubah sikapnya?”.
“Mungkin mereka merasa berdosa atas kebijakan tempo dulu yang bukan saja diskriminatif, tapi dapat dikatakan keji untuk ukuran HAM saat ini”.
“Lalu kenapa mereka masih protes?”.
“Mereka merasa sebagai pemilik negeri ini, sementara orang-orang kulit putih dianggapnya sebagai pendatang yang kini menguasai miliki mereka”.
Walaupun belum sepenuhnya memuaskan, tapi Aku merasa sudah mendapatkan substansi jawabannya.
Aku diantar untuk mengunjungi banyak tempat, di antaranya National Museum of Australia yang terletak di pinggir Danau Barley Griffin. Museum ini menyimpan benda-benda seni kontemporer karya seniman Australia. Di museum tersebut kita juga bisa menyaksikan kekayaan alam Australia, lengkap dengan flora dan faunanya melalui film tiga dimensi yang disajikan secara unik. Penonton duduk pada deretan kursi yang lantainya diputar.
Aku juga diantar untuk melihat Floriade. Floriede merupakan bagian dari Australia’s Celebration of Spring yang menjadi festival tahunan Negeri Kanguru. Di hamparan taman yang luas dan hijau, ditampilkan berbagai jenis tulip yang sengaja didatangkan dari berbagai negara. Warna merah, kuning dan ungu tampak sepanjang mata memandang. Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan. Sebenarnya idenya sederhana, tapi karena dipersiapkan matang, menghasilkan sesuatu yang unik dan menarik. Padahal Australia sendiri tidak punya tulip.
Aku melihat sepasang muda-mudi berwajah India berpose dan mengambil gambar secara bergantian dengan ceria. Aku teringat film-film produksi Bollywood yang sering Aku saksikan lewat layar TV di tanah air. Pikiran usilku muncul.
“Wah kayak bintang film India”, komentarku dengan nada menggoda.
“Maaf, kami orang Pakistan, bukan India”, jawab si pria dengan dialek Indianya yang khas.
“Bisakah Anda menambilkan foto untuk kami berdua?”, pintanya lebih lanjut.
“Tentu”, jawabku sambil mengambil HPnya.
Mereka berdua lalu mengambil posisi ke tengah-tengah kumpulan bunga yang sedang merekah. Yang pria melingkarkan tangannya ke bahu kekasihnya. Sementara si gadis melingkarkan tangannya ke pinggul sang pemuda.
“Wah mesra betul”, komentarku.
Pikiran usilku muncul kembali. Dengan jari tangan Aku beri isyarat agar si pria memiringkan kepalanya ke arah si gadis.
Mereka berdua tersenyum ceria diperlakukan seperti itu. Setelah puas memandangnya, aba-aba “cheese” Aku berikan agar mereka berdua tetap menampakkan giginya. Mereka berdua tampak tak sabar untuk melihat hasilnya. Melalui layar HP, mereka berdua melihat hasil jepretanku.
“Greaaaaaaaaaaattttt!”, teriak mereka, puas.
Mereka berdua lalu menyalamiku secara bergantian, dan mengucapkan, “Thank You”.
Mereka lantas berlalu sambil melambaikan tangan. Umumnya yang datang ke Floriade adalah pasangan muda-mudi. Suasananya memang sangat cocok untuk mereka yang sedang memadu kasih. Apalagi danau yang berada di sebelahnya mengalirkan air yang sangat bening. Bebek-bebek berenang riang di atasnya tanpa ada yang mengusik.
Alangkah indahnya sekiranya Aku juga membawa pasangan seperti mereka, khayalku melayang jauh. Tapi siapa? Wajah Nurul dan Vera muncul silih berganti. Mungkinkah satu di antara keduanya? Tapi yang mana? Masing-masing memiliki kelebihannya sendiri. Kini Aku menyadari ada perasaan bahagia bila berada di dekat mereka, dan muncul perasaan rindu bila agak lama tidak jumpa. Ah, Aku tak kuasa menentukan.
Aku menyempatkan diri untuk mampir ke KBRI. Kebetulan KBRI Canberra sedang mengadakan acara peringatan Isra’ Mi’raj. Selain mereka yang bekerja di KBRI, juga hadir para mahasiswa dan warga Indonesia yang sedang menunaikan tugas di Australia. Aku memerhatikan anak-anak mereka berlari dan bercanda dengan menggunakan bahasa Inggris. Kalau orang tua mereka mengingatkan dengan menggunakan bahasa Indonesia, mereka membalasnya
dengan bahasa Inggris. Tampaknya mereka faham bahasa Indonesia, tapi lebih suka menggunakan bahasa Inggris. Aku melihatnya sebagai fenomena yang menarik. Karena penasaran, Aku tanyakan hal ini pada Mas Marijan yang sedang menyelesaikan studi doktornya di ANU.
“Mereka menggunakan bahasa Inggris di sekolah. Juga kalau para mahasiswa atau pegawai KBRI punya anak kecil, saat mereka berangkat ke kampus atau ke kantor, mereka akan menitipkan anaknya ke baby care, sebuah tempat penitipan anak semacam play group yang para pengasuhnya menggunakan bahasa Inggris. Maklum di sini kita tidak punya pembantu. Kalau mau bawa dari Indonesia sangat susah, karena peraturan di sini sangat ketat. Belum lagi uang jaminannya sangat besar”, kata Mas Marijan, menjelaskan.
Sisa waktu sehari Aku gunakan untuk mengunjungi Sydney. Dengan bus bisa mencapainya dalam waktu sekitar lima jam. Jalannya halus dan lebar, mirip Jalan Tol Jagorawi. Di kota inilah berdiri Opera House yang kini menjadi ikon kota Sydney. Dilihat dari atas, Opera House tampak seperti dua ekor keong raksasa berwarna putih yang berjalan beriringan menuju ke air, diikuti seekor keong kecil di belakangnya. Tapi, dari samping tampak seperti perahu raksasa yang digunakan Inggris pada abad pertengahan dengan potongan-potongan layarnya berwarna putih yang tersusun indah.
Aku berjalan di atas Sydney Harbour Bridge atau jembatan pelabuhan Sydney yang menghubungkan dua bibir teluk. Setelah puas memandangi kota itu dari atas jembatan, Aku berjalan melewati Museum of Contamporary Art, yang disingkat MCA, menuju Opera House.
Opera House kini menjadi landmark kota Sydney yang paling menarik di samping Harbour Bridge dan Syadney Tower yang menurun daya tariknya sejak dibangunnya Opera House. Pada malam hari, gedung tersebut tampak lebih indah dengan sorotan lampu yang ditata sedemikian rupa, sehingga bagian-bagian tertentu saja yang tampak menonjol, sedangkan bagian lainnya terlihat samar atau digelapkan sama sekali. Opera House dirancang oleh seorang arsitektur Denmark bernama Joern Ultzon setelah memenangkan lomba yang diikuti oleh 230 peserta yang berasal dari 33 negara. Gedung itu selesai dibangun tahun 1973.
Aku diantar oleh Mas Bambang yang bekerja di sebuah bank swasta di Sidney mengunjungi sebuah yayasan yang dikelola oleh komunitas Lebanon yang cukup sukses. Namanya Yayasan Al Amanah. Selain mengelola masjid, sekolah dari taman kanak-kanak sampai SMA dengan bahasa pengantar Inggris dan Arab, mereka juga membina para remaja dengan menggunakan sarana olah raga termasuk bela diri. Kini mereka juga mengembangkan dakwahnya dengan menggunakan radio pemancar yang diberi nama 2MFM, singkatan dari To Muslem FM, yang dipancarkan lewat gelombang 92.1 FM. Orang-orang Lebanon merupakan etnis Muslim yang cukup besar dan sukses di Australia.
Sebelum kembali ke Canberra, Aku diajak mampir ke pasar Paddy’s Market, tidak jauh dari stasiun kereta api. Pasar ini sangat popular bagi turis asing, karena menjual berbagai suvenir dengan harga sangat murah. Menurut Mas Bambang yang didampingi istrinya, hampir semua orang Indonesia yang datang ke Sydney mampir ke pasar ini. Yang membuat Aku kaget, barang-barang yang dijual sebagian besar made in Cina. Bagaimana mungkin berbagai suvenir dengan gambar Sydney buatan Cina? Mungkinkah mereka sudah mengembangkan kebijakan out sourching?
Ah peduli amat, pikirku. Yang penting Aku dapat barang murah untuk oleh-oleh. Aku membeli dua T-shirt bergambar Opera House. Satu akan Aku pakai sendiri dan satunya lagi untuk Azam. Lalu Aku juga membeli dua helai kain sutra bergambar kanguru, satunya berwarna merah jambu untuk Vera, dan satunya lagi biru langit untuk Nurul. Sengaja Aku sesuaikan dengan warna kesukaan masingmasing.
(Bersambung…..)
EDITOR: REYNA
Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:
Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ Judul Novel: Safari https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ Judul Novel: Bersujud Diatas Bara https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ
Related Posts
Cerpen: Piye kabare? Enak jamanku to?.. Nggih mbah
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-14): Kota Samarkand
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-13): Antara Ataturk dan Erdogan
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-12): Antara Dua Masjid
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-11): Ziarah ke Makam Alfatih
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-10): Islam Agama Sejak Adam
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Ser-9): Usaha dan Do’a
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Ser-8): Wisata Islami
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Seri-7): Kolaborasi Untuk Negeri
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Seri-6): Harta Karun Yang Belum Digali
Discover More HereSeptember 14, 2023 at 9:40 pm
… [Trackback]
[…] Info on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-25-ke-negeri-kanguru/ […]
stapelsteinOctober 30, 2023 at 11:31 pm
… [Trackback]
[…] Read More Information here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-25-ke-negeri-kanguru/ […]
บ้านอัจฉริยะFebruary 22, 2024 at 6:52 am
… [Trackback]
[…] Read More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-25-ke-negeri-kanguru/ […]
ดูซีรี่ย์March 9, 2024 at 3:50 pm
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-25-ke-negeri-kanguru/ […]
นำเข้าสินค้าจากจีนJune 8, 2024 at 6:35 am
… [Trackback]
[…] Read More Info here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-25-ke-negeri-kanguru/ […]
แผ่นแปะหลังคาJune 14, 2024 at 4:04 pm
… [Trackback]
[…] Find More Information here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-25-ke-negeri-kanguru/ […]
バンコク不動産August 11, 2024 at 6:17 am
… [Trackback]
[…] Find More Info here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-25-ke-negeri-kanguru/ […]