', layer: '
ISTANA PRESIDEN TURKI
Istana kepresidenan Turki yang dikenal dengan White Palace.
'} ];
Jika merujuk pada Al Qur’an secara benar, maka kita tidak saja menemukan betapa kitab suci ini memberikan penghargaan yang sangat tinggi terhadap akal manusia. Logika dan berfikir menjadi proses untuk memahami ciptaanNya yang akan bermuara pada mengimani keberadaanNya. Dengan kata lain antara hati dan otak atau antara keyakinan dan fikiran bukan saja seharusnya berjalan seiring, lebih dari itu seharusnya saling menopang dan saling melengkapi. Jika muncul ketidak serasian atau ketidak sinkronan diantara keduanya, maka kita harus introspeksi diri, mungkin saja ilmu yang terakumulasi di kepala belum cukup atau perkembangan sain dan teknologi belum menjangkau atau pemahaman kita terhadap ayat-ayat Al Qur’an keliru.
Novel ini berkisah seputar masalah ini.
Karya: Dr Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UN Tourism
================================
SERI – 12 : ANTARA ATATURK DAN ERDOGAN
Hari berikutnya Kami meninggalkan Istanbul menuju Ankara yang menjadi ibukota negara Turki sejak diubah dari Kesultanan menjadi Republik dengan menggunakan mobil. Dari Istanbul menuju Ankara selain menggunakan mobil kita bisa menggunakan kereta cepat atau pesawat terbang. Pertimbanganku memilih menggunakan mobil karena ingin membuktikan informasi dari sejumlah teman yang bercerita tentang kemandirian Bangsa Turki dalam banyak hal termasuk kemampuannya membangun infrastruktur seperti bandara, pelabuhan, jembatan, dan jalan tol. Katanya perusahan-perusahan Turki mampu bersaing dengan perusahan lain di Eropa dalam hal kualitas maupun harga.
Saat keluar dari Kota Istanbul aku langsung menyimpulkan kualitas jalan tol di Indonesia kalah jauh dari Turki.
“Apakah semua kota besar di Turki sudah dihubungkan dengan jalan tol ?”, kataku ingin tahu.
“Kira-kira baru lima puluh persen”.
Saat melewati hamparan hijau aku bertanya:”Bagaimana dengan hasil pertanian di sini?”.
“Kami sudah swasembada pangan sejak sepuluh tahun lalu, bahkan berhasil mengekspor kelebihannya ke sejumlah negara Eropa beberapa tahun terakhir”, katanya dengan wajah bangga akan prestasi negerinya.
Aku terkejut mendengarnya mengingat negeriku yang jauh lebih subur masih terus mengandalkan negara lain untuk memenuhi berbagai bahan pokok termasuk buah-buahan.
“Apa saja yang kita akan kunjungi di Ankara ?”, kataku selanjutnya.
“Makam Bapak pendiri Republik Turki. Setelah itu kita sightseeing melihat Ibukota Turki”, katanya.
“Jika memungkinkan aku ingin melihat Istana Presiden”, kataku teringat dengan kontroversi yang mengiri pembangunannya.
“Kalau cuma lewat di depannya tidak ada masalah”, kata Arslan.
Mungkin karena lelah atau karena mulusnya jalan tol antara Istanbul-Ankara sehingga membuatku tertidur, aku dibangunkan Arslan saat mobil mulai memasuki kota Ankara.
“Ibukota Turki ini tidak seluas dan seramai Istanbul”, kata Arslan sembari memberikan kesempatan kepadaku untuk memulihkan kesadaran.
Aku kemudian menggerak-gerakkan tubuhku sembari mengangkat dua tanganku tinggi-tinggi untuk memulihkan otot-otot dan melancarkan peredaran darah di sekujur tubuhku.
“Sebentar lagi kita akan memasuki kompleks Mausoleum Ataturk”, kata Arslan.
Di sebuah perbukitan yang hijau dan teduh tampak sebuah bangunan yang kokoh dan anggun dengan arsitektur khas Turki. Mobil kemudian diparkir, aku bersama Arslan berjalan kaki menapaki sejumlah tangga naik menuju tempat yang lebih tinggi yang ditata sedemikian rupa kearah bangunan dimana jasad Bapak Bangsa Turki disemayamkan. Sejumlah anak sekolah dengan berbagai usia bergerombol di sekitarku yang menunggu aba-aba dari guru mereka untuk memasuki gedung yang sama. Tampaknya ada pengaturan agar para pengunjung tertib dan tidak berisik saat memasukinya. Pengumuman larangan mengambil foto dalam Bahas Inggris dan Turki di tempel pada sejumlah posisi yang mudah dibaca.
Saat berada di pusaranya aku memanjatkan doa serupa dengan doa yang aku bacakan terhadap para pemimpin Turki sebelumnya. Akan tetapi hati dan fikiranku terasa hambar, berbeda dengan saat aku melakukan hal yang serupa sebelumnya.
Saat meninggalkan gedung ini aku bertanya: “Apa jasa terbesar Mustafa Kemal yang kemudian diberi gelar Ataturk sehingga ia sangat dihormati ?”, kataku penasaran.
“Saat Turki Usmani kalah dalam perang Dunia Pertama, sekiranya tidak ada Ataturk dan kawan-kawannya, maka tidak akan ada negara Turki saat ini”, kata Arslan bersemangat.
“Bisa diceritakan ?”, kataku ingin mendengarnya.
“Mehmed VI Vahideddin yang menjadi Sultan saat itu sudah menyerahkan Istanbul kepada Inggris, sementara wilayah lainnya dibagi-bagi ke sejumlah negara, ada yang diserahkan ke Yunani, Armenia, dan sebagainya”.
“Lalu ?”.
“Mustafa Kemal dan kawan-kawannya menentang keputusan Sultan, kemudian melakukan perlawanan politik dari Ankara. Kepada Inggris dan sekutunya Ataturk mengangkat senjata sehingga berkobar perang besar yang sangat heroik di Gallipoli. Sampai akhirnya Inggris dan sekutunya angkat kaki”, pungkas Arslan.
Aku hanya diam sembari mengangguk-anggukan kepala.
Sambil memperhatikan gerak-gerikku lalu Arslan bertanya: “Apa yang terlintas di benakmu saat berada di dekat pusaranya.
“Jasanya yang besar sekaligus sukses menjauhkan negara dan rakyatnya dari Islam”, jawabku.
Arslan hanya tersenyum mendengarnya sambil terus menatap wajahku seakan mencoba membaca jalan fikiranku.
Mobil lalu bergerak menuju Istana dimana Presiden Erdogan berkantor. Berada di salah satu sisi kota Ankara yang bisa diakses melalui jalan tol, di kawasan yang cukup luas dan hijau, berdiri bangunan yang megah, indah, dan berwibawa.
“Ingin turun ?”, tanya Arslan ketika mobil melewatinya.
“Cukup melihat dari mobil saja”, kataku.
“Apa yang menarik dari bangunan yang mewah itu ?”, tanya Arslan.
“Aku melihat wajah Erdogan”.
“Maksudnya ?”, kata Arslan sembari mengangkat alis matanya tinggi-tinggi.
“Istana ini menampilkan obsesinya agar Bangsa Turki kembali dipandang sebagai bangsa besar dan diperhitungkan dalam percaturan global karena di tempat inilah Presiden Erdogan menerima para kepala negara dan pemimpin dunia”.
Mungkin saja Arslan melihat aku sangat mengagumi Presidennya lalu ia melontarkan pertanyaan menyelidik: “Menurut anda besar mana jasa Erdogan bila dibanding Ataturk?”.
“Sama besar”, jawabku lugas.
“Alasannya ?”.
“Jika Ataturk mengembalikan wilayah negara Turki maka Erdogan mengembalikan harga diri Bangsa Turki”.
“Menurut anda ?”, responku balik untuk mengetahui pandangannya.
“Tidak mudah membandingkannya”, jawabnya diplomatis.
“Tadi anda menyebut persamaan diantara keduanya, lalu apa perbedaannya ?”, kata Arslan kembali.
“Jika Ataturk berusaha menjauhkan masyarakat dan negaranya dari Islam, maka Erdogan berusaha mendekatkannya, sebagaimana di Era Turki Seljuk dan Turki Usmani”, kataku hati-hati.
Setelah mendengar kalimat ini Arslan diam saja, kemudian aku melanjutkan dengan maksud mengingatkan: “Aku melihat bangsa Turki kini terbelah antara pendukung Ataturk dan Erdogan, antara kelompok Sekuler dan Islam, jika tidak hati-hati maka ini bisa menjadi pintu masuk bagi negara lain yang tidak suka terhadap kemajuan yang diraih bangsa Turki saat ini”.
“Bagaimana dengan negara anda ?”, tanya Arslan balik.
“Di Indonesia masalah ideologi sudah selesai sejak Indonesia merdeka, para pemimpin waktu itu berkompromi dalam masalah ini yang kemudian menyepakati Pancasila sebagai ideologi bersama”.
“Persaingan politik tanpa ideologi hanya akan membuat partai politik permisif dan melahirkan para politisi yang pragmatis”, katanya bernada kritik walau sangat halus.
Kini aku yang merasa tersudut dengan komentarnya. Jangan-jangan ia banyak tahu tentang tingginya biaya politik atau besarnya peran uang dalam pemilu, mudahnya para politisi pindah-pindah partai, atau tingginya tingkat korupsi di negriku, fikiranku terus bergerak menduga-duga.
Suasana berubah menjadi beku dan kaku. Sebenarnya dikepalaku masih menyimpan pertanyaan terkait dengan foto Ataturk yang terpampang hampir di semua gedung pemerintah dan banyak fasilitas umum, sementara itu aku tidak melihat foto Presiden Erdogan. Rencana untuk menanyakan hal ini aku batalkan mengingat suasana tidak kondusif.
Tampaknya Arslan menyadari suasana batinku, mungkin untuk mencairkannya ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan dengan mengatakan: “Kita nanti makan siang di Rest Area agar sampai ke Konya sebelum matahari terbenam”.
“Aku ikut saja”, kataku.
“Tahukah Anda keistimewaan kota yang akan kita kunjungi ?”, tanya Arslan saat mobil mulai meninggalkan Ankara.
“Hanya sedikit”, jawabku dengan ekspresi ingin mendengar darinya.
“Konya penting baik secara historis maupun secara spiritual bagi Bangsa Turki. Ceritanya berawal dari keberhasilan Dinasti Turki Seljuk yang saat itu dipimpin oleh Alf Arslan yang mengalahkan Bizantium sehingga wilayah kekuasaannya meluas sampai wilayah Turki bagian Asia saat ini yang dikenal dengan nama Anatolia”.
Alf Arslan kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Konya. Sejak saat itu wilayah ini maju dan makmur sehingga menggoda seorang sufi besar bernama Jalaluddin yang berasal dari Balgh saat ini masuk wilayah Afghanistan untuk hijrah ke Konya karena wilayah asalnya tidak aman lagi akibat serbuan tentara Mongol dari Timur”.
“Nama Anda mirip dengan nama Sultan Turki Seljuk”, komentarku menggodanya.
“Namaku diberikan oleh Kakek dan jangan kaget banyak orang Turki bernama seperti namaku”, komentarnya sambil tertawa lepas.
“Apa yang menarik dari ajaran Jalaludin Rummi ?”, tanyaku berusaha menggalinya.
“Pentingnya olah rasa, hati, atau jiwa, disamping olah fisik, untuk meningkatkan spiritualitas dengan cinta dalam rangka mendekatkan jiwa kita kepada sang Khaliq”, katanya.
“Banyak pengikutnya ?”.
“Faham sufi sangat mempengaruhi Masyarakat Turki dalam beragama dan tariqat yang diajarkan Jalaluddin menjadi panutan tareqat yang berkembang di seluruh wilayah Turki”.
Aku teringat sebuah artikel yang pernah aku baca yang menceritakan tasawuf cinta yang dikembangkan Rumi tidak saja menarik dan diikuti oleh mereka yang menganut Islam tetapi juga non-Muslim.
Semakin mendekati pusara Rumi yang dikenal sebagai Sufi Cinta ini hatiku semakin berbunga, kemudian teringat akan pesan yang ditulis bagai puisi oleh seorang teman:
Sungguh Tuhan sangat dekat dan mencintaimu
Mungkin saja engkau tidak menyadarinya
Atau mungkin malah menjauh
Karena itu mendekatlah
Jika Engkau merasa bisa mendekatiNya dengan merangkak maka merangkaklah
Jika Engkau merasa bisa mendekatiNya dengan bernyanyi maka bernyanyilah
Jika Engkau merasa bisa mendekatiNya dengan menyepi maka menyepilah
Karena Ia suka jika engkau berusaha mendekatiNya
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca seri sebelumnya:
Ser-12: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-12): Antara Dua Masjid
Seri-11: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-11): Ziarah ke Makam Alfatih
Seri-10: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-10): Islam Agama Sejak Adam
Seri-9: Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Ser-9): Usaha dan Do’a
Seri-8 : Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Ser-8): Wisata Islami
Novel karya Dr Muhammad Najib yang lain dapat dibaca dibawah ini:
1) Di Beranda Istana Alhambra (1-Mendapat Beasiswa)
2)Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-1): Dunia Dalam Berita
3)Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-1): Meraih Mimpi
Related Posts
Cerpen: Piye kabare? Enak jamanku to?.. Nggih mbah
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-14): Kota Samarkand
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-12): Antara Dua Masjid
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-11): Ziarah ke Makam Alfatih
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur”(Seri-10): Islam Agama Sejak Adam
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Ser-9): Usaha dan Do’a
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Ser-8): Wisata Islami
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Seri-7): Kolaborasi Untuk Negeri
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Seri-6): Harta Karun Yang Belum Digali
Novel Terbaru Karya Dr Muhammad Najib “Mencari Nur” (Seri-5): Desa Penglipuran
No Responses
You must log in to post a comment.