Perang Pajang vs Jipang Dan Kemenangan Trio Selo Atas Wali

Perang Pajang vs Jipang Dan Kemenangan Trio Selo Atas Wali
Lukisan perang Adipati Jipang Arya Penangsang



Oleh : AZ (Jejaktapak)

Setelah Sultan Trenggono wafat pada tahun 1546 situasi Demak benar-benar diliputi konflik tajam. Pangeran Prawoto yang baru saja dilantik dibunuh oleh utusan Arya Penangsang. Adipadi Jipang Panolan ini punya dendam karena ayahnya Pangeran Seda Lepen dibunuh oleh Prawoto. Seda Lepen dan Prawoto sama-sama putra Trenggono.

Karena ayahnya lebih tua dibandingkan Prawoto,Arya Penangsang juga merasa lebih berhak untuk menggantikan Trenggono. Kematian Prawoto membuat Ratu Kalinyamat, putrid Trenggono yang berkuasa di Jepara merasa tidak terima. Tetapi yang terjadi suaminya Pangeran Hadliri juga dibunuh oleh utusan Penangsang.

Kemarahan membara di hati Kalinyamat membawanya menemui Hadiwijaya, Bupati Pajang yang juga menantu dari Trenggono. Dia meminta Hadiwijaya untuk membunuh Penangsang dengan janji akan diangkat sebagai sultan jika hal itu sudah dilakukan. Kalinyamat sendiri memilih untuk melakukan pertapaan yang legendaris. Yakni bertapa tanpa baju di sebuah gua dengan janji tidak akan berhenti melakukan itu sebelum menjadikan kepala Penangsang sebagai alas kaki.

Kelak sumpahnya itu menjadi kenyataan ketika Penangsang terbunuh. Dia kemudian kembali ke Jepara dan memimpin wilayah tersebut. Sejarah mencatat Kalinyamat menjadi tokoh yang gigih melawan kekuatan asing.

Kematian Penangsang menjadi salah satu bagian dari perang penting di Jawa pada saat itu. Akhir dari perang ini sebenarnya adalah kemenangan dari trah Majapahit atas Demak sekaligus akhir dari peran besar walisongo dalam perpolitikan jawa. Mengapa bisa demikian? Mari kita telusuri.

Hadiwijaya yang saat muda bernama Mas Karebet adalah Putra Ki Kebo Kenanga. Kebo Kenanga ini adalah anak Pangeran Handayaningrat, putra Brawijaya V yang menyingkir kemudian menetap di Pengging dan akhirnya dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.

Dia tidak mau mengakui Demak bahkan menantang perang hingga akhirnya dia meninggal dalam pertempuran melawan Demak. Sunan Kudus yang menjadi panglima perang Demak berhasil mengalahkan Ki Ageng Pengging.

Anaknya, Ki Ageng Kenanga naik menggantikan dan bersedia masuk Islam. Sementara adiknya Ki Kebo Kanigoro kemudian menghilang yang kabarnya menjadi pertapa di sekitar Merapi.

Sempat menjadi murid Sunan Bonang, Kebo Kenanga yang kemudian juga dikenal sebagai Ki Ageng Pengging (II) akhirnya berguru pada Syekh Siti Jenar yang dinilai oleh Dewan Wali ajarannya melenceng.

Harus diingat perkembangan awal Islam di Jawa pertama dilakukan oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dengan delapan utusan Sultan Muhammad I dari Kasultanan Turki. Mereka mengusung ajaran murni Islam yang menentang hal-hal yang berbau mistis. Sementara ajaran Syeh Siti jenar yang dikenal sebagai manunggaling kawula gusti dinilai mengandung hal itu. Sunan Kudus, lagi-lagi menjadi duta yang menghukum Siti Jenar.

Kebo Kenanga tidak mau menyerah. Dia terus menyebarkan ajaran Syeh Siti Jenar dan akhirnya juga dihukum mati oleh Sunan Kudus. Dia meninggalkan seorang anak bernama Karebet yang kemudian dirawat oleh Nyai Tingkir istri Ki Ageng Tingkir yang merupakan saudara seperguruan dari Kebo Kenanga. Dia juga dibimbing oleh banyak tokoh yang sama-sama murid Syeh Siti Jenar seperti Ki Ageng Banyubiru dan Ki Ageng Butuh.

Dari sini jelas ada bibit konflik antara Pengging dan Wali . Gen yang dibawa Karebet yang nantinya jadi Hadiwijaya adalah Ki Ageng Pengging yang tidak mengakui Demak ditambah Syekh Siti Jenar yang dihukum Dewan Wali.

Sekarang mari ke wilayah yang lebih utara, ada Ki Ageng Selo. Dia cucu Brawijaya V dari putra Bondan Kejawan. Sosok ini juga tidak cocok dengan Demak karena sakit hati ditolak menjadi prajurit pengawal sultan.

Ki Ageng Selo memiliki anak Ki Ageng Ngenis yang kemudian menurunkan Ki Ageng Pemanahan. Selain itu ada Ki Ageng Penjawi yang sepupu Pemanahan dan Juru Martani, ipar dan sepupu Pemahanan. Ketiganya menjadi murid dari Ki Ageng Selo.

Trio Selo inilah yang kemudian menjadi tokoh politik penting yang mengubah peta permainan Jawa. Takdir kemudian membawa Jaka Tingkir berguru pada Ki Ageng Selo. Di sini dua titik yang berhadapan dengan Demak bertemu.

Hubungan Jaka Tingkir dan Trio Selo sangat dekat. Bahkan kelak Sutawijaya, putra Pemanahan diangkat anak oleh Jaka Tingkir ketika menjadi Adipati Pajang. Pemahanan, Penjawi dan Karebet memang juga menjadi murid Sunan Kalijaga, tetapi tetap saja mereka membawa benih konflik masing-masing dengan Demak dan Wali.

Ketika Sunan Prawoto meninggal maka permainan politik tingkat tinggi terjadi. Hadiwijaya dan Trio Selo dengan diperkuat dukungan Kalinyamat berusaha mengambil alih kekuasaan dan berhasil. Sebenarnya, jika dilihat dari garis darah, Arya Penangsang lebih berhak untuk menggantikan Sultan Trenggono karena dia adalah cucu Sultan. Sedangkan Hadiwijaya atau Karebet adalah menantu. Hal ini memunculkan perdebatan hingga sekarang. Banyak pihak yang tidak setuju bahwa Penangsang memberontak. Dia sedang menuntut haknya.

Sunan Kudus mencium misi politik Trio Selo dan Hadiwijaya yang merupakan musuh lama Demak itu. Maka dia mendukung Arya Penangsang yang juga muridnya. Hal ini menjadikan Hadiwijaya sungkan untuk berhadap-hadapan langsung dengan Penangsang karena dia juga merupakan murid dari Sunan Kudus.

Maka dibukalah sayembara bagi siapa yang bisa membunuh Arya Penangsang, akan mendapat hadiah tanah perdikan. Sayembara ini betul-betul dimanfaatkan oleh Juru Martani yang dikenal sebagai seorang pengatur strategi ulung.

Dengan berbagai cara akhirnya Sutawijaya berhasil mengalahkan Penangsang dengan Tombak Kyai Pleret. Meski catatan lain juga menyebut Penangsang meninggal karena kerisnya sendiri Kangjeng Brongot Setan Kober yang memutus ususnya sendiri.

Permainan Juru Martani belum selesai. Dibuatlah cerita bohong bahwa yang membunuh Penangsang bukan Sutawijaya, tetapi Pemanahan dan Penjawi. Kenapa harus bohong, karena Sutawijaya adalah putra angkat Hadiwijaya, hingga bisa jadi alasan hadiah tidak diberikan karena dilakukan anak sendiri. Sejarah kemudian mencatat Penjawi mendapat Pati dan Pemanahan mendapat Mentaok yang jadi cikal bakal Mataram Islam.

Setelah diangkat menjadi Sultan, Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang. Sebuah langkah yang sebenarnya secara ekonomis sangat merugikan. Demak merupakan pesisir dengan pelabuhan besar. Sementara Pajang justru daerah agraris yang relatif lambat untuk berkembang. Hadiwijaya seperti ingin mengembalikan pusat kekuasaan ke dekat asal usulnya sendiri.

Perang Pajang-Jipang juga menjadi gambaran akhir dari dominasi para wali dalam politik kerajaan sekaligus kemenangan Trio Selo yang bergabung dengan Trah Pengging.

Pada masa Demak, Wali memegang peran besar karena setiap keputusan raja harus mendapat persetujuan wali. Sementara pada era Pajang penasihat raja dipegang oleh Pemanahan, Penjawi dan Juru Martani.

Tetapi pada akhirnya nanti Hadiwijaya pecah kongsi dengan Trah Selo ketika akhirnya menyerbu Mataram pada masa pemerintahan Sutawijaya yang telah berganti menjadi Panembahan Senopati. Keturunan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Penjawi yang sama-sama garis Selo juga pecah ketika terjadi perang antara Mataram dan Pati. Hanya Pemanahan dan Juru Martani yang tetap bersatu melahirkan Mataram.

Ada sebuah kejadian menarik ketika Hadiwijaya pulang setelah perang dalam kondisi terluka, dikisahkan dia ingin berziarah ke makam Sunan Tembayat (Pandanaran II). Tetapi dia tidak bisa membuka pintu makam. Ada pendapat bahwa Hadiwijaya memang ditolak masuk makam karena dianggap tidak lagi sejalan dengan para Wali. Sementara Sunan Tembayat meski tidak masuk dalam kelompok wali, tetapi ulama yang berasal dari garis wali era Demak.

Ketika berkuasa Hadiwijaya kemudian meminta Pangeran Karanggayam untuk menulis kisahnya yang kemudian menjadi cikal bakal dari Babad Tanah Jawi, buku yang menjadi acuan sejarah sampai sekarang. Inilah yang kemudian menjadi satu penyebab, kenapa Arya Penangsang lebih terkenal sebagai pemberontak dibandingkan penuntut hak. Tidak bisa dipungkiri siapa yang menang dia yang menulis sejarah.

Ini juga yang menjadikan kenapa kisah para wali lebih menonjol pada hal-hal yang berbau mistis bukan perjalanan dakwahnya. Sunan Kalijaga lebih terkenal kisahnya ketika menunggu tongkat gurunya di pinggir kali. Sunan Giri lebih terkenal dengan kisahnya menghancurkan prajurit majapahit dengan Keris Kyai kala Munyeng-nya. Juga lebih terkenal petilasan-petilasan para Sunan.

Padahal kembali ke sejarah awal Wali Sanga justru sangat keras melarang hal-hal semacam itu, hingga akhirnya Syeh Siti Jenar dihukum tadi.

Mungkin akan beda jika Arya Penangsang yang menang dan menulis sejarah. Kesan mistis wali kemungkinan akan tidak ada karena akan dilarang Sunan Kudus. Tetapi karena Babad Tanah Jawi ditulis oleh Hadiwijaya dan Trio Selo yang menjadi pemenang pertempuran politik maka konstelasi yang dikenal sekarang inilah yang mendominasi.

Diambil dari berbagai sumber dengan lebih banyak sudut pandang dan pendapat penulis sendiri.

EDITOR : SETYANEGARA

 

 




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=