Oleh: Budi Puryanto
Seri sebelumnya (Seri-30):
Kedua anak muda itu berjalan keluar desa, terus berjalan menjauhi tempat pertarungan tadi. Respati menahan tangisnya. Dan tangis itu akhirya pecah, saat mereka berjalan ditempat sepi. Ditepi hutan.
“Aku tidak tega, Arya. Cara prajurit itu menangkap Cindelaras sungguh menyakitkan hati. Seperti menangkap seorang penjahat saja. Apa salahnya? Kenapa hanya Cindelaras yang ditangkap? Kenapa yang lainnya dibiarkan lari menyelamatkan diri,” kata Respati.
“Ini pasti ada kaitannya dengan kekalahan Pangeran Anom,” jawab Aryadipa singkat.
“Ya, dia kecewa, marah, lalu minta Raja melarang adu jago. Lalu, karena larangan tidak digubris mereka memutuskan untuk menangkap Cindelaras. Begitu ya,” kata Respati.
“Ya, kira-kira begitu,” jawab Aryadipa dengan wajah kecewa.
“Kemana kita setelah ini, Arya,” tanya Respati.
“Aku belum tahu,” jawab Aryadipa.
“Kita Cari Ki Joyo saja, bagaimana Arya,” tanya Respati.
Arya mengiyakan saja. Pikirannya sedang buntu. Tidak tahu apa yang harus dikerjakan saat itu.
******************************
SERI-31
Setelah beberapa hari didalam penjara, Cindelaras mulai bisa menyesuaikan diri. Tidur diatas tikar seadanya. Makan dari jatah yang diberikan. Dia ditempatkan dalam kamar sendirian. Kamar yang kecil. Tidak diketahui secara pasti apa pertimbangannya. Padahal biasanya para tahanan yang dianggap penjahat itu ditempatkan dalam satu ruangan besar, bercampur dengan para penjahat lainnya.
Saat melihat Cindelaras meringkuk di ruang penjara, Permaisuri tampak sangat puas.
“Biarkan anak keparat itu membusuk didalam penjara selamanya. Awasi jangan sampai dia bisa keluar. Dia harus merasakan sakit dan menderita seperti yang dirasakan anakku, ” perintah Permaisuri kepada pengawal.
Diluar sepengetahuan Permaisuri, sebenarnya banyak orang-orang di istana itu yang menaruh simpati kepada Cindelaras. Mereka mencuri-curi kesempatan untuk bisa melihat Cindelaras didalam ruang penjara.
“Wah tampan sekali ya Cindelaras itu. Apa sih salahnya dia, kenapa dipenjara,” kata seorang dayang perempuan.
“Ssst jangan keras-keras, nanti ketahuan pengawal Permasisuri, bisa celaka kita,” jawab temannya.
“Dia pantasnya menjadi anak raja. Tidak tampak seperi anak muda biasa, ya.”
“Kalau anak raja kenapa, memangnya mau sama kamu.”
“Bukan, aku kasihan saja. Kenapa anak muda sebaik itu berada disini. Ini bukan tempatnya.”
“Ah, tahu apa kamu, sudah ayo kita segera bekerja.”
Di Puri Kerajaan, tempat kediaman Raja Jenggala, sang Raja Jenggala itu nampak galau. Banyak persoalan yang dipikirkannya. Gejolak para dipati diwilayah timur. Tumenggung yang sedang meredakan gejolak itu. Senopati yangs sedang menggelar gladi besar-besaran, siap untuk perang. Hingga pada masalah anaknya, Pangeran Anom yang belum juga mau keluar istana.
Tapi ada satu hal yang benar-benar membuat Raja sangat gelisah. Dia mimpi didatangi oleh Permaisuri lama. Dengan pakaian putih, rambut teruarai. Dia mendekati Raja.
“Anakmu sudah berada di istana. Dia anak muda yang tampan dan baik budi pekerinya. Perlakukan dia dengan baik,” kata Permaisuri lama.
Apa maksud mimpi ini. Bukankah dia sudah meninggal. Saya sudah perintahkan Ki Patih untuk membunuhnya.
“Anakmu sudah berada di istana? Siapa yang dimaksud Permaisuri itu. Jangan-jangan Ki Patih tidak menjalankan perintahku. Ah, ruwet…ruwet..,” pikir raja.
“Dimana Ki Patih saat ini. Dia sudah tersingkir, meskipun belum aku pecat. Aku benar-benar membutuhkan dia. Kuncinya ada pada Ki Patih,” kata Raja dalam hatinya.
Sesaat kemudian Raja memanggil seorang pengawal.
“Panggilkan Ki Patih sekarang juga,” perintah raja.
Pengawal dengan cepat menuju rumah Ki Patih yang tidak jauh dari istana.
Sambil menunggu kedatangan Ki Patih, sang Raja berjalan menuju Puri Kaputren, tempat kediaman Permaisuri. Namun raja tidak menemukan permaisuri disana.
“Kemana malam-malam begini perginya Permaisuri. Mengapa tidak memberitahu. Apa yang dikerjakan malam-malam begini,” bisik hati sang Raja.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 29)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 30)
Seorang emban tiba-tiba mendekati sang Raja, dan mengatakan Permaisuri sudah dua malam ini tidak ada di Kaputren.
Dalam keadaan pikiran yang semakin kalut, sang Raja kembali ke Puri. Semoga Ki Patih bisa datang, meskipun dipanggil mendadak.
Di Puri sudah ada pangawal yang menunggu, tetapi Ki Patih tidak ada.
“Mohon ampun, Kanjeng Prabu. Ki Patih sedang sakit, tetapi menitipkan surat kepada Kanjeng Prabu,” kata pengawal sambil memberikan suat yang tertutup rapi.
“Ya sudah kembalilah,” jawab Raja.
Raja langsung membuka surat dari Ki Patih.
“Mohon ampun, hamba akan menghadap Kanjeng Prabu, besok malam di Patirtan Balekambang,” demikian isi surat Ki Patih.
Raja sudah paham maksud surat Ki Patih. Dia tidak mau menghadap di Puri Raja, karena merasa tidak aman.
“Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Ah, ini menambah ruwet pikiranku,” bisiknya dalam hati.
Malam itu raja tidur di Puri Raja, ditemani Sawitri, isteri selirnya yang paling tua. Mesi tidak secantik permaisuri yang sekarang, Sawitri masih manunjukkan garis-garis kecantikannya. Yang terpenting, Sawitri ini dikenal sabar, dan menurut apapun yang diminta raja. Dia paling bisa memahami perasaan dan keadaan raja.
“Sawitri, aku minta kamu menemaniku malam ini dan juga besok kamu aku ajak ke Patirtan Balekambang. Kita menginap disana. Suasananya disana tenang dan menenteramkan,” kata raja kepada Sawitri.
“Sendiko, Kanjeng Prabu. Saya mengikuti apa yang Kanjeng Prabu kehendaki,” kata Sawitri.
Sawitri memijit-mijit badan sang Raja sambil nembang “rengeng-rengeng”. Tidak lama kemudian raja tertidur. Sawitri pun menyusul disebelahnya.
************
Besoknya, raja didampingi Sawitri menuju ke Patirtan Balekambang. Pagi hai rombongan raja berangkat, menjelang sore mereka sudah sampai ditempat Patirtan Balekambang.
Disamping ada tempat untuk mandi yang airnya hangat, tempat itu dikelilingi bukit-bukit hijau yang indah. Bila malam tiba, kabut berhembus menyelimuti tempat itu. Dari jauh, tempat itu tampak seperti awan.
Malam itu raja menunggu Ki Patih diruang tersendiri. Isteri selirnya, Sawitri menunggu diruang yang lain. Raja meyakini Ki Patih ornag yang meneapi janji dan selalu menjalankan perintah. Karena itu dia tidak mau memecat Ki Patih, meskipun didesak oleh Permaisuri.
Tiba-tiba, ada suara lirih. Pintu diketuk dua kali. Pertanda Ki Patih telah datang.
“Masuklah Ki Patih. Sudah lama aku tidak bertemu denganmu,” sambut sang raja.
“Sendiko, Kanjeng Prabu. Mohon ampun, hamba telah membuat Kanjeng Prabu kecewa, karena tadi tidak bisa memenuhi panggilan. Hamba sedang sakit. Tapi sekarang sudah segar,” kata Ki Patih sambil tersenyum.
Raja melihat senyum Ki Patih jadi ikut tersenyum juga, meskipun hatinya sedang dilanda gundah gulana.
“Mohon ampun Kanjeng Prabu. Apakah ada perintah untuk hamba. Sudah lama hamba tidak menerima perintah dari Paduka,” kata Ki Patih.
“Ki Patih. Saya berharap Ki Patih bisa memahami keadaanku. Aku minta Ki Patih bisa memaafkan kesalahanku. Karena secara tidak langsung aku telah membuat Ki Patih kehilangan kekausaan, meskipun masih menjabat Patih,” kata Raja memulai pembicaraan.
“Paduka Kanjeng Prabu tidak salah sama sekali. Tidak perlu meminta maaf kepada hamba. Justru hamba yang harus meminta maaf, karena hamba tidak becus bekerja,” sahut Ki Patih.
Raja tertawa kecil, yang diikuti tertawa pula oleh Ki Patih. Kedua orang ini sangat dekat, karena sebenarnya masih ada hubungan saudara. Lagipula, Ki Patih telah berjasa besar pada Jenggala.
“Ki Patih, keadaan negeri Jenggala sedang ruwet. Ada gejolak diwilayah timur. Ada gerakan pasukan yang disiapkan oleh Senopati untuk perang. Tergantung kepada Ki Tumenggung dan Senopati, apakah akan terjadi perang atau tidak. Tetapi aku tidak ingin perang terjadi,” ucap sang Raja.
“Didalam istana sendiri, anakku Pangeran Anom sedang mengalami pukulan jiwanya tergoncang akibat kalah bertarung dengan Cindelaras. Permasuri sendiri dalam beberapa hari tidak ada di istana tanpa ijinku.”
“Tapi yang paling memukul jiwaku, Ki Patih, tiga hari atau empat hari yang lalu, saya bermimpi didatangi Permaisuri lama,” kata sang Raja.
Mendengar ucapan terakhir sang Raja, jantung Ki Patih berdegub kencang. Pikirannya tidak lagi tenang seperti sebelumnya. Apa yang dikatakan sang Permaisuri lama?
“Permaisuri mendatangi Kanjeng Prabu? Apa yang beliau katakan?” tanya Ki Patih.
“Anakmu sudah berada di istana. Dia anak muda yang tampan dan baik budi pekerinya. Perlakukan dia dengan baik,” kata sang Raja menirukan Permaisuri yang lama.
Mendengar ucapan sang raja, wajah Ki Patih menjadi pucat. Udara dingin Balekambang terasa lebih dingin dan membuatnya beku.
“Ki Patih, aku akan menanyakan kepadamu. Jawablah dengan jujur. Aku sudah tua, Ki Patih. Sudah saatnya aku mundur dari kedaton. Anakku Pangeran Anom, yang harus menggantikan kedudukanku. Tetapi saya melihat pribadinya tidak kuat. Mudah menyerah oleh keadaan. Dan tidak sungguh-sungguh belajar pemerintahan. Ditangan Pangeran Anom, negeri Jenggala akan seperti apa?” kata Raja.
“Ki Patih aku sudah siap dengan apapun yang akan terjadi. Tetapi aku tidak rela Jenggala hancur. Aku akui, Ki Patih selama ini banyak kesalahan aku perbuat sebagai Raja. Aku telah membuat banyak rakyat menderita. Karena itu Ki Patih, di akhir hidupku ini, dengan kekuatan yang tersisa padaku, aku ingin menyelamatkan Jenggala,” ucap Raja.
Ki Patih mulai tenang tenang mendengar pengakuan raja itu. Dia tetap meunggu saatnya berbicara. Sejauh itu dia tetap mendengarkan dengan seksama.
“Ki Patih, mimpiku itu menjadi titik balik kesadaranku. Permaisuri yang selama ini telah aku lupakan. Mendadak wajahnya muncul lagi. Pesannya itu seperti nyata. Seperti bukan dalam mimpi,” ucap raja seperti tak bisa berhenti.
“Ki Patih, bantulah aku untuk memecahkan masalah-masalah ini. Kamu boleh tidak suka kepadaku, tetapi kamu adalah ksatria Jenggala. Kamu tidak boleh lari dari tanggung-jawabmu sebagai seorang ksatria,” ujar Raja.
“Ki Patih, aku minta sekali lagi, katakan kepadaku dengan jujur. Apakah permaisuri lama benar-benar sudah meninggal ditanganmu,” tanya Raja.
Kali ini Ki Patih sudah lebih siap mendengar pertanyaan Raja. Karena sejak awal tadi dia sudah memperkirakan Raja akan bertanya soal itu.
“Mohon ampun Kanjeng Prabu. Sekali lagi hamba mohon ampun. Berat rasanya hamba untuk menjawab pertanyaan Kanjeng Prabu. Tetapi ijinkan saya bertanya kepada Kanjeng Prabu. Apakah Kanjeng Prabu percaya yang dikatakan Permaisuri dalam mimipi itu,” tanya Ki Patih.
“Ki Patih, meskipun itu hanya dalam mimpi, tapi seperti nyata. Benar-benar membekas dihatiku. Sejak itu jiwaku tergoncang. Aku telah berbuat kesalahan terbesar dalam hidupku. Karena telah memerintahkan membunuh permaisuri. Apalagi dalam keadaan mengandung anakku. Orantua macam apa aku ini Ki Patih, yang tega berbuat kejam kepada isteri dan anaknya sendiri. Hatiku benar-benar telah dibutakan oleh katresnan. Bantulah aku Ki Patih. Aku bersedia menebus kesalahan besar itu, apapun caranya,” kata Raja.
Hati Ki Patih mendadak dingin seperti tersiram salju. Lebih dingin dari udara malam di Balekambang.
“Kanjeng Prabu. Hamba mohon Kanjeng Prabu mendengarkan penjelasan hamba dengan hati yang tenang. Apapun yang akan hamba sampaikan, Kanjeng Prabu harus tenang dan bisa menerima kabar ini dengan lapang dada. Jangan terbawa amarah. Kanjeng Prabu harus bisa mengendalikan diri. Itu syaratnya,” kata Ki Patih dengan sungguh-sungguh.
“Baiklah Ki Patih. Katakan kepadaku apa adanya. Aku siap mendengarkan apapun yang aan kamu katakan. Ki Patih tidak usah ragu-ragu,” ucap Raja.
Ki Patih memperbaiki duduknya. Setelah tenang dia berkata kepada Raja.
“Yang dikatakan Permaisuri dalam mimpi itu benar, Kanjeng Prabu,” kata Ki Patih memulai.
“Maksudmu, Permaisuri masih hidup. Ki Patih tidak jadi membunuhnya, begitu?” sergap sang Raja.
“Tenang Kanjeng Prabu. Jangan terbawa oleh perasaan,” kata Ki Patih menenangkan.
“Memang Kanjeng Prabu dahulu memberi perintah kepada hamba untuk membunuh Permaisuri. Hamba harus membawanya keluar jauh dari istana. Mohon ampun Kanjeng Prabu, hamba tidak bisa menjalankan perintah itu. Hati hamba tidak tega membunuh Permaisuri, seorang putri yang baik budi pekertinya. Apalagi dalam keadaan mengandung putra mahkota,” kata Ki Patih.
“Ahh, perkataanmu seperti air dingin menyejukkan jiwaku. Aku bahagia sekali mendengarnya, Ki Patih. Lalu dimana mereka berdua sekarang?” tanya Raja.
“Permaisuri masih di kediamannya di hutan. Untuk keamanan beliau saya masih merahasiakan tempatnya. Sedangkan putranya, juga putra Paduka Kanjeng Prabu, seperti yang dikatakan Permaisuri dalam mimpi itu. Dia sekarang ada di istana,” kata Ki Patih dengan tenang.
“Di istana katamu. Siapa namanya?” tanya raja.
“Dia bernama Cindelaras. Sekarang berada di istana. Tepatnya di ruang penjara,” kata Ki Patih.
Baca juga seri berikutnya:
Mendengar penjelasan Ki Patih, sang Raja terdiam dalam duduknya. Wajahnya beku, hatinya pedih perih. Dia menunduk lama. Lama sekali membayangkan keadaan waktu lampau, saat bersama Permaisuri lama. Hidup senang dan bahagia. Hingga prahara besar itu melanda hidupnya. Memisahkan keduanya.
“Cindelaras. Ternyata dia anakku. Nama yang telah meggoncang Jenggala. Anak muda yang hebat. Dia adalah anakku. Benar Ki Patih,” tanya Raja.
“Benar Kanjeng Prabu, saya adalah saksinya. Cindelaras itulah nama yang diberikan oleh Permaisuri. Kanjeng Prabu bisa memberinya nama lain, nanti bila keadaan sudah membaik,” kata Ki Patih.
“Ki Patih, aku senang sekali kamu telah mengatakan dengan jujur kepadaku. Seperti janjiku, Ki Patih. Dalam sisa hidupku ini aku harus menebus semua kesalahanku kepada rakyatku. Selama ini aku telah membuat mereka menderita,” kata Raja.
“Ki Patih, aku akan mengangkat Cindelaras sebagai putra mahkota yang menggantikan aku. Aku rela dia yang duduk di singgasana Jenggala. Ki Patih saya beri tugas untuk itu. Mengatur agar semuanya bisa berjalan dengan baik,” kata sang Raja.
“Tapi sebelum itu, apa buktinya kalau Cindelaras adalah anakku” tanya sang Raja.
“Kanjeng Prabu harus bertemu sendiri dengan Cindelaras di ruang Penjara. Bertanyalah kepadanya secara langsung. Saya yakin Permaisuri orang pinter. Dia pasti menitipkan sesuatu sebagai tanda bukti,” jawab Ki Patih.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Related Posts
Jejak Intervensi Pemberantasan Korupsi oleh Jokowi (Bagian 1): Niat dan Aksi Melumpuhkan KPK
Isa Ansori : Bahayanya Memilih Presiden Nir Gagasan
Ahmad Cholis Hamzah: Ternyata Betul, Kita Kembali Ke Jaman Orba
Menanti Regulasi Pasti dan Tegas Tentang Subsidi BBM dan LPG Tepat Sasaran
Yudhie Haryono: Akar-Akar Psikologi Indonesia
Arab Saudi Jangan Panik Dengan Penghentian Energi Minyak
Sutoyo Abadi: Gravitasi Jantung Jokowi Jebol
Jangan-Jangan KPU Bakal Bernasib Sama Dengan MK
Kecurangan Pilpres 2024 Yang Dipoles Oleh Para Politisi Penjilat
Faizal Assegaf: Dari MK Hingga KPK, Aktor Utamanya Jokowi…”
No Responses
You must log in to post a comment.