Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 36)

Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 36)
Ilustrasi: Cindelaras dan ayam jagonya



Oleh: Budi Puryanto

Culikan seri sebelumnya (Ser-35):

“Ingat Niken, Permaisuri ingin anaknya Pangeran Anom jadi raja Jenggala. Dia rupanya tidak sabar, atau dia membaca gelagat raja tidak mau memberikan kekuasaan kepada Pangeran Anom. Buktinya sampai sekarang raja belum mau turun,” sambung Kamandaka.

“Dengan munculnya Cindelaras, raja tidak mungkin memberikan kekuasaan kepada orang lain. Ini bisa terjadi benturan keras, Kamandaka,” kata Niken.

“Ya, benturan antara raja dengan permaisuri,” jelas Kamandaka singkat.

“Dan itu berarti perang bisa pecah sewaktu-waktu,” kata Niken.

“Ya, Niken. Tetapi bisa saja keadaan berubah sewaktu-waktu, apalagi kalau kedudukan Kanjeng Patih dipulihkan dalam waktu singkat ini,” kata Kamandaka.

“Ya, benar. Kekuatan Raja akan ditopang oleh kecerdasan dan kebijaksanaan Kanjeng Patih,” kata Niken menimpali.

“Kanjeng Patih itu terkenal ahli dalam menyusun strategi dan taktik. Aku yakin keadaan Jenggala bisa terkendali bila kedudukannya segera dipulihkan,” terang Kamandaka.

**************************************

SERI-36

Pisowanan Agung

Di Bangsal kerajaaan hari itu diadakan Pisowanan Agung yang dihadiri seluruh nayaka praja. Ada yang aneh pagi itu. Ki Patih hadir juga, setelah lama tidak pernah diundang dalam acara-acara resmi kenegaraan seperti ini.

Tentu saja kehadiran Ki Patih menimbulkan tanda tanya besar, tidak terkecuali Permaisuri. Maka yang terjadi, mereka saling berpandang-pandangan, seolah bertanya apa yang terjadi? Ada apa Ki Patih diundang dalam acara resmi kenegaraan? Para nayaka itu mengarahkan pandangannya kepada Permaisuri. Seakan tahu maksud pandangan mereka, permaisuri dengan sengaja mengalihkan pandangannya. Dia seperti tertuduh untuk memberikan jawaban. Sejatinya, permaisuri pun juga tidak mengetahui, mengapa musuhnya nomor satu ada di bangsal saat ini.

Suasana benar-benar hening. Seluruh perhatian tertuju kepada Raja. Apa yang akan dititahkan raja? Raja meminta laporan umum keadaan negeri. Kemudian meminta laporan perkembangan misi Ki Tumenggug ke wilayah timur. Termasuk gladi pasukan dibawah kendali Senopati.

Yang tidak biasanya adalah meminta laporan keadaan kehidupan ekonomi rakyatnya. Tentang hasil panen, kesejahteraan rakyat, ketertiban dan keamanan, serta masalah-masalah yang dihadapi rakyat saat ini.

Pertanyaan raja yang tidak biasa ini semakin menimbulkan teka-teki segenap yang hadir di Bangsal Agung. Akhirnya raja mengeluarkan titahnya, yang membuat seisi ruang bergetar.

“Hari ini, aku mengembalikan kedudukan Ki Patih sebagai Patih Amangkubumi berkuasa penuh dibawah raja. Seluruh hak-haknya akan dipulihkan. Seluruh tata pemerintahan akan berada dibawah kendali Ki Patih. Selanjutnya Ki Patih memberikan laporan pertanggung-jawaban langsung kepada raja,”

“Sejak hari ini, siapapun tidak boleh melakukan campur tangan urusan pemerintahan, tanpa seijin dan sepengetahuan Ki Patih. Siapapun yang menentang keputusan ini, dia menentang keputusanku.”

“Apakah kalian mendengar keputusanku dan siap mematuhi,” tanya raja meminta penegasan.

“Ya, Baginda raja, kami mendengar dan siap mematuhi,” jawab yang hadir serentak.

Mendengar keputusan raja, permaisuri merasa kepalanya mau pecah, seluruh isinya ingin rasanya dimuntahkan saat itu juga. Kepalanya berdenyut-denyut keras. Matanya berkunang-kunang. Tatapannya kosong. Mukanya tiba-tiba menjadi merah menyala. Sorot matanya sangat tajam menusuk. Dadanya bergetar keras tak berirama.

Dipandangnya Ki Patih dengan luapan kemarahan yang sangat besar. Orang tua ini ternyata masih mampu bikin ulah, pikir Permaisuri. Mengapa raja masih percaya kepadanya? Apa maunya raja ini?

“Oh, buntu otakku. Apa yang terjadi selama ini. Mengapa raja tidak bicara dulu kepadaku. Tidak biasanya hal ini terjadi. Edan, kekuasaan Ki Patih dipulihkan lagi. Ini berarti aku tidak kuasa “cawe-cawe” lagi untuk urusan pemerintahan. Haaaaaahhh………,” tiba-tiba permasiuri berteriak keras memecah keheningan didalam ruang Bangsal itu. Seluruh nayaka kaget dibuatnya.

“Tenangkan dirimu permaisuri, apa yang terjadi. Mengapa kamu seperti orang kesurupan begitu,” kata Raja kepada permaisuri.

Merasa malu, permaisuri langsung pergi dari ruang Bangsal. Raja tersenyum melihat kelakuan permaisuri yang diluar kewajaran itu. Perilakunya melanggar sopan santun persidangan. Juga, melanggar tata krama, karena meninggalkan sidang sementara raja masih ada di sana. Permaisuri dibakar oleh api amarah sehingga sikapnya menjadi tak terkendali. Dia tidak sadar perilakunya akan menjatuhkan martabatnya didepan seluruh nayaka praja.

Senopati juga terpukul dengan keputusan raja mengembalikan keududukan Ki Patih secara penuh. Tetapi diamemilih diam, karena itu diluar kekuasaannya. Bayangannya rencananya buyar seketika. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia memilih diam.

“Ki Patih. Aku serahkan kembali kendali pemerintahan Jenggala kepadamu. Lakukan yang terbaik untuk negeri ini. Tidak usah ragu dalam melangkah dan mengambil keputusan. Aku tahu siapa Ki Patih, dan aku tahu besarnya kecintaanmu pada Jenggala. Perbaiki kesalahan-kesalahan yang telah terjadi. Kembalikan roda pemerintahan pada jalur yang benar,” titah Baginda Raja.

“Mohon ampun Kanjeng Prabu. Hamba siap menerima tugas ini dan titah Kanjeng Prabu akan menjadi pedoman kami dalam menjalankan roda pemerintahan. Dalam keadaan apapun, kami akan setia kepada Kanjeng Prabu, demi kejayaan negeri Jenggala,” jawab Ki Patih.

Tidak lama kemudian Pisowanan Agung bubar. Raja kembali ke Puri untuk beristirahat. Sementara itu Ki Patih bertindak cepat. Dia tahu, apa yang harus dikerjakan segera.

“Senopati, aku minta kau tidak langsung pulang. Aku menunggumu di Kepatihan,” kata Ki Patih, lalu berjalan pulang menuju Kepatihan.

“Hamba Kanjeng Patih. Hamba akan sowan Ki Patih saat ini juga,” jawab Senopati.

Jarak Kepatihan tidak jauh dari Bangsal kerajaan. Selain tempat kediaman, Kepatihan juga berfungsi sebagai tempat Ki Patih bekerja, menerima tamu, dan melakukan pertemuan-pertemuan membahas perkembangan keadaan pemerintahan.

“Senopati. Apu perhatikan kamu kelihatan gelisah dengan keuputusan Raja. Apa yang kau pikirkan?” tanya Ki Patih seampainya Senopati tiba di Kepatihan.

“Mohon ampun Kanjeng Patih, saya kaget sekali dengan keputusan raja yang tiba-tiba ini,” jawab Senopati menutupi kerisauan hatinya.

Sebenarnya Senopati itu menjadi bingung, apa yang akan dikatakannya dihadapan permaisuri. Selama ini dia menerima perintah dari Permasiuri. Dengan keputusan raja yang baru saja diumumkan itu, saat ini dia harus tunduk kepada perintah Ki Patih.

“Kamu tidak usah risau Senopati. Buang jauh rasa bingungmu itu. Kita bekerja sesuai dengan aturan kerajaan. Kalau aturan berubah, kita juga harus ikut berubah. Saat ini, tidak ada pilan lain bagimu, sesuai dengan perintah raja, saya yang akan menenalikan seluruh urusn tata pemerintahan ini,” kata Ki Patih.

“Benar, Kanjeng Patih. Hamba akan tunduk patuh perintah Kanjeng Patih,” jawab Senopati.

Baca Juga:

“Soal pembicaraanmu dan kesepakatanmu dengan Permaisuri, mulai sekarang tinggalkan. Semua tidak berlaku lagi. Tetapi kau tetaplah Senopati, tidak kurang. Aku tidak akan menggantimu, meskipun dengan kepercayaan penuh raja kepadaku, aku punya kewenangan menggantimu. Peganglah omonganku ini. Selama kau tidak melenceng dari paugeran dan aturan kerajaan,” kata Ki Patih, yang membuat wajah Senopati sedikit cerah.

“Bukan hanya itu Senopati. Aku pun akan mempromosikan kamu untuk jabatan yang lebih tinggi kelak pada waktunya tiba. Kursi Tumenggung adalah hakmu. Tetapi bukan sekarang. Begitupun, aku akan mempromosikan Ki Tumenggung menduduki kursi Patih, atau setidaknya Patih Anom, sebelum menjadi Patih Amangkubumi. Aku tidak pernah merasa ragu untuk itu. Selama yang bersangkutan bekerja untuk kepentingan negara,” kata Ki Patih.

Senopati kelihatan lega. Dadanya tidak lagi bergemuruh karena risau bercampur bingung dan kecewa. Dia lebih tenang setelah Ki Patih menjelaskan. Bahkan dia menjadi heran, seakan Ki Patih tahu apa yang dipikirkannya. Apa yang dikerjakan selama ini ujungnya untuk meraih kedudukan itu.

“Karena itu Senopati. Kau tetapah bekerja seperti biasa. Tetapi aku minta, kau tidak terus-menerus mendorong pasukanmu seakan perang akan terjadi sebentar lagi. Lakukan gladi sewajarnya saja, toh perang belum tentu terjadi. Bahkan menurut keyakinanku, perang tidak akan terjadi,” kata Ki Patih membuat Senopati kaget.

“Mengapa bisa begitu Kanjeng Patih. Bukannya kita memang harus siap bila tugas Ki Tumenggung gagal. Atau, bisa juga sewaktu-waktu pasukan dari wilayah timur menyerang lebih dahulu ke kotaraja,” jawab Senopati.

“Senopati. Itu menurut perhitunganmu. Dan itu bisa saja terjadi, tetapi kemungkinan itu sangat kecil. Mengapa? Karena sesungguhnya tidak ada yang menyukai perang. Perang itu hanya alasan yang dicari-cari. Dan kalaupun perang itu terjadi, disebabkan oleh tiadanya jalan keluar lain. Selama masih ada jalan yang bisa ditempuh, perang tidak boleh menjadi pilihan utama,” ujar Ki Patih.

“Alasan lain yang juga penting. Ki Tumenggung pasti akan berusaha keras membujuk para adipati diwilyaha timur itu. Apapun akan dia lakukan. Karena dia ingin tugasnya berhasil, dan itu akan menjadi anak tangga menggapai kursi Patih. Bukankah begitu yang diinginakan Ki Tumenggung?” jelas Ki Patih.

Senopati hanya diam mencerna penjelasan Ki Patih. Dalam hati dia membenarkan perkataan Ki Patih yang dinilainya sangat pintar dan bijak ini.

“Yang harus kamu Camkan, Senopati, Ki Tumenggung itu bukanlah musuhmu dalam memperebutkan jabatan. Kau bisa menjadi Tumenggung tanpa harus menyingkirkannya. Karena Ki Tumenggung bisa menduduki kursi patih, pada saat yang sama. Aku sudah cukup tua, jadi jabatan Patih sudah waktunya dihati yang lebih muda. Tetapi karena raja memintaku kembali, baiklah aku harus menuruti perintahnya,” wejang Ki Patih.

“Senopati, aku memahami kegelisahanmu. Tetapi kau itu pemimpin pasukan, jadi tidak boleh mengambil sikap berdasarkan perasaan hatimu. Pertimbangan akalmu harus lebih utama dibanding mendengarkan bisikan perasaan yang bisa membawamu kepada penyesalan dikemudian hari,” tutur Ki Patih.

“Yang harus kamu dahulukan dalam mengambil keputusan, adalah kepentingan negeri lebih diutamakan diatas semuanya. Kepentingan bangsa dan rakyatmu itu harus diutamakan dari apapun. Senopati, aku berkata demikian ini karena aku berharap kau kelak bisa menjadi pimpinan negeri ini. Sebagai pimpinan negeri, rakyat adalah yang utama,” kata Ki Patih.

Senopati merasa mendapatkan banyak pelajaran dari Ki Patih. Sekarang hatinya menjadi tenang. Pikirannya kembali terbuka. Dan kebanggaannya sebagai Senopati Jenggala bangkit kembali, setelah cukup lama rasa bangga itu sirna dari jiwanya.

***************************

Di Kepatihan

Kepatihan yang sebelumnya sepi, kini kembali hidup dan ramai. Jantung pemerintahan berada di Kepatihan. Penjagaan keamanan terus dilakukan siang dan malam. Para praurit berjaga secara bergantian. Prajurit jaga tinggal dirumah khusus dalam komplek Kepatihan. Juga para pembantu Ki Patih yang mengurusi pemerintahan dan kerumahtanggaan, disedikan rumah didalam komplek kepatihan itu.

Baca kisah selanjutnya:  

Malam hari setelah pengukuhan kembali Ki Patih, orang kepercyaannya, Kamandaka dan Niken dipanggil menghadap Ki Patih.

“Selamat Kanjeng Patih, atas pengukuhan kembali. Kedudukan Kanjeng Patih telah dipulihkan oleh Baginda raja,” kata Kamandaka.

“Apa yang perlu diselamati, Kamandaka. Ini justru awal kerja berat dibebankan dipundakku. Tapi ini adalah tanggung-jawab yang memang harus diambil. Ini keharusan yang sudah digariskan. Aku tinggal menjalaninya saja,” kata Ki Patih.

“Kamandaka dan kau Niken. Tugasmu makin berat. Permaisuri sangat tidak suka atas keputusan raja ini. Dia meninggalkan pisowanan, sementara raja masih ada di singgasananya. Dia marah sekali kepada raja. Dia makin benci kepadaku. Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan permaisuri setelah ini. Aku harap kalian berdua, dan para prajurit khusus yang berada dibawah kendalimu, makin meningkatkan kewaspadaan. Segala sesuatu bisa saja terjadi diluar perhitungan kita,” tutur Ki Patih.

“Bagaimana dengan Ki Senopati, Kanjeng Patih, apakah sudah dalam kendali. Karena dia adalah kepercayaan Permaisuri, selain Ki Tumenggung,” kata Kamandaka.

“Aku sudah memanggilnya, dan aku sudah memberikan wejangan banyak hal. Saya berharap dia memahami apa yang saya katakan, sehingga tindakannya didasarkan pada perhitungan-perhitungan yang matang. Tidak sekedar menuruti kemauan sendiri. Atau demi megejar kedudukan saja, melupakan rakyat yang akan menjadi korbannya,” tutur Ki Patih.

“Kalau Kanjeng Patih sudah berbicara kepada Senopati, hamba yakin dia akan mendengarkan nasehat Kanjeng Patih. Karena dia bisa menduduki posisi jabatan Senopati, juga atas bantuan Kanjeng Patih,” kata Niken menimpali.

“Aku bukan membantunya Niken. Aku hanya menyampaikan penilaianku terhadap kemampuan dan wawasan Senopati dalam keprajuritan dan tata kelola pemerintahan. Dan raja menyetujuinya. Tapi aku tidak berharap dia merasa berhutang budi kepadaku,” jelas Ki Patih.

“Tetap saja Kanjeng Patih. Kalau seandainya Kanjeng Patih memberikan penilaian lain, bukan dia yang akan menjadi Senopati, tetapi orang lain,” ujar Niken, disambut tertawa oleh Ki Patih.

“Aku akan memberi tugas khusus kepada kalian berdua. Tugas ini tidak boleh diwakilkan kepada pasukanmu, apapun alasannya,” kata Ki Patih tiba-tiba.

“Iya Kanjeng Patih, hamba siap menajalankan tugas, seberat apapun tugas itu,” kata kedua prajurtit khusus itu.

“Kalian amati gerakan para pesilat dan orang-orang sakti dari aliran hitam. Tingkatkan terus pengamatanmu. Apa saja yang mereka kerjakan. Siapa saja mereka itu, kamu tulis nama-namanya dan dari mana mereka berasal. Dan awasi pertemuan-pertemuan mereka. Siapa saja tokoh-tokoh istana yang datang ke pertemuan-pertemuan itu,” ujar Ki Patih.

“Untuk gerakan pasukan dibawah Senopati, itu lebih mudah diamati. Saya bisa memanggil Senopati dengan kewenagnanku saat ini. Tetapi pasukan yang bukan prajurit kerajaan, itu sulit bagiku untuk mengawasi. Kalianlah yang harus mengambil tugas itu,” jelas Ki Patih.

“Laporkan kepadaku setiap tiga hari sekali. Tetapi bila keadaan mendesak, sewaktu-waktu kalian boleh menghadapku. Siang atau malam,” jelas Ki Patih.

“Mohon ampun, Kanjeng Patih. Hamba berdua siap menjalankan tugas,” jawab keduanya.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=