Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Saya kelas 6 Sekolah Rakyat pada saat meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965. Meskipun saya masih anak-anak namun sedikit-sedikit mengetahui bagaimana kondisi negara tahun-tahun 1960 an; misalnya saya membaca koran atau komik yang menceritakan tentang pemberontakan DII/TII di Jawa Barat, pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, penyerbuan Irian Barat, konfrontasi dengan Malaysia – termasuk juga bagaimana gerakan-gerakan PKI di kota Surabaya yang sering melakukan show of force melalui pawai-pawai dimana para anggota PKI selalu meneriakkan “Ganyang Setan Desa”, “Darah Rakyat”, “Ganyang Kapitalis Birokrat” dsb. Kebetulan di kampung saya Kapasari Surabaya – sebelah utaranya Taman Hiburan Rakyat (THR) banyak warga yang ikut PKI – bahkan beberapa ketua RT adalah orang PKI. Para anggota PKI yang ikut pawai itu terdiri dari anggota BTI (Barisan Tani Indonesia), Pemuda Rakyat, Gerwani dsb.
Sekarang menjelang 30 September 2024 saya melihat mulai banyak video di media sosial yang menceritakan peristiwa 30 September 1965 antara lain tentang kronologi tertangkapnya Kolonel Untung yang menggerakkan pasukan pengawal presiden Resimen Cakrabirawa menculik dan membunuh para jendral pahlawan revolusi, kesaksian putri almarhum Jendral Ahmad Yani ketika menyaksikan bapaknya diberondong peluru tentara penculik dan diseret ke Lubang Buaya – kawasan Halim Perdana Kusuma, tentang simpang siurnya pendapat yang menyebutkan bahwa peristiwa Gerakan 30 September 1965 itu digerakkan oleh PKI atau merupakan konflik internal di kalangan TNI Angkatan Darat.
Ingatan saya masih kuat ketika saya dan dua kakak saya yang masih kecil itu pada siang hari tanggal 30 September 1965 itu ikut tegang karena mendengarkan siaran radio RRI dimana ada pengumuman dari Dewan Revolusi tentang penangkapan anggota Dewan Jendral. Diumumkan juga bahwa semua pangkat Jendral para perwira TNI dihapuskan dan pangkat tertinggi adalah Kolonel. Saya menyaksikan para tetangga yang menjadi anggota PKI mendengarkan pengumuman itu dengan sangat seksama. Selain dari RRI mereka juga membaca berita dari surat kabar komunis “Harian Rakyat”. Saya menyaksikan tetangga-tetangga saya anggota Korp Komando AL atau KKO (sekarang Marinir) dan Mobil Brigade Polri – Mobrig (sekarang Brimob) yang selalu menenteng senjata AK-47 buatan Uni Sovyet dan Cung buatan Cina – bila mereka pulang ke kampung. Suasana kampung juga menjadi tegang mengingat seringnya giliran lampu padam
Besoknya suasana di kampung Kapasari (juga dimana-mana di tanah air ini) sangat tegang terutama pada malam hari. Di Jakarta telah terjadi penculikan dan pembunuhan jendral-jendral TNI Angkatan Darat; dan itu diikuti dengan ancaman pihak komunis untuk menculik dan membunuh warga yang anti PKI terutama masyarakat Islam dan pengikut organisasi-organisasi Islam. Para tokoh atau pemimpin organisasi Islam rumahnya sudah di beri tanda khusus oleh PKI sebagi tanda akan diculik dan dibunuh. Hal itu terjadi pada kakak sepupu saya Cak Abas yang menjadi ketua Ansor ranting Kapasari ini termasuk rumahnya yang sudah ada tanda nya artinya dia menjadi target yang akan dibunuh. Kebetulan rumah nya Cak Abas ini berdempetan dengan rumah saya yang hanya berdinding kayu. Yang saya ingat dia diminta saudara-saudara untuk bersembunyi di langgar atau musholla milik keluarga besar kami yang lokasinya persis didepan rumah dia. Saya kemudian tidak mengikuti kabar dimana selanjutnya Cak Abas ini bersembunyi, namun yang jelas dia tidak ada dirumah.
Kondisi negara dengan cepat berbalik setelah Jendral Suharto menguasai keadaan dan menggagalkan pemberontakan PKI itu dan menemukan jenazah para jenderal Angkatan Darat yang disiksa dan dibunuh dimasukkan kedalam sebuah sumur di daerah Lubang Buaya dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta. Pak Suharto membubarkan PKI dan memerintahkan Kolonel Sarwo Edie (mertua mantan presiden bapak SBY) komandan RPKAD – Resimen Para Komando Angkatan Darat (sekarang Kopassus) unutk melakukan pembersihan PKI di mana-mana. Selain itu dikabarkan para petinggi PKI seperti DN Aidit, Nyoto, Syam, Kolonel Untung, Kolonel Latif, Brigjen Soepardjo pada melarikan diri.
Dalam kondisi yang berbalik ini, gilirannya para pengikut dan pentolan PKI dimana-mana termasuk di kampung saya pada berlarian dan bersembunyi. Seingat saya setahun – dua tahun setelah gagalnya Gerakan 30 September PKI itu yaitu tahun 1966-1967 terjadilan perburuan dan pembunuhan besar-besaran terhadap anggota PKI dimana-mana. Saya melihat truk-truk tentara memasuki kawasan kampung saya dan melakujkan panangkapan para anggota dan simpatisa PKI (dan kabarnya mereka dibunuh di luar kota).
Sepupu saya cak Abas dan para pengurus Ansor NU serta famili saya anggota Muhammadyah tentu lega dengan berbaliknya situasi itu dan berkata “kalau lah PKI yang menang, kita-kita ini yang dibunuh”. Gerakan 30 September PKI yang gagal ini menyebabkan kekacauan negara, kondisi ekonom menurun dengan sangat drastis, penangkapan anggota PKI terjadi dimana-mana. Terjadi kondisi kemanusiaan yang sangat menyedihkan dan merugikan bangsa. Soal rugi ini juga menimpa anak-anak seusia saya yang pada saat pemberontakan PKI itu terjadi kami-kami ini sudah dikelas 6 SR atau Sekolah Rakyat (SD sekarang), karena pasca G 30 S PKI itu sekolah ditutup selama satu tahun akibatnya kami rugi satu tahun, yaitu seharusnya tahun 1966 kami sudah masuk SMP kelas 1, tapi akibat mundur satu tahun, baru tahun 1967 kami masuk SMP.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Belajar Ilmu Komunikasi Dari Pak Presiden
Rahasia Petunjuk Allah
Nestapa UUD 1945
Kabinet Baru Terbaharukan
Pilpres AS dan Islamophobia
Melepas Mulyono Menuju Gorong-Gorong
Strategi Mengadili Jokowi (Bagian Pertama)
Membedah Visi Misi Calon Walikota Surabaya, Eri Cahyadi dan Armuji Melawan Kotak Kosong
Gibran Tidak Boleh Jadi Wakil Presiden
Tunjangan Perumahan DPR Yang Wah….
No Responses