Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Sejarah Indonesia mencatat bahwa menjelang jatuhnya rezim Orde Baru, pada tanggal 20 Mei 1998 14 menteri kabinet presiden Suharto ramai-ramai mengundurkan diri. Para menteri itu adalah “orang dalam” – “Bolo Dewe” dalam bahasa Jawanya- Suharto sendiri. Pengunduran diri itu mereka lakukan karena sebelumnya ribuah mahasiswa yang berdemonstrasi di ibukota menuntut pencopotan jendral Suharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun.
Ke 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita menolak masuk ke dalam Kabinet Reformasi yang dibentuk Suharto dalam upaya untuk melanggengkan kekuasaannya. Soeharto tidak menduga pengunduran diri para menteri itu sebab, selama tiga dekade pemerintahannya, dia tidak pernah menerima kritik, apalagi penolakan, dari para pembantunya.
Adapun 14 menteri ekuin yang mundur adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadinardjono, Haryanto Dhanutirto, dan Justika Baharsjah. Kemudian, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaja, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng. Hanya ada dua menteri yang tidak mengundurkan diri dan menunggu pengumuman Kabinet Reformasi, yaitu Menteri Keuangan Fuad Bawazier serta Menteri Perindustrian dan Perdagangan Mohamad (Bob) Hasan.
Sejarah kelam itu tentu tidak bisa kita analogikan sama dengan kondisi jaman sekarang di pemerintahan pak Joko Widodo karena tidak ada satupun menteri yang mengundurkan diri. Kondisi yang hampir sama itu adalah pada saat ini diakhir pemerintahannya pak Jokowi mulai bermunculan “Bolo Dewe” atau teman sendiri itu yang mulai menunjukkan pendapat kritisnya tentang pemerintahan Jokowi. Misalnya Hasto sekjen PDIP pernah mengkritik keras soal kegagalan pemerintah membangun food estate, serta soal intimidasi pemerintah, lalu ketua umum PDIP sendiri bu Megawati yang dengan suara lantangnya mengkritik pemerintahan sekarang yang diisi “orang baru” tapi bertindak seperti jaman Orde Baru dulu.
BACA JUGA :
- Ahmad Cholis Hamzah: Wakil Presiden Itu Bukan Ban Serep
- Ahmad Cholis Hamzah: Kejengkelan Bu Mega Ditujukan Ke Jokowi?
- Ahmad Cholis Hamzah: Jokowi Bisa Salah Perhitungan
Ada mantan menteri agama Jendral (Purnawirawan) TNI Fachrul Razi yang mengudurkan diri karena tidak setuju Jokowi berencana membubarkan FPI, kemudian alumni ITS yang mantan ketua KPK Agus Raharjo yang bercerita dipanggil pak Jokowi di Istana, dan sesampainya di istana dimarahi Pak Jokowi yang meminta dia mengehentikan penyelidikan KPK terhadap Setyo Novanto yang terlibat kasus E-KTP. Kalau apa yang dikatakan Cak Agus Raharjo ini benar maka menurut orang-orang yang ahli hukum mengatakan bahwa tindakan pak Jokowi itu merupakan bentuk “Obstruction of Justice” atau upaya menghalang-halangi penyelidikan hukum.
Kritikan yang bernuansa pribadi datang dari temannya pak Jokowi sendiri sejak lama dan sama-sama kader PDIP FX Hadi Rudyatmo – mantan walikota Solo. Pak Rudi ini mengaku dongkol atau sakit hati dengan sikap ibu negara Iriana Joko Widodo yang dongkol kepada Bu Megawati karena menyebut suaminya sebagai “petugas partai”. Pak Rudy mengatakan kalau sikap bu Iriana kepada Megawati itu dianggap wajar saja, karena jangankan kepada Bu Megawati, mertua Bu Iriana sendiri yang nota bene ibundanya pak Jokowi meninggal dunia – bu Iriana tidak melayat, bahkan saat acara tahlilan 1.000 harinya saja Ibu negara ini juga tidak hadir. “Wong mertuanya sendiri tidak dihargai” kata pak Rudy.
Ada perbedaan antara mundurnya 14 menteri jaman pak Suharto dulu dengan kondisi sekarang jamannya pak Jokowi yaitu dulu para 14 menteri itu tidak “mengumbar” kejelekan atau kelemahan pak Suharto secara terang-terangan di publik. Sedangkan sekarang para pejabat pemerintahan yang sudah tidak menjabat dan orang-orang PDIP sendiri secara terbuka membuka sisi kelemahan pak Jokowi dan menjadi viral dimana sebelumnya mereka itu pembela mati-matian Jokowi.
Kata sahabat-sahabat saya kejadian seperti diatas itu menurut bahasa Jawanya adalah “wolak walike jaman”.
EDITOR: REYNA
Artikel sama dimuat di Optika.id
Related Posts
Belajar Ilmu Komunikasi Dari Pak Presiden
Rahasia Petunjuk Allah
Nestapa UUD 1945
Kabinet Baru Terbaharukan
Pilpres AS dan Islamophobia
Melepas Mulyono Menuju Gorong-Gorong
Strategi Mengadili Jokowi (Bagian Pertama)
Membedah Visi Misi Calon Walikota Surabaya, Eri Cahyadi dan Armuji Melawan Kotak Kosong
Gibran Tidak Boleh Jadi Wakil Presiden
Tunjangan Perumahan DPR Yang Wah….
No Responses