Oleh: Pierre Suteki
(Dosen Hukum Progresif FH Undip)
Ada perkembangan baru yang cukup progresif dalam sidang PHPU di MK, yakni adanya amicus curiae. Sebanyak 303 orang dari akademisi maupun masyarakat sipil menjadi Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan untuk majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang memeriksa perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Tahun 2024. Amicus Curiae ini diajukan ke MK oleh perwakilan Aliansi Akademisi dan Masyarakat Sipil yakni Pengamat sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun serta Sulistyowati Irianto pada Kamis (28/3/2024). Tujuan Amicus Curiae ini dibuat untuk mencari keadilan dalam proses penyelesaian PHPU Tahun 2024 di MK. Para akademisi dan masyarakat sipil ini menjadikan diri sebagai Sahabat Pengadilan yang berada di belakang para hakim untuk memberikan putusan yang adil. Untuk itu dibutuhkan para hakim yang progresif mengingat kurang lazimnya amicus curiae dalam proses sistem peradilan pidana di Indonesia.
Seorang hakim progresif sebagai pengambil keputusan hukum harus mampu dan berani meramu dan menggunakan pendekatan extra ordinary, misalnya pendekatan legal pluralisme. Dalam rangka mewujudkan hukum progresif, hakim progresif biasanya juga dilatarbelakangi sekaligus dihasilkan melalui Pendidikan Tinggi Hukum yang tidak biasa saja, melainkan Pendidikan Tinggi Hukum yang mau mengusung gagasan, hingga gerakan hukum progresif pula.
Sangat diharapkan artikel ini mampu memberikan pemahaman bahwa betapa hakim itu harus berpikir, bersikap dan bertindak progresif dalam memeriksa dan memutus perkara karena di tangannyalah ide hukum berupa keadilan, kepastian dan kemanfaatan itu diwujudkan. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa hakim tidak seharusnya hanya menyelesaikan perkara secara text book UU (la bouche de la loi) melainkan harus berani bertindak progresif dengan tindakan beyond of text atau out of the box melalui rule breaking atau breakthrough of the rule atau secara prinsip dikatakan not rule boundedness.
Ditinjau dari perkembangan hukum modern di dunia, legal positivism mencapai masa kejayaannya pada abad 19, yakni dengan munculnya tradisi baru dalam berhukum yang menghendaki kehidupan hukum itu harus dimurnikan dari pengaruh anasir-anasir lainnya, misalnya moral dan agama. Tradisi ini kita kenal dengan upaya pemurnian teori hukum (The Pure of Law Theory) atau Reine Rechtslehre yang dipandegani oleh Hans Kelsen sebagai penerus dari penggagas Law as a command bernama John Austin. Intinya teori ini menegaskan bahwa hukum harus dimurnikan dari anasir lainnya termasuk moral, bahkan dikatakan the moral must be separated from the law. Jadi yang penting adalah kepastian hukum yang dirinci dalam 3 ranah yaitu lex scripta (tertulis), lex certa (jelas, tidak ambigu) dan lex stricta (ketat, prosedural baku).
Akan tetapi, sejak hukum modern lahir, dunia hukum mengalami perubahan yang cukup dramatis terhadap pencarian kebenaran dan keadilan. Akibat perubahan dramatis pada abad ke-18 dapat dirasakan hingga sekarang ini. Pengadilan telah berubah menjadi institusi publik yang sarat dengan birokrasi, prosedur-prosedur, formalitas dan sebagainya. Untuk bisa berhasil dalam urusan hukum, orang harus ahli menguasai peraturan hukum dan pandai-pandai ‘mempermainkan’ prosedur. Satjipto Rahardjo (2004) menyebut keadaan tersebut sebagai sebuah tragedi hukum modern. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa menjalankan peraturan hukum hampir sinonim dengan menegakkan hukum.
Aspek keadilan dan kebenaran dalam sistem peradilan legal positivism mengalami marginalisasi besar-besaran. Pengadilan tidak lagi menjadi tempat untuk mendapatkan sebenar keadilan, melainkan untuk mencari sang pemenang (the winner). Pizzi mengatakan: “…we have developed a criminal trial system that is entertaining and that places tremendous emphasis on wining and losing, but the system badly underemphasizes truth”, sehingga muncullah fenomena yang oleh Willian T. Pizzi (1999) disebut trial without truth.
Kendati hukum dan keadilan sering dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang, namun harus diingat bahwa hukum itu berbeda sama sekali dengan keadilan. Jadi dapat dikatakan bahwa menegakkan hukum tidak sekaligus menghadirkan keadilan, apalagi yang disebut dengan keadilan komprehensif.
Saya mencoba melacak gerangan jenis keadilan apa yang dapat disejajarkan dengan keadilan komprehensif. Dalam literatur ditemukan jenis keadilan yang disebut perfect justice (Werner Menski, 2006). Menurut Menski, pencarian terhadap keadilan melalui hukum telah dilakukan orang dengan menggunakan 3 pendekatan yakni pendekatan filosofis—hasilnya adalah keadilan ideal, normatif positivis—hasilnya adalah keadilan formal dan socio-legal—hasilnya adalah keadilan materiil. Menski menawarkan jenis pendekatan keempat yang disebut dengan pendekatan legal pluralism.
Jenis keadilan yang diharapkan lahir dari pendekatan legal pluralism adalah perpect justice yang dapat disetarakan dengan keadilan komprehensif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menski bahwa melalui pendekatan legal pluralism ini seorang pengambil keputusan hukum harus senantiasa memerhatikan kompleksitas perkara yang dihadapi. Kompleksitas itulah yang dijadikan dasar konstruksi penalaran hukumnya sebelum seorang hakim memutus kebijakan tertentu. Kompleksitas itu berupa state law (hukum negara), living law (sosio-legal) serta natural law (moral, ethics dan religion).
Tigaratus tahun sebelum Masehi, Ulpianus telah menancapkan tiga prinsip utama hukum alam, yakni honeste vivere (hiduplah dengan jujur), alterum non laedere (terhadap orang lain di sekitarmu janganlah merugikan), dan suum cuique tribuere (kepada orang lain berikanlah apa yang menjadi haknya). Tiga prinsip dasar tersebut sebenarnya merupakan dasar sekalian moralitas manusia sehingga apabila ketiganya diposisikan sebagai perintah, maka perintah itu bersifat perintah yang tidak bisa ditawar-tawar oleh manusia (imperative chategories).
Perintah itulah yang dapat memanusiakan manusia dan menjadikan penegak hukum yang humanis. Jujur, tidak merugikan orang lain dan adil adalah sifat-sifat penegak hukum yang humanis tersebut. Ketika hidup ini belum sedemikian complex dan complicated, ketiga sifat itu mungkin tidak selangka dalam kehidupan sekarang yang serba instan dan interaksi antar manusia bersumbu pendek, dan suka menerabas seperti istilah yang pernah dipopulerkan antropolog Koentjaraningrat (1980). Ada beberapa mentalitas buruk, menurut Koentjaraningrat, yang terus dipelihara sebagian besar bangsa ini dan diwariskan turun-temurun kepada generasi selanjutnya.
Beberapa mentalitas buruk itu antara lain suka menerabas, meremehkan mutu atau kualitas, tidak percaya diri, berdisiplin semu, dan suka mengabaikan tanggung jawab. Menerabas itu melakukan pemintasan jalan guna meraih sesuatu secara cepat atau instan. Sebagian besar masyarakat kita tidak mau mengambil jalan yang semestinya dilalui karena memakan waktu lama. Mereka berpikir untuk apa susah-susah, padahal ada jalan yang lebih mudah. Menerabas juga sering diasosiasikan dengan mentalitas yang melangkahi rambu-rambu kepatutan. Penerbitan dan penggunaan ijazah palsu termasuk mental menerabas, tidak jujur dan sangat tercela.
Dalam praktik penegakan hukum, pengadilan di Indonesia menjalankan fungsi integrasi yang diwakili oleh hakim, sehingga hakim memikul tanggung jawab untuk menghadirkan keadilan (bringing justice to the people) dan kebenaran (searching for the truth) dalam rangka menciptakan integrasi sosial bukan sebaliknya menciptakan disintegrasi sosial.
Harry C Brademeier yang mengadopsi teori Sibernetika Talcott Parsons menempatkan subsistem sosial sebagai posisi sentral dalam penggunaan hukum sebagai mekanisme pengintegrasi. Dalam dunia hukum, hakim dipercaya sebagai sosok yang mampu mengintegrasikan berbagai macam kepentingan, perbedaan dan friksi-friksinya melalui konversi yang dibekali dengan input berupa fungsi adaptif sistem dari subsistem ekonomi, fungsi mengejar tujuan dari sub sistem politik dan fungsi mempertahankan pola dari subsistem budaya. Setelah melakukan proses konversi di lembaga pengadilan, putusan yang dihasilkan hakim diharapkan memenuhi unsur-unsur efisiensi, legitimasi dan keadilan.
Pada sistem hukum Common Law, hakim dapat menciptakan hukum, hukum baru, yang dikenal dengan prinsip “Judge Made Law”, sehingga hakim benar-benar bersifat independen, tidak terbelenggu dengan peraturan perundang-undangan belaka (la bouche de la loi) dan bebas untuk memperhatikan atau tidak terhadap faktor-faktor yang mengarah kepadanya. Dalam proses mengadili suatu perkara, faktor-faktor yang berada di luar pengadilan termasuk kelompok-kelompok penekan (pressure groups) misalnya Pers, LSM dan lainnya, dapat ditempatkan dalam kedudukan sebagai sahabat pengadilan (Amicus Curiae).
Untuk apa pengadilan punya sahabat? Fungsi utama sahabat pengadilan adalah memberikan masukan-masukan baik diminta / tidak dalam rangka memutuskan suatu perkara, namun masukan itu tidak bersifat mendikte melainkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan karena putusan terakhir tetap berada pada otoritas hakim–hakim dalam pengadilan itu. Meminjam istilah Niklas Luhmann maka sistem pengadilan tersebut sebenarnya bersifat AUTOPOIETIC.
Sebagai sistem autopoietic, pengadilan memiliki beberapa karakter yaitu:
1. Pengadilan menghasilkan elemen-elemen dasar yang menyusun sistem itu sendiri (self-producing).
2. Pengadilan mengorganisasikan diri (self-organizing) dalam dua cara, yaitu dengan cara mengorganisasikan batas-batasnya sendiri dan mengorganisasikan struktur internalnya sendiri
3. Pengadilan menentukan referensi sendiri (self-referential) sebagai rujukan untuk menghargai dirinya sendiri. Pengadilan memiliki cara kerja yang didasarkan pada kultur tersendiri yang mencerminkan karakteristik corps.
4. Pengadilan merupakan sistem tertutup, yang berarti bahwa tidak ada hubungan langsung antara pengadilan dengan lingkungannya, termasuk kelompok-kelompok penekan (pressure groups), misalnya LSM, Pers dan lembaga-lembaga lain baik lembaga kenegaraan/pemerintah maupun swasta.
Keempat karakter pengadilan yang di dasarkan pada sistem autopoetik itulah yang sebenarnya menginspirasi dan menguatkan dalil kemandirian pengadilan dan kebebasan hakim untuk tidak dipengaruhi oleh intervensi faktor penekan dari luar. Bahan masukan, lingkungan setempat tetap penting, namun otoritas tetap berada di tangannya sehingga tidak tepat apabila hakim dalam memutuskan perkara terpasung oleh “Trial by the Press” atau bahkan “Trial by The Rule“ namun “without the truth“. Sudah semestinya hakim-hakim di Indonesia memanfaatkan “kekuasaan kehakiman” itu dengan cara-cara yang progresif, khususnya dalam menangani perkara krusial dan menyangkut kepentingan berbangsa dan bernegara.
Pengadilan sebagai selama ini telah banyak berubah filosofinya, dari benteng terakhir pencarian keadilan menjadi benteng terakhir pencarian siapa yang menang dan kalah (the winner and the loser). Apa yang kurang dalam hal penyediaan UU dan struktur penegakan hukum kita? Semua telah tersedia, tetapi mengapa keadilan yang dicita-citakan tidak kunjung terwujud juga?
Menurut penulis ada dua hal yang menyebabkan kesulitan perwujudan nilai keadilan yaitu soal kultur hukum aparat penegak hukum hakim dan kepemimpinannya. Dua hal ini menjadi bahan bakar hukum itu dapat bekerja dengan baik atau tidak.
Kultur hukum hakim sangat berpengaruh dalam kegiatan pemeriksaan sekaligus dalam penyusunan pertimbangan-pertimbangan hukumnya (legal reasoning) sebelum menjatuhkan putusannya. Hakim yang tidak responsif terhadap adanya krisis dalam tindak pidana korupsi akan mengalami conflict of interest bahkan terkooptasi oleh kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya, apakah itu campur tangan kekuasaan atau pengaruh keuangan. Sebaliknya bagi hakim yang progresif, tentu telah memiliki kultur hukum yang responsif bahkan memiliki jiwa pejuang (vigilante) dan keberanian (braveness) sehingga putusannya berkarakter progresif.
Menurut penulis, kultur hukum saja tidak akan cukup membingkai karakter hakim-hakim untuk progresif dalam memutus perkara. Persoalan kepemimpinan juga perlu dipertimbangkan. Selama ini masih banyak hakim yang merasa masa bodoh dengan kreatifitas dalam memutus perkara, apalagi berwatak progresif karena adanya kekhawatiran bahkan ketakutan akan diperiksa oleh MA dan Komisi Yudisial (KY) atau pihak lainnya karena dianggap tidak mampu menerapkan hukum bila membuat lompatan putusan yang lain dari biasanya. Jadi watak positivistiknya lebih mendominasi kultur hukumnya karena yang dipentingkan bukan bagaimana menghadirkan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people) melainkan mulusnya karir dan yang penting “selamat”.
Seorang hakim progresif harus lebih mengutamakan pencarian keadilan substantif dibandingkan pencarian keadilan formal-prosedural. Para hakim tidak boleh hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) dan terkungkung dalam tradisi konvensional yang menghambat kreatifitas dalam mewujudkan keadilan. Bukankah keadilan itu mesti diutamakan dari pada kepastian hukum seperti yang dikatakan oleh penggagasnya, Gustav Radbruch? Bahkan, terkait dengan adanya kemungkinan pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan Radbruch memegang prinsip yang pada intinya menyatakan bahwa:
“Where statutory law is incompatible with justice requairement, statutory law must be disregarded by a jugde….”
Prinsip demikian sangat progresif karena mengajarkan kepada hakim agar tidak berlaku rule bounded, melainkan breakthrough atau pun melakukan rule breaking (terobosan hukum).
Dalam penanganan kasus-kasus hukum di negeri yang serba plural seperti Indonesia ini, termasuk kasus korupsi, tampaknya tidak cukup bagi hakim bila hanya menggunakan hukum negara (state law) sebagai bahan dasar utama untuk mengonstruksi penalaran hukum aparat penegak hukum. Dibutuhkan kerja keras untuk mengikutsertakan faset-faset hukum selain faset hukum perundang-undangan mengingat hukum itu bersifat multifaset, interdisipliner dan berarti mesti komprehensif. Bila faset UU tidak cukup mendorong hakim untuk bertindak progresif, maka faset moral, ethics dan juga religion lah yang akan mampu mendongkrak adrenalin hakim untuk berpikir, bersikap dan bertindak progresif dalam memeriksa hingga menyelesaikan perkara yang dihadapinya.
Hakim progresif adalah hakim yang visioner. Cara pembentukan dan bekerjanya visioner dalam arti seorang hakim progresif tentulah bukan seorang sekular melainkan seorang religius. Pemikiran, sikap dan perbuatannya dalam menyelesaikan perkara hukum yang dihadapinya tidak hanya berorientasi pada kehidupan duniawi yang serba profan melainkan juga memiliki visi ukhrowi, akherat yang serba abadi.
Hakim progresif bukan hakim yang anti UU melainkan hakim yang mampu menggunakan UU untuk mencapai keadilan sejati. Artinya, ketika penggunaan UU justru mendatangkan ketidakadilan subsatantif maka hakim wajib mengabaikan UU tersebut dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapi dengan membangun konstruksi hukum berdasarkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lalu, akankah majelis hakim yang memeriksa perkara PHPU Pilpres 2024 ini akan bersikap dan bertindak dalam memutus perkara secara progresif dengan mempertimbangkan betul-betul amicus curiae yang telah diterimanya? Semoga para hakim MK berkenan untuk mengutamakan hati nurani mereka sehingga mampu menghadirkan keadilan substantif, bukan sekedar keadilan formal.
Tabik…!
EDITOR: REYNA
Related Posts
Ta’im alias Miftah sudah Mundur, Kapan Fufufafa (di) Mundur (kan) ?
Catatan Atas Penghinaan Utusan Khusus Presiden Prabowo Kepada Penjual Es: Maafkan Kami Datuk Sri Anwar Ibrahim
Jika kebijakan kenaikan PPN 12 persen diambil?
Lagi-Lagi Soal Komunikasi
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (Bagian 3): Kesetiaan, Kepercayaan, dan Kehormatan
Kita Harus Faham DNA Media Barat
Bukti Gamblang, Kebenaran Takdir Allah
Keikhlasan Kunci Keberhasilan
Akurasi Membaca Kemunculan Pratanda Pilbup Kulon Progo
Para Pejabat Negara Perlu Belajar Ilmu Komunikasi
No Responses