Oleh: Dr. Muhammad Najib
Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Spanyol
(Ditulis sebagai prolog dalam buku “Rihlah Peradaban, Perjalanan Penuh Makna di Turki dan Spanyol)
Saya tentu merasa senang dengan kehadiran Bapak dan Ibu rombongan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur ke Spanyol dalam suatu perjalanan yang bertajuk: Rihlah Peradaban. Saya bahkan meyakini kedatangan rombongan PWM Jawa Timur ke Spanyol yang dulunya dikenal dengan nama Andalusia di Dunia Islam, bukan mustahil nantinya akan membuat sejarah besar.
Mengapa saya mengatakan demikian? Karena rombongan Muhammadiyah Jawa Timur sudah mengambil bagian penting dari program besar “Muhammadiyah Go Internasional” yang dicanangkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam muktamarnya ke-48 di Solo, Jawa Tengah, pada 18-20 November 2022, yang mengambil tema: Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta. Tema ini jelas menunjukkan spirit internasionalisasi Muhammadiyah. Dengan tema ini Muhammadiyah diharapkan bukan hanya memajukan Indonesia, melainkan juga mengambil peran yang lebih konkrit dalam mencerahkan dunia internasional.
Sebagai bagian dari bentuk dukungan, baik dalam kapasitas kader Muhammadiyah maupun Duta Besar, dengan maksud agar kunjungan berjalan lancar, Muhammadiyah Jawa Timur bisa mendapatkan rekan kerjasama yang tepat, sehingga target yang diharapkan optimal, maka saya menugaskan salah seorang diplomat senior KBRI Madrid untuk menemani perjalanan rombongan selama di Spanyol, khususnya saat mengunjungi sejumlah institusi dan wilayah penting seperti: Cordoba, Granada, dan Sevilla.
Perlu disadari bahwa masyarakat Spanyol maupun Eropa secara umum memiliki tingkat pendidikan sangat baik, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat demikian juga, perhatian negara kepada rakyatnya sangat besar, jadi kalau bicara kebahagiaan material maka mereka sudah sangat cukup. Pada saat bersamaan sebagian masyarakat merasakan kehilangan kebahagiaan nonmaterial, yang dalam bentuk ekstrim kehilangan makna dan tujuan hidup. Masyarakat semakin sekuler dalam pengertian menjauh dari Tuhan, bahkan sebagian dari mereka anti agama atau tidak berafiliasi pada agama tertentu atau agnostic.
Ada sebuah tesis yang menyatakan semua ini terjadi karena keberhasilan mereka dalam mengembangkan sain dan teknologi, kemudian berimplikasi pada kemajuan ekonomi negara dan kesejahteraan rakyatnya. Ketika Sebagian besar kebutuhan material terpenuhi, kemudian muncul kehampaan spiritual dan hilangnya tujuan hidup yang sejati. Di sinilah tantangan sekaligus ruang yang terbuka bagi Muhammadiyah yang mengembangkan konsep Islam berkemajuan, Islam yang siap menjawab tantangan masyarakat modern.
Melihat realitas ini saya teringat dengan kata-kata salah satu tokoh pembaruan dalam Islam yang ternama, yakni Jamaluddin Al-Afghani yang hidup pada (1838-1897). Ketika kali pertama menginjakkan kaki di Paris, ia mengatakan bahwa di Perancis ini Islam tidak sekedar dibicarakan atau diwacanakan, melainkan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara di banyak negara Muslim, Islam itu terlalu banyak dibicarakan tapi tidak dipraktikkan. Dengan kata lain mereka sebenarnya telah mempraktikan banyak nilai Islam tanpa harus mengenakan baju Islam. Tema-tema egalitarianisme, merit system, menjaga kebersihan, menghargai waktu, sampai semangat menuntut ilmu sebagai contoh, sudah menjadi bagian dari kehidupan di semua sektor.
Jika kita membaca sejarah, sejatinya orang Eropa belajar sain dan teknologi dari umat Islam di Andalusia yang berkuasa hampir delapan abad (711 M sampai 1492 M), yang muaranya dalam bentuk Renaissance yang puncaknya pada abad ke-16 atau 17, dalam bentuk revolusi sosial di Perancis, dan revolusi industri di Inggris.
Masuknya Islam berkemajuan pada saat itu berasal dari Spanyol, yang dulunya disebut Andalusia yang menerima berbagai kemajuan sain dan teknologi yang dirintis oleh Dinasti Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad. Kesamaan Bahasa dan agama yang membuat munculnya jembatan peradaban antara Baghdad dan Cordoba.
Pertanyaan besar banyak orang saat ini adalah mengapa Islam bisa terusir dari Andalusia? Menurut hemat saya setidaknya ada sejumlah faktor yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: faktor internal dan eksternal yang menjadi penyebab. Faktor yang masuk kategori eksternal sudah banyak dibahas, sementara yang masuk dalam kategori faktor internal jarang dibahas, bahkan seakan sengaja ditutup-tutupi. Diantara faktor-faktor internal tersebut adalah:
Pertama, kita tidak dilatih untuk melakukan instrospeksi diri, sehingga kesalahan yang dilakukan satu generasi diteruskan oleh generasi berikutnya. Hal itu terus-menerus terjadi sehingga tidak terjadi upaya mengoreksi kesalahan yang sudah dilakukan. Bahkan, banyak kelompok justru mencari kambing hitam dengan selalu membesar-besarkan berbagai faktor yang bersifat eksternal.
Kedua, perspektif keagamaan yang intoleran, ekstrim, dan fundamentalis. Kalau disederhanakan, maka ada tiga dinasti Islam yang pernah berkuasa dan berjaya di Spanyol, yaitu: Bani Umayah, Dinasti Almurabithun, dan Dinasti Almuwahhidun. Dinasti Umayah merupakan yang terbesar pengaruhnya dengan pinonernya adalah Abdurrahman ad-Dakhil. Dinasti ini membangun peradaban, ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
Sementara itu Dinasti Murabithun yang menjadi penerusnya mengembangkan ajaran keagamaan yang kurang toleran. Pola keberagamaan ini diteruskan oleh Dinasti Muwahhidun. Bahkan dinasti ini acapkali membid’ahkan dan mengkafirkan mereka yang berada di luar kelompoknya. Saya melihatnya, mindset yang intoleran muncul cara berfikir simpel dan hitam-putih yang sering muncul pada mereka yang tidak punya cukup ilmu dan miskin wawasan.
Dalam perkembangannya, intoleransi karena alasan perbedaan keagamaan seperti ini kemudian berkembang menjadi intoleransi karena perbedaan kabilah atau kesukuan. Tidak hanya itu, perbedaan afiliasi dan paham keagamaan juga dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan intoleran. Dan bukan tidak mungkin, perbedaan organisasi dakwah pun menjadi pemicu sikap dan perilaku intoleran. Inilah yang dalam sejarah Islam disebut thaifah-thaifah. Kondisi ini mengakibatkan muncul kelompok-kelompok kecil yang berkelahi terus-menerus.
Penting diingat, Islam di Spanyol itu hidup selama hampir delapan abad. Tentu periode ini merupakan masa yang sangat panjang. Banyak sekali yang bisa digali dari periode kejayaan Islam di Andalusia. Kalau kita pandai mengambil i‘tibar, kemudian menatap ke depan, rasanya Renaissance of Islam itu tinggal masalah waktu saja. Pada akhirnya, saya selalu bermimpi mudah-mudahan kita menjadi bagian dari aktor kecil yang dapat memberikan kontribusi lahirnya Renaissance of Islam.
Akhirnya saya ingin mengingatkan bahwa rahasia kemajuan ummat Islam maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan, serta bagaimana agar bisa diterima oleh masyarakat Spanyol, tergantung pada apakah kita mampu mengembangkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Islam yang modern, mengerti dan mampu menggunakan kemajuan sain dan teknologi, moderat, serta toleran.
Dengan begitu siapa pun yang kita datangi, apa pun etnisnya, apa pun sukunya, apa pun agamanya, akan bergembira dengan kehadiran kita.
Semoga buku yang ditulis ini bisa menjadi bagian dari pembuka jalan kembalinya Nur Ilahi ke Eropa. !
EDITOR: REYNA
Related Posts
Smith Alhadar: Rezim Kingkong Dan Penerusnya
Judhy Pramadhy: Pencalonan Legislatif Dalam Pandangan KAHMI Jaya
Siapakah Kanjeng Senopati Mataram? Biografi Kanjeng Senopati
Sutoyo Abadi: Presiden Terjebak Politik Bunuh Diri
Zamal Nasution: Santri Amanatul Ummah Memukau Mahidol University Thailand
Ulama Nusantara Rekomendasikan Cak Imin Cawapres
Ambisi Bisnis PLTS Luhut, Erick Tohir Dan Salim Group Di Pulau Rempang
Prabowo Blak-Blakan Kepada Nanik S Deyang, Soal Isu Tampar Dan Cekik Wamen
Soal Rempang: Terimakasih Kepada Artikel Maria
Batalkan Semua Program Strategis Nasional (PSN ) Untuk Cina
No Responses
You must log in to post a comment.