Oleh: Radhar Tribaskoro
Tidak ada air mata. Usai mendapatkan upahnya, Cecep menerima vonis itu: ia kena PHK. Esoknya, Cecep memberanikan diri. Tabungan yang seadanya—hasil kerja serabutan dari proyek bangunan ke proyek lain—ia pakai untuk menyewa lapak di pasar Andir, Bandung. Cecep ingin menjual sayuran. Risiko besar, iya. Tapi juga ada harapan. Harapan untuk hidup lebih baik, buat istri dan dua anaknya. Setiap hari, Cecep bangun lebih pagi dari ayam jantan, pergi ke pasar induk, beli sayuran segar, lalu menata dagangan di lapaknya. Namun apa mau dikata, ekonomi lagi sulit, persaingan ketat. Usahanya tidak bisa bertahan lama. Cuma tiga bulan, Cecep menutup lapaknya. Bangkrut. Uangnya habis. Tapi hidup harus terus berjalan. Cecep kembali dari awal, mulai lagi dari nol.
Cecep bukan satu-satunya. Di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering dipamerkan, ada banyak cerita seperti Cecep. Mereka ini adalah para pelaku UMKM—usaha mikro, kecil, menengah—yang berjuang keras demi hidup. Mereka mempertaruhkan apa yang mereka punya, membuka usaha, menciptakan lapangan kerja, dan menambah nilai ekonomi. Tapi, meski berani dan gigih, sebagian besar dari mereka akhirnya bangkrut. Mereka inilah orang-orang kalah—orang-orang yang menyumbang besar pada Produk Domestik Bruto (PDB) kita, tapi sering terlupakan.
Menurut catatan Kementerian Koperasi dan UMKM, UMKM menyumbang 60% dari PDB dan menampung 97% tenaga kerja di Indonesia. Tapi jangan salah, dengan jumlah UMKM yang begitu banyak, setiap unit usaha rata-rata hanya mempekerjakan sedikit orang. Artinya apa? Usaha-usaha ini kecil sekali, rapuh, mudah sekali terguncang. UMKM itu sangat fluid. Datang dan pergi cepat sekali. Jumlah UMKM di awal dan akhir tahun mungkin sama, tapi orang-orang yang menjalankannya bisa berbeda. Ini yang disebut ekonomi survival. Anda masuk ke sana seperti tercebur ke kolam panas. Buru-buru ingin keluar (kalau dapat pekerjaan lain) atau mengeriput tenggelam di dalamnya. Yang jelas, orang-orang yang tercebur ke kolam itu tidak pernah berkurang.
Ketangguhan di Tengah Keterbatasan
Indonesia dikenal sebagai negara yang ekonominya sangat bergantung pada UMKM. Menurut data, UMKM menyumbang sekitar 60-65% dari PDB dan menyediakan lebih dari 90% lapangan pekerjaan. Di balik angka-angka ini ada orang-orang seperti Cecep yang berjuang setiap hari untuk kehidupan yang lebih baik. Mereka menggunakan modal kecil yang mereka punya—tabungan, pinjaman keluarga, bahkan utang—untuk membuka usaha. Sayangnya, kondisi ekonomi yang tidak stabil, akses pasar yang terbatas, dan persaingan yang ketat membuat banyak dari mereka akhirnya tutup.
Tapi, meski bangkrut, kontribusi mereka kepada Sri Mulyani tidak kecil. Uang yang mereka keluarkan untuk modal, bahan baku, sewa tempat, dan gaji pekerja tetap tercatat dalam PDB. Dengan kata lain, pengorbanan mereka ketika membuka usaha adalah bagian dari kontribusi ekonomi nasional. Mereka adalah bagian dari angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sering kita banggakan, meski mereka sendiri mungkin tidak merasakan hasil dari pertumbuhan itu.
Produk Domestik Bruto (PDB) adalah ukuran output barang dan jasa dalam suatu negara selama periode tertentu. PDB mencakup semua pengeluaran untuk investasi, konsumsi, pengeluaran pemerintah, serta ekspor dan impor. Ketika seorang pengusaha kecil mengeluarkan modal—beli bahan baku, sewa ruko, bayar pekerja—semua itu tercatat dalam PDB. Tapi PDB tidak mencatat apakah usaha itu berhasil atau bangkrut. Yang dicatat hanyalah aktivitas ekonominya.
Dalam konteks ini, bagian cukup besar PDB Indonesia datang dari orang-orang kalah ini. Mereka memulai usaha dengan segala keterbatasan, lalu menghadapi kenyataan pahit kebangkrutan. Menurut informasi sejumlah bankir, lebih 50% pengusaha di sektor UMKM bangkrut. Artinya, berdasar perkiraan Kemenkop UMKM, tidak kurang dari 30% PDB disusun oleh orang-orang kalah ini. Angka ini menunjukkan betapa besar peran mereka, meski seringkali tidak diakui dan berakhir dengan penderitaan.
Ekonomi Orang Kalah
Kebangkrutan bagi banyak pelaku UMKM bukanlah akhir. Bagi mereka, ini hanya rintangan dalam perjalanan panjang untuk kehidupan yang lebih baik. Setelah bangkrut, mereka kembali bekerja keras, mengambil pekerjaan serabutan, menjadi buruh, menabung lagi, dan berharap bisa membuka usaha lagi suatu hari nanti. Ini adalah siklus yang terus berulang—buka usaha, berjuang, bangkrut, mulai lagi dari nol.
Di satu sisi, siklus ini menunjukkan ketangguhan luar biasa dari pelaku UMKM. Tapi di sisi lain, ini juga menunjukkan bahwa sistem ekonomi kita belum sepenuhnya berpihak pada mereka. Mereka yang menyumbang besar pada perekonomian justru sering dibiarkan berjuang sendiri. Tidak ada jaring pengaman yang cukup kuat untuk membantu mereka bangkit, tidak ada dukungan yang memastikan mereka bisa berdiri lagi setelah jatuh.
Sri Mulyani boleh bangga dengan pertumbuhan PDB 5% setahun, tetapi tahukah dia bahwa 30% dari PDB yang dia banggakan itu berasal dari orang-orang kalah? Mereka ini, orang-orang yang bekerja mati-matian, yang kalah dalam pertarungan pasar, tapi tetap menyumbang besar. Dan kemudian? Dibiarkan saja tenggelam, seolah tidak penting lagi setelah kontribusi mereka tercatat di statistik.
Ada banyak sekali orang kecil yang diabaikan oleh para perencana ekonomi. Melihat besarnya kontribusi orang-orang kalah ini, sudah seharusnya negara memberikan perhatian lebih. Negara punya kewajiban moral dan ekonomi untuk membantu mereka yang telah memberi begitu banyak.
Orang-orang bangkrut, orang-orang yang kalah dalam persaingan itu adalah sebenarnya tulang punggung ekonomi. Mereka, meski menghadapi risiko besar dan ketidakpastian, tetap berani membuka usaha dan menciptakan nilai. Mereka adalah contoh nyata dari semangat kewirausahaan—berani bermimpi, berani ambil risiko, dan tangguh bangkit setelah jatuh.
Tapi keberanian mereka tidak boleh menjadi alasan bagi negara untuk membiarkan mereka berjuang sendiri. Negara punya kewajiban untuk membantu mereka, memastikan ketika mereka jatuh, ada kesempatan untuk bangkit. Bantuan ini bukan hanya soal keadilan, tapi juga soal kepentingan ekonomi nasional. Membantu UMKM yang bangkrut berarti memperkuat fondasi ekonomi nasional.
Kesimpulan
PDB mungkin hanya angka di atas kertas, tapi di balik angka itu ada kisah perjuangan manusia. Kontribusi besar dari orang-orang kalah ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia dibangun bukan hanya oleh perusahaan besar, tapi juga oleh jutaan orang kecil yang berjuang setiap hari. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang meski sering gagal, tidak pernah berhenti mencoba.
Sudah saatnya negara memberi perhatian lebih kepada mereka. Sudah saatnya kita membangun sistem yang tidak hanya menghargai keberhasilan, tapi juga memberi kesempatan kedua bagi yang gagal. Karena pada akhirnya, ekonomi yang kuat adalah ekonomi yang inklusif dan berkeadilan, di mana setiap orang—termasuk yang pernah bangkrut—punya kesempatan untuk berkontribusi dan berhasil.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Imbangan Analisis Psikologis Prabowo Subianto
Psikologi Prabowo Subianto: Di Persimpangan Jalan Yang Kompleks Dalam Hubungannya Dengan Jokowi dan Gibran
Kurikulum : Dari Shallow ke Deep Learning
Pendidikan Sekolah Perlu Mengajarkan Intuisi dan Penguatan Nurani Untuk Kesuksesan Sejati
Mosaik Kepemimpinan Dalam Al Quran
ITS Ibu Yang Luhur
Mengapa Amandemen UUD 1945 Itu Berkaitan Dengan Kemunduran Ekonomi
Anak Semester I itu Lafran Pane, Pendiri HMI
Peringatan 10 Nopember Sepi
Dimensi Ketuhanan Dalam Firman
No Responses