Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@DOE ITS Surabaya
Pagi ini diselenggarakan peringatan puncak Dies Natalis ITS ke-64. Namanya membawa sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui perang Surabaya yg berlangsung sekitar 3 minggu dengan korban yang tidak sedikit. Yang berjuang melawan pasukan Inggris -pemenang Perang Dunia ke 2- tidak hanya pemuda2 Surabaya, tapi juga pemuda2 dari berbagai tempat di Indonesia. Salah satu spirit yang mendorong semangat perlawanan itu adalah Resolusi Jihad NU pada 22 Oktober 1945.
Jam 06.00 tanggal 10 Nopember 1945 itu menjadi dead line pernyataan menyerah arek2 Suroboyo setelah kematian Brigjen Mallaby beberapa hari sebelumnya. Jelas secara militer, arek2 Suroboyo itu tidak sebanding dengan pasukan NICA. Jelas pertempuran itu dimenangkan pasukan NICA, namun perangnya dimenangkan arek2 Suroboyo. The may have lost the battle, but surely won the war.
Dalam perspektif perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu baiklah diingat, bahwa UUD 1945 yg ditetapkan pada 18/8/1945 oleh para pendiri bangsa adalah sebuah pernyataan perang melawan segala bentuk penjajahan, sekaligus strategi untuk memenangkan perang tsb yg oleh Bung Karno disebut sebagai nekolim. UUD 1945 tidak saja penanda kelahiran resmi sebuah bangsa dan negara baru yg disebut Republik Indonesia, tapi sebuah dasar2 filosofis sekaligus kompleks gagasan untuk mewujudkan tujuan bernegara yaitu mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Sayang sekali, dasar2 filosofis dan kompleks gagasan itu gagal diterjemahkan menjadi besaran2 iptek atau body of knowledeges yang diperlukan bagi pemerintahan yang efektif di negara Pancasila itu. Kampus2 besar sebagai pusat2 iptek justru asyik masuk menelan dan mengunyah banyak gagasan2 penjajah sehingga Republik ini tumbuh menjadi sekedar plagiasi atas gagasan2 Barat. Akibatnya yg terjadi justru westernisasi yang menjauhkan bangsa ini dari jati dirinya yang sejati.
Plagiasi yang mutakhir dilakukan dengan mengganti UUD 1945 menjadi UUD 2002 melalui serangkaian perubahan yang dengan congkak disebut amandemen. Padahal yg terjadi, menurut Prof. Kaelan UGM, adalah penggantian menyeluruh atau total replacement atas UUD1945. Anehnya, penggantian konstitusi ini justru didaku oleh kaum reformis sebagai puncak pencapaian civil society dalam mengalahkan otoriterianisme Orde Baru yang militeristik.
Setelah 20 tahun lebih, makin terbukti bahwa kita makin jauh dari agenda reformasi yaitu demokratisasi, desentralisasi, dan pemberantasan korupsi. Prof. Sri Edi Swasono menyebut bahwa yang terjadi bukan reformasi tapi justru deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Setelah MPR sebagai lembaga tertinggi negara digusur oleh partai2 politik yang memegang monopoli polity as public goods, maka pasar politik menjadi pasar bebas, seiring dengan ekonomi yang makin kapitalistik. Kita sekarang hidup dalam jagad politik yang makin korporatokratik di mana uang lebih banyak berbicara daripada akal sehat, apalagi ilmu dan hikmah.
Bahkan dunia pendidikan telah mengalami liberalisasi yang berbahaya di mana formalisme persekolahan dan kampus justru membuat learning opportunity makin langka sehingga makin tidak terjangkau bagi banyak warga masyarakat. Sekolah dan kampus makin banyak, tapi pendidikan justru makin langka. Pendidikan dasar dan menengah bahkan gagal menghasilkan warga muda yang cakap, berakhlaq, sehat dan produktif pada usia 18 tahun. Kegagalan ini telah menyebabkan permintaan pendidikan tinggi yang semu sehingga menodorong kenaikan UKT saat model bisnis kampus masih tergantung pada jumlah mahasiswa, bukan jumlah karya litbang yang dibutuhkan industri atau inovasi yang menguatkan kemandirian energi, pangan dan air.
Obsesi world class ranking juga memberi sinyal keliru atas arah yag mesti ditempuh kampus. Obsesi mutu berbasis standard telah menelantarkan relevansi. Kita mesti kembali melihat relevansi kampus2 dalam perspektif filosofi dasar dan kompleks gagasan yg diamanahkan oleh UUD 1945. Apakah kampus2 ini berkontribusi bagi bangsa yang makin merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur ? Sebagai warga kampus, kita harus mampu menjawabnya.
Ibu kita di rumah adalah guru yang pertama dan utama. Keluhuran ibu itulah yang membuat surga berada di telapak kakinya. Kita mesti mengembalikan ITS sebagai ibu kita yang luhur.
Sukolilo, Surabaya. 11 Nopember 2024.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Kita Harus Faham DNA Media Barat
Bukti Gamblang, Kebenaran Takdir Allah
Keikhlasan Kunci Keberhasilan
Akurasi Membaca Kemunculan Pratanda Pilbup Kulon Progo
Para Pejabat Negara Perlu Belajar Ilmu Komunikasi
BUMN Indonesia menyedihkan, Bagaimana Mau Setara Temasek
Membantah Penilaian The Economist: Presiden Prabowo dan Kabinetnya Memiliki Visi Kuat
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (Bagian 2): “Profesor Kancil”, “Don Dasco”, dan “Mr. Dasco”
Pemberian Bantuan Negara Tidak Boleh Riya’
Negara Swasta: Transformasi Negara Menjadi Korporasi Oligarki
No Responses