Iedul Qurban 1445H : Merawat Persatuan dan Kemanusiaan

Iedul Qurban 1445H : Merawat Persatuan dan Kemanusiaan
Daniel Muhammad Rosyid



Oleh: Daniel Mohammad Rosyid, @Rosyid College of Arts

 

Pendahuluan : Perubahan Konstitusi

Sejak pemberlakuan UUD2002 hasil perubahan mendasar pada UUD45, kita menyaksikan peranan partai politik yang makin memonopoli kehidupan politik nasional. Pada saat yang sama makin terbukti jagad politik semakin mahal di mana uang lebih berbicara daripada yang lain2. Biaya politik yang makin mahal telah menyebabkan peran para taipan ekonomi ikut menentukan kebijakan pengelolaan pembangunan, termasuk pengelolaan sumberdaya alam. Maladministrasi publik makin besar di mana Undang-Undang dan regulasi dibuat lebih untuk kepentingan pemilik modal, bukan untuk kepentingan publik wong cilik.

Urusan pilpres yang semula oleh UUD45 menjadi perkara fardlu kifayah oleh wakil2 rakyat di MPR, diubah melalui UUD2002 menjadi urusan fardlu ‘ain oleh 160 juta pemilih yg tersebar di 800ribuan TPS tersebar di sebuah bentang alam kepulauan seluas Eropa ini. Bahkan presiden terpilih adalah petugas partai politik, dan berpotensi menjadi boneka para oligarch, bukan mandataris MPR yang menjalankan GBHN sebagai pernyataan kehendak rakyat. Jika pillpres dilakukan oleh MPR melalui musyawarah bil hikmah, maka pilpres langsung oleh masa yg umumnya rationally ignorant ini berlangsung asal pilih dengan cara mencoblos kertas suara dengan paku.

Mungkin merupakan unintended outcome, masyarakat telah mengalami kastanisasi baru, terbelah menjadi elite parpol, petugas dan jongosnya yg boleh disebut sebagai floating mass. Para jongos politik ini kemudian berevolusi menjadi cebong, kampret dan kadrun. Pemilu adalah mekanisme nett transfer hak2 politik rakyat pemilih ke elite2 partai politik. Namun suara itu kemudian hilang di selokan Senayan karena anggota parlemen dengan mudah direcall oleh elite parpol. Sementara hukum tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah. Jargon2 revolusi Perancis yang menjadi sound bites demokrasi dan republicanism menguap ke lorong2 gelap Senayan.

Reformasi dan Deformasi Kehidupan berbangsa dan bernegara

UUD2002 telah membawa deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bersamaan dengan itu jokowisme juga berkembang subur saat DPR sakit gigi, para guru besar di kampus sibuk mengejar ranking world class, dan ulama menjadi setan bisu, serta media masa menjadi corong kekuasan belaka. Deformasi dimulai saat kedaulatan rakyat yang diwujudkan oleh MPR dirampas oleh partai2 politik. Fitrah cita negara proklamasi yang telah dirumuskan oleh the founding fathers kita telah berubah menjadi negara korporasi di mana kekuatan2 kapital, termasuk asing, telah menguasai pemerintahan dan menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi, serta kesenjangan spasial yang makin parah. Ginie rasio kita bertahan di sekitar 0.40, sementara penguasaan tanah makin terkonsentrasi pada sedikit elite ekonomi.

Reformasi ternyata sebuah proses yg dirancang untuk memutus pewarisan gagasan dan nilai dari para negarawan pendiri bangsa dengan generasi penerusnya, sehingga UUD45 direndahkan sebagai sekedar warisan Orwellisme Orde Baru atau agenda tentara. Mereka yang mengaku dengan congkak sebagai para reformis dengan bangga menyebut Pilpres langsung ala UUD2002 sebagai pencapaian iconic masyarakat sipil yang berhasil menyingkirkan otoriterianisme tentara dan Orde Baru.

Perilaku generasi reformasi yang jumawa itu bagaikan sikap Kan’an pada Nuh ayahnya sendiri. Beda dengan sikap Ismail pada Ibrahim ayahnya. Nilai2 tawhid dan kemanusiaan dicampakkan demi nilai sekuler berbasis kebanggaan kelompok yang mengancam kemanusiaan dan persatuan. Bangsa ini dibelah oleh kepentingan2 politik sesaat yang pragmatis, sementara kepentingan bangsa yang lebih luas diabaikan. Kehidupan bukan lagi pengabdian pada Allah swt Tuhan YME, tapi terombang ambing antara pengabdian pada perut dan kelamin, serta pengabdian pada egosentrisme kelompok.
UUD45 Sebagai Dasar Kemanusiaan dan Persatuan

Keterputusan pewarisan gagasan dan nilai2 proklamasi yg terkandung dalam UUD45 dari para pendiri bangsa ke generasi berikutnya telah menyebabkan perjalanan bangsa ini makin jauh dari cita2 kemerdekaan yaitu bangsa yg merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Ini seperti sikap generasi Kan’an yang menolak warisan Nabi Nuh as karena merasa lebih hebat dari generasi sebelumnya. Sikap Kan’an ini berbeda sekali dengan sikap generasi Ismail pada warisan Ibrahim as ayahnya.

Nilai2 dan filosofi dasar yg terkandung dalam Pembukaan UUD45 yg dijelaskan dalam gagasan2 pokok dalam batang tubuh UUD45 dibegal oleh operasi kudeta konstitusi melalui perubahan ugal2an menjadi UUD2002 oleh sekelompok anasir sekuler nasionalis dan kiri radikal sehingga secara perlahan bangsa ini kehilangan kedaulatannya. Bangsa ini kehilangan MPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat saat keterpilihan menggusur keterwakilan. MPR adalah sosok ayah dan pengayom yang dapat secara elegan menjadi platform resolusi konflik yang terjadi di dalam keluarga besar bangsa Indonesia sehingga persatuan dapat dirawat dan diperkuat.

Setelah jagad politik sebagai kebajikan publik menjadi makin dimonopoli partai politik, maka kehidupan ekonomi juga makin dikuasi oleh segelintir elite ekonomi dan oligarch yang menumpuk kapital dan tanah. Ketimpangan sosial melebar dengan Ginie Rasio yang konsisten buruk. Secara sosial budaya manusia2 Indonesia berubah menjadi buas, kehilangan etika dan hikmah sehingga berperilaku urip sak karepe udele dhewe dalam kehidupan bersama yang majemuk ini. Tidak saja nilai2 kemanusiaan makin hilang, persatuan pun makin rapuh.

Kehadiran teknologi digital makin memperparah keterbelahan bangsa ini. Sekalipun internet makin tersedia di mana mana, namun yang terjadi justru perluasan disconnectedness. Bangsa ini makin terasing satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ini diperparah dengan budaya magerisme dan rebahan di depan gadget. Algoritma internet dan media soal justru semakin memperkeras perbedaan antar kelompok. Pada saat kawasan2 perkotaan makin kehilangan ruang2 publik akibat glontoran mobil dan motor, percakapan lintas-kelompok makin langka, sementara kecurigaan dan prasangka justru makin merebak.

Penutup : Iedul Qurban dan Kembali ke UUD45

Adalah Islam yang memungkinkan ratusan suku2 bangsa di Nusantara ini membayangkan sebuah bangsa baru yang disebut bangsa Indonesia. Tanpa Islam suku2 itu bakal berakhir seperti suku Indian di Amerika atau suku aborigin di Australia. Islam melampaui sukuisme yang sempit, apalagi sekedar kelompok2 politik. Kesombongan iblisy [QS Al Baqarah : 34] yg merebak setelah penggusuran UUD45 oleh UUD2002 berkembang menjadi demokratisme yang menjadikan suara rakyat adalah suara Tuhan. Mereka berteriak vox populi vox dei. Padahal yang terjadi adalah penggusuran Tuhan oleh manusia. Manusia merasa lebih mampu dan piawai membuat hukum2nya sendiri, termasuk jika perlu menentang hukum2 Allah swt Tuhan YME. Akibatnya terjadi kedzaliman marak di mana-mana. Ketidakadilan yang berkembang menjadi ketidakpuasan yang luas bisa mengarah pada kekacauan sosial.

Iedul Qurban yg dilambangkan oleh penyembelihan Ismail oleh Ibrahim memberi ibrah bahwa manusia berpotensi menuhankan dirinya sendiri, setelah menuhankan alam semesta, perut dan kelaminnya. Al Qur’an menggambarkannya secara astronomis sebagai siklus orbitasi bumi, bulan dan matahari [QS Yunus : 5]. Gerhana matahari di bumi terjadi saat bulan menutupi matahari. Matahari sebagai sumber cahaya (Allah swt) dikudeta manusia (bulan) yg mengangkat dirinya sendiri sebagai Tuhan. Potensi2 penuhanan atas nafsunya sendiri ini harus disembelih. Egoisme bisa berkembang menjadi tribalisme, lalu jika tidak dikendalikan bisa menjadi nasionalisme sempit yg diagung-agungkan sebagai semacam glorified tribalism.

Nilai2 dasar Ketuhanan yang Maha Esa telah dikudeta manusia yg kerasukan kesombongan iblisy sehingga kemanusiaan yg adil dan beradab berubah menjadi kebinatangan yang biadab. Manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya yang lebih lemah. Homo homini lupus. Ba’dhukum liba’dhin ‘aduwwun. Tidak saja kemanusiaan hilang, persatuan pun lenyap. Pada saat kekuasaan tidak lagi dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan oleh wakil2 kita yg negarawan, maka keadilan sosial makin menjadi fata morgana jika bukan mimpi di siang bolong.

Padahal manusia diciptakan Allah dalam berbagai suku dan bangsa untuk saling berkenalan untuk saling berbuat ma’ruf. [ QS Al Hujurat : 13]. Yang termulia di antara manusia adalah yang paling bertaqwa, bukan karena asal2 usul primordialistik, kelas sosial dan atau kelas ekonomi, apalagi partai politik. Pada saat jamaah Haji merayakan kesetaraan ummat manusia di padang Arafah, kita juga menyaksikan sebuah kontras bagaimana pembersihan etnis sedang berlangsung atas bangsa Palestina oleh yahudi zionist.

Dengan semangat Iedul Qurban ini, kiranya Allah swt memberi kekuatan spiritual bagi para pemimpin kita untuk memandu bangsa ini untuk kembali ke nilai2 dasar UUD45 warisan para ulama lurus negarawan pendiri bangsa ini. Hanya dengan jalan itu kita bisa merawat kemanusiaan dan persatuan kita.

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=