Oleh: Mohammad Damami Zain
Sebagai imbangan analisis atas psikologi Prabowo Subianto oleh Radhar Tribaskoro, ada catatan kecil dari pengalaman kehidupan “orang besar” dalam sejarah “pemikiran”, bukan “politisi”, yakni Socrates.
Socrates memiliki isteri bernama Xantippe, yang terkenal buruknya, ya fisiknya, ya sifatnya, ya wataknya, ya perbuatannya, ya tindakannya, ya sikapnya, ya relasi sosialnya; pokoknya lengkap, khususnya terhadap diri Socrates. Pokoknya, kalau diukur dan dinilai secara rata-rata manusia, bagi Socrates sebenarnya tidak ada nilai “positif”-nya isteri Socrates yang bernama Xantippe itu.
Tetapi, ternyata Socrates merasa sangat bersyukur, karena, justru isterinya itu dapat dijadikan “tolok ukur” bagaimana Socrates dalam hidup ini dapat menjadi manusia “terbaik” dalam segala halnya: berpikir, berperasaan, bersikap, berbuat, bertindak, menanggapi sesuatu, membayangkan sesuatu yang ideal, merencanakan sesuatu, memilih, menetapkan, memutuskan, dan menjalani titian prinsip. Kata Socrates, tanpa “bantuan segala keburukan” isterinya yang bernama Xantippe itu, dia merasa tidak akan mungkin berhasil menjadi “manusia baik”, “manusia besar”, “manusia sejarah” seperti yang telah dilakoninya itu.
Suatu ilustrasi menarik dari pengalaman dan bagaimana Socrates mengambil “hikmah” dari keburukan Xantippe.
Suatu ketika Xantippe ngomel-ngomel nggak karuan menghina Socrates. Mendengar omelan itu —sesabar-sabar manusia normal— Socrates mengambil tembikar cukup besar berisi air lalu dia lemparkan sekuat tenaga ke luar rumah. Tentu saja isi tembikar itu muncrat ke udara, dan ketika jatuh ke tanah hancur berantakan dan airnya tumpah ke mana-mana. Maka berdatanganlah tetangganya, lalu mereka bertanya kepada Socrates,
“Ada apa ini, kok agak ribut?” Dengan begitu entengnya Socrates menjawab, “Biasalah, kalau ada mendung berguntur (maksudnya kalau ada omelan nggak karuan dari isterinya, Xantippe), ‘kan lalu timbul halilintar dan turun hujan yang airnya tersebar di mana-mana” (Socrates melempar tembikar isi air ke luar rumah).
Begitulah cara solusi yg ber-“hikmah” dalam menghadapi keburukan orang dekat, khususnya dalam lingkaran sistem dan keluarga yang pernah dialami dan dipraktikkan Socrates.
Ilustrasi di atas bukan “teori ilmiah”, tapi adalah praktik hidup. Siapa tahu ada yang tertarik menirunya, termasuk presiden kita.
Wallahu a’lam.
Related Posts
Kita Harus Faham DNA Media Barat
Bukti Gamblang, Kebenaran Takdir Allah
Keikhlasan Kunci Keberhasilan
Akurasi Membaca Kemunculan Pratanda Pilbup Kulon Progo
Para Pejabat Negara Perlu Belajar Ilmu Komunikasi
BUMN Indonesia menyedihkan, Bagaimana Mau Setara Temasek
Membantah Penilaian The Economist: Presiden Prabowo dan Kabinetnya Memiliki Visi Kuat
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (Bagian 2): “Profesor Kancil”, “Don Dasco”, dan “Mr. Dasco”
Pemberian Bantuan Negara Tidak Boleh Riya’
Negara Swasta: Transformasi Negara Menjadi Korporasi Oligarki
No Responses