Kebohongan Yang Diformalkan

Kebohongan Yang Diformalkan



Oleh : Zulkifli S Ekomei

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai bohong sebagai :

(1) tidak sesuai dengan hal (keadaan dan sebagainya) yang sebenarnya, dusta

(2) bukan yang sebenarnya kata lainnya palsu.

Kepalsuan, kebohongan, ketidakbenaran mengacu pada sesuatu yang tidak benar. Kepalsuan adalah pernyataan yang memutarbalikkan atau menekan kebenaran, untuk menipu, melakukan pembenaran untuk menutupi ketidakbenaran.

Pada tahun 1999 – 2002 telah terjadi peristiwa kelam yang telah mengubah Indonesia menjadi Indonesia yang baru, yang sangat berbeda dengan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa; yakni Indonesia sebagaimana dilandasi berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur mendirikan negara Republik Indonesia.

Ketidakbenaran atau kepalsuan yang bisa ditemui pada hasil permufakatan jahat mengganti UUD45 karya agung para pendiri negara. Selain penggantian ini dilakukan dengan operasi senyap yang melibatkan anasir-anasir asing, juga melibatkan anak bangsa sendiri, seperti yang diakui oleh SBY selaku presiden pertama hasil UUD baru, UUD 2002 atau UUD’45 palsu saat bicara tentang keberhasilan revolusi senyap mengganti UUD sehingga Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar di dunia, seperti yang dikutip oleh “news.detik.com”, Senin, 16 Agustus 2010.

10 Tahun Reformasi telah banyak mengubah tatanan demokrasi di Indonesia. Menurut SBY, reformasi adalah sebuah revolusi diam-diam yang sukses dilakukan di Tanah Air.

“Tidak mengejutkan, bila ada yang mengatakan, ini sesungguhnya adalah revolusi diam-diam, atau “the quiet revolution,” kata SBY dalam Pidato Kenegaraan di hadapan DPR dan DPD di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (16/8/2010).

Menurut SBY, sejak reformasi bergulir pada 1998, Indonesia telah melangkah jauh dalam transisi demokrasi. 3 Pemilu langsung telah dilaksanakan dengan baik. TNI bertransformasi menjadi profesional dan tidak berpolitik.

Pers telah diberi kebebasan. Desentralisasi telah berkembang dan membuahkan pemilu kepala daerah langsung.
“Hasilnya, peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental,” jelas SBY.

Reformasi ini dinilai sebagai revolusi diam-diam karena perubahan itu bisa dicapai dalam waktu 10 tahun. “Proses politik yang sangat rumit ini berlangsung dalam waktu relatif singkat, dan tanpa menimbulkan gejolak atau guncangan sosial yang serius, kecuali pada periode awalnya,” ujar SBY.

Dari pernyataan seorang Presiden yang disampaikan dalam forum resmi kenegaraan di Gedung DPR Senayan Jakarta, Senin 16 Agustus 2010 bukan isapan jempol belaka dan sekaligus membantah pernyataan mantan anggota Panitia Ad Hoc 1 MPR periode 1999 – 2004 bahwa penggantian UUD’45 adalah murni karya MPR, merupakan salah satu bukti kebohongan yang diformalkan.

Sejak saat itu kebohongan demi kebohongan dialami oleh rakyat Indonesia. Berdasarkan UUD yang baru, UUD’45 Palsu dikatakan sistem Presidensial diperkuat, kenyataannya setiap pejabat ekskutif harus mengikuti “fit and proper” di Senayan, meski bukan rahasia umum lalu terjadi transaksi untuk lolos, adalah korupsi yang diformalkan.

Berdasar UUD baru atau UUD’45 Palsu, dikatakan Indonesia telah melangkah jauh dalam transisi demokrasi, seperti yang pernyataan SBY, sejatinya adalah “demokrasi gombal”, “demokrasi êntut mbérut”, karena untuk menjadi kepala daerah harus mendapatkan rekomendasi Ketua Umum Parpol yang punya kursi di daerah yang bersangkutan, lebih gombal lagi karena calon kepala daerah yang sudah diputuskan oleh DPC Parpol di daerah bisa digagalkan dan digantikan oleh keputusan Ketua Umum parpol seperti yang terjadi di Solo dengan terpilihnya Gibran sebagai Walikota Solo, inilah kebohongan yang diformalkan.

Baru saja selesai pilpres langsung, ada 3 calon, semua energi dihabiskan, ada pertaruhan laksana perjudian, semua partai politik ikut masuk gelanggang perjudian dengan mendukung salah satu calon, rakyat dibohongi seolah mereka benar-benar bertarung, rakyat terbelah, ada yang ikut judi pinggiran, dipandu oleh penerbit kode buntut, media dan lembaga survey, lalu ternyata pada akhir perjudian, bandar yang menentukan hasilnya. Hal ini akan terbaca jelas dalam penyusunan kabinet nanti, penjudi yang menang tentu akan beroleh hasil paling banyak, penjudi yang kalah dapat “door prize”, itupun dengan syarat berkoalisi dengan pemenang, sementara bandar juga menitipkan orang-orangnya di kabinet, terus bagaimana nasib penjudi pinggiran? Yang ikut pemenang pasti mendapatkan banyak pos-pos jabatan yang bisa dijadikan hadiah, bukan berdasar kompetensi, karena kolusi yang diformalkan.

Lalu bagaimana dengan nepotisme? Bukan rahasia umum lagi, yang paling nyata adalah yang dilakukan oleh Presiden hasil pilpres 2019 berdasar UUD baru, UUD’45 Palsu, Joko Widodo, suatu keadaan yang sudah tidak abu-abu lagi, tapi jelas terang benderang bahwa semua pejabat penentu bisa diatur dengan uang, meski tidak bisa dibuktikan tapi bisa dirasakan seperti “êntut mbérut”, kentut yang keluar berikut ampas-ampasnya, ini adalah nepotisme yang diformalkan secara nyata.

Yang ingin keadaan ini segera diakhiri, tidak ada jalan lain selain kembali ke sistem yang dirancang oleh para pendiri negara, sistem sendiri, sistem Indonesia, sistem MPR, sistem berdasar UUD yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Mengenai hal-hal yang kurang jelas, bisa dijelaskan di “Penjelasan”, hal-hal yang perlu ditambahkan bisa ditambahkan di “Aturan Tambahan”, hal-hal yang perlu disempurnakan bisa dimasukkan dalam “Aturan Peralihan”, semuanya sudah disiapkan oleh para pendiri negara, Al Fatehah buat mereka semua……. Aaamiiin Ya Rabbal Alamin.

Bagi para penghianat, masih ada waktu untuk bertobat, bertobatlah sebelum nyawa kalian dicabut oleh malaikat Izrail, semoga kalian diberi petunjuk bahwa yang benar adalah benar, yang salah adalah salah……. Aaamiin Ya Rabbal Alamin.

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=