Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Untuk menjadi negara kepulauan yang maju, kita membutuhkan 1) pendidikan yang menyiapkan warga muda yang cakap, sehat dan produktif dalam jumlah yang cukup untuk memanen bonus demografi, 2) pasar yang terbuka dan adil bebas dari riba, 3) investasi di sektor riil berbasis agro-maritim untuk membuka peluang usaha dan tenaga kerja yang cukup, 4) birokrasi yang kompeten, amanah dan bebas dari KKN, 5) pasokan energi terbarukan yg cukup, dan 6) pemerintahan maritim yang efektif untuk menjaga kedaulatan, menciptakan peluang bisnis di laut dengan efisien, selamat dan aman.
Kunci dari keenam hal tersebut adalah pendidikan. Persoalan utama pendidikan kita saat ini adalah overschooling if not too much schooling. Persekolahan makin banyak, banyak orang bergelar panjang, tapi pendidikan sebagai kesempatan belajar dan keterpelajaran justru makin langka. Sekolah menjadikan belajar sebagai komoditi yang makin langka dan mahal. Bahkan sekolah telah menjadi sumber feodalisme baru dan tempat terbaik untuk menyombongkan diri. Seperti gula darah, kita membutuhkannya dalam jumlah yang terbatas. Jika melampauinya, kita terkena diabetes yg melumpuhkan tubuh.
Sebelum era persekolahan 200 tahun silam, belajar tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan. Ini hanya ada setelah revolusi industri dimana anak-anak muda dipaksa keluar dari rumah untuk pergi ke suatu tempat yang disebut sekolah dan menghadapi seseorang yg disebut guru. Sebelum itu, generasi muda belajar di rumahnya masing2 atau magang bekerja di masyarakat. Membaca buku dsb dilakukan di waktu senggang. Tradisi kuliah di kampus sudah lama ada sebelum sekolah diadakan. Mensyaratkan lulus SMA untuk kuliah adalah syarat yang mengada-ada.
Kampus tidak boleh dilihat sebagai kelanjutan SMA. Tujuan universitas bukan untuk melengkapi pendidikan yg kurang di SMA. Pendidikan formal di SMA sudah harus selesai menyiapkan warga untuk hidup bertanggungjawab, sehat dan produktif serta siap menikah. Kebutuhan pendidikan tinggi saat ini yg meningkat adalah false demand karena kegagalan SMA, SMK, dan MA menyiapkan lulusan2 untuk siap hidup bermasyarakat.
Belajar sebagai emergent phenomena tidak pernah membutuhkan tetek bengek formalisme sekolah. Ada 4 kegiatan belajar yaitu praktek/pengalaman, berbicara, membaca dan menulis. No more no less. Kurikulum yg ketat tidak dibutuhkan, apalagi kurikulum nasional yg seragam. Jika pembangunan adalah upaya bersama untuk memperluas kemerdekaan, maka pendidikan adalah platform untuk belajar merdeka, bukan sekedar penyiapan tenaga kerja yg cukup trampil menjalankan mesin2, sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bertahun-tahun bagi pemilik modal, apalagi asing.
Dalam belajar yang bermakna, mutu berbasis standard tidak boleh menelantarkan relevansi personal dan spasial. Pendidikan harus mengakrabkan warga belajar pada potensi2 alamiah di sekitar kehidupan mereka sehari-hari, yaitu lingkungan agro-maritim, bukan justru membuat mereka terasing lalu meninggalkan kawasan2 luas agro maritim untuk pergi ke kota2 besar. It takes a village to raise a child. Menyerahkan pendidikan pada sekolah dengan pasrah bongkokan tidak saja keliru, tidak bertanggungjawab, tapi juga tidak akan pernah cukup.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Belajar Ilmu Komunikasi Dari Pak Presiden
Rahasia Petunjuk Allah
Nestapa UUD 1945
Kabinet Baru Terbaharukan
Pilpres AS dan Islamophobia
Melepas Mulyono Menuju Gorong-Gorong
Strategi Mengadili Jokowi (Bagian Pertama)
Membedah Visi Misi Calon Walikota Surabaya, Eri Cahyadi dan Armuji Melawan Kotak Kosong
Gibran Tidak Boleh Jadi Wakil Presiden
Tunjangan Perumahan DPR Yang Wah….
No Responses
You must log in to post a comment.