Mewaspadai Kejatuhan APBN 2025

Mewaspadai Kejatuhan APBN 2025
Salamudin Daeng, Peneliti Senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)



Oleh : Salamuddin Daeng

 

Masalah utama yang akan dihadapi Indonesia dalam tahun tahun mendatang adalah pendapatan yang makin rendah namun pada bagian lain beban pengeluaran yang makin besar. Masalah ini terutama sekali akan dihadapi oleh sektor keuangan Pemerintah, selain juga masalah berat yang dihadapi oleh BUMN dan Masyarakat.

Pemerintah dihadapkan pada penurunan secara terus menerus dalam pendapatan negara. Ketidakmampuan dalam mencari sumber pendapatan negara yang significant dan tetap mengandalkan sumber pendapatan yang tradisional yakni pendapatan dari bagi hasil minyak, komoditas, pajak dari sektor konsumsi, serta pembiayaan utang. Biasanya pemerintah mengharapkan dari minyak, namun faktanya produksi minyak hanya naik 2 ribu-3 ribu barel setahun, atau hanya menghasilkan tambahan pendapatan 1,5 triliun rupiah setahun. Itupun kalau harga minyaknya bagus.

Sementara sektor sektor tersebut semakin tidak significant dalam menopang keuangan pemerintah. Produksi minyak yang stagnan dan cenderung menurun dalam dua dekade, harga komoditas yang cenderung menurun dan konsumsi masyarakat yang semakin seret, sehingga masyarakat dipajaki berapapun tidak menghasilkan pendapatan negara yang berarti dari pajak konsumsi ini.

Perkiraan penurunan pendapatan negara dalam tahun mendang disampaikan oleh Fitch Ratings Singapura. Dikatakan bahwa asupan pendapatan pemerintan Indonesia akan melemah “Kami memperkirakan rasio pendapatan/PDB pemerintah umum turun menjadi 14,6% pada tahun 2024 dari 15,0% pada tahun 2023, terendah dalam kategori ‘BBB’ dan jauh di bawah median 21,3%.”

Walaupun ada usaha Pemerintah telah meningkatkan pendapatan dalam beberapa tahun terakhir, seperti menaikkan tarif PPN sebesar 1% pada tahun 2022, yang seharusnya menghasilkan pendapatan tambahan sebesar 0,3% hingga 0,4% dari PDB per tahun. Peningkatan lain sebesar 1% telah disepakati untuk tahun 2025, tetapi kenyataan yang akan dihadapi adalah penurunan harga komoditas memiliki dampak yang lebih besar terhadap penurunan pendapatan.

Akibatnya Kendala untuk membiayai defisit yang jauh lebih besar dapat digambarkan pula oleh pembiayaan Bank Indonesia (BI) sebesar dua kali dari defisit normal yakni 6,1% pada puncak guncangan pandemi pada tahun 2020 dan diperkirakan defisit akan meningkat menjadi 2,5% dari PDB pada tahun 2024, tetapi ketidakpastian akan menghantui ekonomi sehingga diperkirakan akan terjadi defisit sebesar 2,9% untuk tahun 2025. Ini akan menambah krusial APBN Indonesia. Karena mendapatkan utang untuk menambal defisit tidak lagi mudah.

Usaha pemerintah meningkatkan pendapatan dari hilirisasi sumber daya alam kurang terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik. Mengapa dikatakan demikian? pendapatan dari sektor industri didapatkan dari pembagian hasil ekspor pada harga tingkat harga komoditas tersebut. Ketika hilirisasi dijalankan harga komoditas menurun atau harganya ditetapkan rendah melalui peraturan, sehingga pendapatan negara menjadi rendah. Dalam hal komoditas banyak aturan yang harus dibenahi dan konflik of interest yang harus dikikis dalam praktek pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

Tentu saja hantu yang paling menyeramkan adalah kewajiban yang terkait dengan utang pemerintah dan kewajiban penyelamatan BUMN dan sektor publik lainnya yang akan menimpa APBN dalam 2025. Sebagaimana diketahui bahwa dalam satu dekade terakhir sebagian besar dana publik telah habis ditelan oleh APBN, mulai dari tabungan pensiun, tabungan haji, tabungan masyarakat di bank yang ditempatkan dalam obligasi negara. Mengingat tahun tahun mendatang dana internasional makin seret seiring peningkatan suku bunga The Fed Amerika Serikat yang tinggi dan ini kejadian baru dan sangat mengguncang sejak rezim petro dolar berkuasa 1970-an.

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=