Oportunisme, Nepotisme, dan Etika Bernegara: Mengapa Harus Memilih Anies

Oportunisme, Nepotisme, dan Etika Bernegara: Mengapa Harus Memilih Anies
Radhar Tribaskoro, Anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia



Oleh: Radhar Tribaskoro

 

Pengantar

Pemilu tinggal menghitung hari. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memperhitungkan siapa yang mesti kita pilih atau tidak pilih. Sebagai bagian dari Timses Amin tentu saja saya akan memilih Anies Baswedsan – Muhaimin Iskandar. Namun untuk pertanggungjawaban moral saya akan menjelaskan mengapa saya tidak memilih paslon lain.

Pilihan saya dalam Pilpres 2024 ini berkaitan dengan keputusan yang telah saya bikin bertahun lalu: Jokowi Harus Dihentikan. Keputusan itu saya buat karena menurut saya Jokowi adalah sumber utama polarisasi dan perpecahan bangsa. Di bawah kekuasaan Jokowi Indonesia kehilangan peran kepala negara dan demokrasi merosot ke tingkat Orde Baru. Semua itu terjadi karena Jokowi adalah politikus yang sangat oportunis dan mengabaikan etika bernegara.

Adapun pengabaian etika bernegara menciptakan ketidak-adilan. Disinilah pilihan kepada Anies menjadi imperatif untuk saya. Di antara ketiga paslon hanya Anies yang mengaddress masalah keadilan ini, Anies menunjukkan tekadnya untuk menegakkan keadilan. Pilihan itu semakin kokoh setelah Anies menunjukkan bahwa ia tahu caranya. Tepatnya: Anies tahu tata-cara atau prosedur untuk menghadirkan keadilan dalam keputusan-keputusan yang akan diambilnya.

Bagaimana penjelasannya?

Oportunisme Jokowi

Argumentasi saya dimulai dari pemahaman saya atas karakter Presiden Joko Widodo. Menurut hemat saya, Jokowi adalah representasi sempurna dari politikus yang sangat oportunistik. Oleh karena itu, ia tidak boleh berlanjut, secara personal maupun ide.
Seorang pemimpin oportunis, kata Machiavelli (1532) dan Greene (2000), dapat dilihat dari tindakan dan perilaku yang mengutamakan kepentingan pribadi atau keluarganya daripada kepentingan publik atau prinsip ideologis. Michael Walzer (1973) menambahkan, politikus oportunis tidak bisa dipegang kata-katanya. Mereka mudah sekali mengubah sikap dan posisi politik tergantung pada apa yang paling menguntungkan bagi mereka pada saat itu. Bagi seorang politikus oportunis prinsip boleh dikorbankan demi kekuasaan.

Lain dari itu, pemimpin oportunis menggunakan propaganda dan manipulasi informasi untuk membangun citra positif atau merusak reputasi lawan, tanpa mempertimbangkan kebenaran atau integritas informasi (Muller 2016). Ketika terpojok politikus oportunis melarikan diri dari tanggung-jawab, seringkali dengan menyalahkan pihak lain atau kondisi eksternal (Greene 2000).
Semua ciri yang disebutkan di atas menjelaskan mengapa Jokowi suka berbohong dan penuh tipu daya. Jokowi membuat UU Cipta Kerja dan IKN yang sama sekali tidak pernah dibahas dalam visi-misi pilpres, mengerdilkan KPK, membentuk buzzer, mempraktikkan nepotisme dengan menjadikan anak dan menantunya sebagai walikota dan ketua partai, dan pada puncaknya melakukan apapun agar putra sulungnya menjadi calon wakil presiden.

Ketika nepotisme dan semua perilaku tidak terpuji dapat dilakukan oleh pimpinan tertinggi negara, tidak ada lagi batas sampai dimana bangsa ini bisa dibawa lebih terpuruk lagi. Tidak ada halangan moral lagi bagi para kepala daerah untuk menjadikan keluarganya menduduki jabatan-jabatan tinggi di daerah mereka. Para menteri akan mengangkat keluarga dan kerabatnya menduduki jabatan tinggi di kementerian. Nepotisme akan merajalela, meritokrasi hanya tinggal mimpi.

Pengabaian Etika Bernegara dan Ketidak-adilan

Pemimpin oportunis cenderung tidak menghargai etika karena tindakan mereka didorong oleh kepentingan pribadi atau keuntungan politik, tanpa memperhatikan konsekuensi moral dari tindakan mereka (Sandel 2011). Lebih jauh pemimpin oportunis dianggap tidak memenuhi standar etika karena mereka cenderung melanggar prinsip-prinsip moral yang mendasari keputusan dan tindakan mereka. Mereka lebih fokus pada keuntungan pribadi atau kekuasaan daripada pada keadilan atau kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Pengabaian presiden atas etika bernegara menimbulkan dampak yang luas. Namun kalau mau diringkaskan dampak utama dari ketiadaan etika adalah meruyaknya ketidak-adilan. Dalam bukunya Political Action: The Problem of Dirty Hands, Michael Walzer mengatakan bahwa ketika para pemimpin mengabaikan pertimbangan etika dalam tindakan politik mereka, hal ini dapat mengarah pada keputusan yang tidak adil atau merugikan bagi sebagian besar masyarakat, meskipun secara hukum tindakan tersebut mungkin sah. Ketidakadilan terjadi karena keputusan yang diambil tidak mempertimbangkan nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi pedoman dalam memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat.

Oleh karena itu, penting bagi para pemimpin politik untuk mempertimbangkan aspek etika dalam setiap keputusan yang mereka ambil, untuk memastikan bahwa tindakan mereka tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan sesuai dengan nilai-nilai moral yang dipegang oleh masyarakat.

Hilangnya Peran Kepala Negara

Tergerusnya etika bernegara dalam pemerintahan Jokowi memiliki dampak yang sangat signifikan, yaitu menghilangnya peran kepala negara. Seperti diketahui sistem demokrasi menciptakan check and balance di pucuk kekuasaan dengan memisahkan peran kepala negara dengan kepala pemerintahan. Kepala negara bekerja di tataran etis. Ia adalah simbol negara, mewakili negara dalam hubungan internasional. Kepala negara adalah figur yang dihormati dan mewakili kesatuan nasional. Sementara itu, kepala pemerintahan bekerja di tataran politik. Kepala pemerintahan mengelola pemerintahan sehari-hari dan kebijakan negara. Ia memiliki kekuasaan eksekutif dan bertanggung jawab atas pengambilan keputusan terkait kebijakan publik dan administrasi negara.

Maka ketika Presiden Jokowi mengabaikan etika, ia secara sadar menyingkirkan kewajibannya sebagai kepala negara. Pernyataan Presiden Jokowi untuk cawe-cawe, memihak dan berkampanye bagi capres pilihannya menegaskan bahwa Presiden memang meletakkan diri semata sebagai pemimpin politik yang partisan. Padahal sebagai kepala negara Presiden semestinya netral. Kalau Presiden memiliki preferensi, sebaiknya ia menyimpannya di dalam hati. Bukan mengumbarnya ke publik untuk mempengaruhi preferensi semua orang.

Ketidak-netralan Kepala Negara ini sangat meresahkan. Peran kepala negara sebagai pemersatu bangsa dengan sendirinya lenyap. Ketika Presiden tinggal semata pemimpin politik yang partisan, maka Presiden dipastikan akan selalu berada di pusat konflik politik. Di setiap krisis politik, Presiden akan selalu menjadi bagian dari masalah, bukan solusinya. Tanpa keberadaan kepala negara, polarisasi politik akan langsung ditranslasikan menjadi polarisasi sosial. Stabilitas politik akan terguncang, sementara tiang-tiang yang menyokong kesatuan negara akan retak. Tanpa keberadaan kepala negara yang menyatukan, polarisasi akan meluas dan mendalam, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

Tata Cara Keadilan

Telah dijelaskan bahwa seorang presiden yang oportunistik akan mengabaikan etika. Pengabaian itu menyebabkan ketidak-adilan meruyak dan merusak peran kepala negara sebagai simbol persatuan. Pemilu presiden 2024 memperlihatkan puncak dari kerusakan yang diciptakan oleh oportunisme Presiden Jokowi. Nepotisme tidak bisa lebih besar lagi ketika Presiden merekayasa putranya menjadi calon wakil presiden, dan Presiden menggunakan apapun alasan untuk cawe-cawe bahkan berkampanye untuk capres yang didukungnya.

Di puncak oportunisme dan dan nepotisme ini hanya Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang memiliki analisis mendalam dan agenda untuk mengubahnya.

Anies benar-benar telah menyiapkan diri untuk perubahan. Ia bahkan telah memiliki dan menguji suatu tata-cara dengan apa keadilan dipastikan hadir dalam keputusan-keputusannya sebagai eksekutif. Tata-cara itu menyangkut dua aspek. Pertama, Anies akan menggunakan pendekatan kolaboratif. Pendekatan ini mengedepankan inklusivitas dan transparansi. Tidak ada satu pun pihak terdampak yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Prosesnya mungkin lama, kata Anies, tetapi hasilnya akan kuat dan bertahan lama.

Kedua, Anies meletakkan Empat Prinsip Pengambilan Keputusan untuk memandu kebijakan-kebijakan yang akan ia buat. Keempat prinsip itu adalah (1) kesetaraan dan keadilan, (2) kepentingan publik, (3) data, ilmu, objektivitas dan akal sehat, (4) aturan, regulasi, konvensi dan undang-undang.

Urutan di sini penting. Jadi pertimbangan paling duluan sebelum suatu kebijakan dirumuskan adalah apakah kebijakan itu adil dan mempromosikan kesetaraan. Hanya bila ketentuan ini dipenuhi maka perumusan kebijakan dilanjutkan. Setelah itu Anies akan melihat seberapa jauh kepentingan publik difasilitasi oleh kebijakan itu. Semakin besar kadar kepentingan publik semakin antusias Anies memperjuangkannya. Kemudian, kebijakan itu harus diuji oleh data dan ilmu yang dipandu oleh akal sehat dan objektivitas. Kebijakan bukan soal selera pemimpin. Baru kemudian pada langkah terakhir suatu kebijakan diuji kesesuaiannya dengan peraturan yang ada.

Dengan keempat langkah itu keadilan dan kepentingan publik selalu terkandung dalam setiap kebijakan. Politik oportunis di sini akan kehilangan tempat. Etika bernegara dipulihkan dan peran kepala negara kembali ditegakkan. Demokrasi akan kembali menemukan takdirnya, sebagaimana telah digariskan oleh para Bapak Bangsa.

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=