Oleh: Muhammad Chirzin
Pada 31 Oktober 2024 penulis mengunggah tulisan bertajuk “Dilema Pilkada.” Pilkada adalah ritual lima tahunan Pemilihan Kepala Daerah.
Dahulu, berdasarkan UUD 1945, Presiden dipilih oleh MPR, dan Gubernur dan Bupati/Walikota dipilih oleh DPR Daerah sebagai wakil-wakil rakyat. Mekanisme pemilihan demikian itu sejalan dengan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Euforia reformasi 1998 antara lain menuntut perubahan konstitusi UUD 1945, khususnya tentang masa jabatan Presiden, untuk dibatasi menjadi dua periode saja.
Amandemen UUD 1945 telah mengubah segalanya. MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi Negara yang berhak memilih dan memberhentikan Presiden. Presiden bukan mandataris MPR, dan tidak bertanggung jawab kepada MPR.
Kedudukan MPR menjadi setara dengan lembaga tinggi negara lainnya. Presiden menjadi lembaga yang super-kuasa, tanpa kontrol yang cukup berarti dari lembaga legislatif maupun yudikatif, bahkan menguasai keduanya, dan bisa cawe-cawe pula dalam perhelatan pilpres dan pilkada.
Dalam Pilkada Jogja, dua pasang Calon Walikota berasal dari komunitas yang sama, dan satu pasang lagi dari komunitas yang berbeda.
Suka atau tidak suka, kedua paslon dari basis pemilih yang sama berjuang habis-habisan untuk meraup suara dari komunitasnya.
Salah seorang kolega mensimulasikan perbandingan komunitas pemilih di Pilkada Jogja, bahwa 60:2 tidak lebih banyak daripada 40:1.
Penulis mengingatkan, bahwa ketika komunitas pertama terlanjur memunculkan dua paslon Walikota, satu-satunya jalan untuk memenangkan pilkada adalah melakukan kompromi antara keduanya.
Ide itu terkendala oleh labelisasi kader utama dan kader biasa. Kader utama mendapat dukungan resmi, bahkan dari Pimpinan Pusat Persyarikatan, sedangkan warga persyarikatan lainnya mengidentifikasi diri dan berpihak pada kader biasa.
Untuk memperkuat dukungan kepada kader utama, personil pimpinan persyarikatan membangun argumen, bahwa dalam hal politik, posisi persyarikatan bukan netral, tetapi independen. Persyarikatan bebas menentukan sikap, untuk mendukung siapa atau tidak mendukung siapa-siapa.
Merespons hal tersebut penulis sempat membuat pernyataan di salah satu grup WA, “Jogja memang di-istimewa-kan.”
Mesin politik persyarikatan terbukti efektif memenangkan kader utama atas kader biasa, tetapi takluk pada paslon yang lainnya.
Gajah bertarung dengan gajah, pelanduk menjadi pamenangnya. Nasi telah menjadi bubur.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Kita Harus Faham DNA Media Barat
Bukti Gamblang, Kebenaran Takdir Allah
Keikhlasan Kunci Keberhasilan
Akurasi Membaca Kemunculan Pratanda Pilbup Kulon Progo
Para Pejabat Negara Perlu Belajar Ilmu Komunikasi
BUMN Indonesia menyedihkan, Bagaimana Mau Setara Temasek
Membantah Penilaian The Economist: Presiden Prabowo dan Kabinetnya Memiliki Visi Kuat
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (Bagian 2): “Profesor Kancil”, “Don Dasco”, dan “Mr. Dasco”
Pemberian Bantuan Negara Tidak Boleh Riya’
Negara Swasta: Transformasi Negara Menjadi Korporasi Oligarki
No Responses