Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (Bagian 3)

Peran Penting Sejarah Dalam Menyusun UUD 1945 Yang Disahkan Pada 18 Agustus 1945 (Bagian 3)
Batara R Hutagalung



Catatan Batara R. Hutagalung
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS)

 

SEJARAH PENYUSUNAN UUD ’45 ASLI

Sebagaimana telah disampaikan di atas, bahwa mereka yang melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, seharusnya mengetahui latar belakang penyusunan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, yaitu sejarah penjajahan di Nusantara sampai tahun 1945, dan sejarah indonesia, baik di masa perang mempertahankan kemerdekaan melawan agresi militer Belanda dan sekutu serta kaki-tangannya antara tahun 1945 – 1949, maupun sejarah Indonesia dari tahun 1949 sampai dimulainya pembahasan perubahan UUD pada tahun 1999.

Untuk memenuhi janji akan memberikan kemerdekaan kepada penduduk di wilayah bekas jajahan Belanda, pada 29 April 1945 pemerintah militer Jepang, dalam hal ini pimpinan Tentara XVI Angkatan Darat Jepang di Pulau Jawa membentuk yang dinamakan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan – BPUPK (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). awalnya beranggotakan 60 orang dan 7 orang pengamat dari militer Jepang. Kemudian keanggotaan dari pihak pribumi ditambah 6 orang menjadi 66 orang. Pada waktu itu belum dicantumkan nama INDONESIA, jadi bukan BPUPKI. Melainkan hanya BPUPK.Para anggota BPUPK dilantik pada 28 Mei 1945.

Pemerintah militer Jepang masih ikut menyusun keanggotaan BPUPK, di mana di dalam jumlah 60 orang tersebut dimasukkan juga 4 orang yang mewakili bangsa Cina, satu orang mewakili bangsa Arab, yaitu Abdurrahman Baswedan. Wakil keturunan Indo-Eropa/Belanda adalah Pieter Frederik Dahler. Wakil-wakil bangsa Cina dipilih yang pro Jepang, yaitu Oey Tjong Hauw, pendiri organisasi bangsa Cina Chung Hua Hui. Di jaman Jepang, dia menjadi anggota Badan Penasihat Jepang, mewakili bangsa Cina di Jawa Tengah. Oey Tjong Hauw adalah putra dari Oey Tiong Ham, konglomerat terkaya di Asia Tenggara di awal abad 20. Oey Tiong Ham mulai membangun imperium bisnisnya dengan perdagangan candu (opium) yang pada waktu itu sangat menguntungkan. Kemudian ada Oey Tiang Tjoei, yang di zaman Jepang menjadi anggota Badan Penasihat mewakili bangsa Cina di Jawa Barat. Selain itu ada Tan Eng Hoa dan Liem Koen Hian.

Dalam BPUPK para anggota dari pribumi terdiri dari golongan nasionalis dan golongan agama (Islam). Tidak ada seorangpun dari golongan kiri, yaitu sosialis atau komunis. Satu orang wakil bangsa Cina, Liem Koen Hian ternyata adalah agen Cina komunis RRC. Namun selama persidangan dia berhasil menutup identitasnya. Keterangan lebih lanjut mengenai Liem Koen Hian ada di bawah ini.

Di Sumatera, pada 25 Juli 1945 pemerintah militer di bawah Tentara XV Jepang juga membentuk BPUPK. Ketuanya adalah Mohammad Sjafei. Namun tidak terdengar kelanjutannya. BPUPK di Pulau Jawa mulai bersidang pada 29 Mei 1945. Sampai tanggal 1 Juni, dibahas mengenai dasar dari negara yang akan didirikan.

Sejarah PRIBUMI[6] di Nusantara di masa penjajahan, yaitu sejarah leluhur Bangsa Indonesia, menjadi salah-satu landasan penting untuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) dalam menyusun Undang-Undang Dasar RI, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah pernyataan kemerdekaan Indonesia.

Demikian juga perjuangan para pemuda pribumi di wilayah jajahan Belanda untuk membentuk BANGSA INDONESIA dan mendirikan satu NEGARA BANGSA (Nation State) sejak awal abad 20, sangat memengaruhi penyusunan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Bekas wilayah Nederlands Indie (India Belanda), yaitu wilayah bekas jajahan Belanda, masih diduduki oleh tentara Jepang, dengan pemerintah yang dipimpin oleh militer Jepang. Penyusunan draf Undang-Undang Dasar yang akan menjadi UUD negara Indonesia disusun mulai tanggal 29 Mei 1945, masih dalam situasi Perang Dunia II/Perang Pasifik. Di Eropa, Jerman sudah menyerah tanpa syarat pada 8 Mei 1945. Di Asia-Pasifik Jepang masih mengadakan perlawanan terhadap tentara Sekutu sampai tanggal 15 Agustus 1945..

Tujuan para pendiri negara dan bangsa mendirikan suatu Negara Bangsa (Nation State) Indonesia sebagaimana ditulis dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar, dituangkan dalam Pokok-pokok Pikiran di dalam penjelasan tersebut, yaitu:

1. “Negara” –begitu bunyinya– yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara persatuan, Negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya. Jadi Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan. Negara, menurut pengertian “pembukaan” itu menghendaki persatuan, meliputi segenap bangsa Indonesia seluruhnya. Inilah suatu dasar Negara yang tidak boleh dilupakan.

2. Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

3. Pokok yang ketiga yang terkandung dalam “pembukaan” ialah negara yang berkedaulatan Rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.

4.Pokok pikiran yang keempat, yang terkandung dalam pembukaan ialah negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu Undang-undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan Pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur …”

Demikian kutipan dari Penjelasan UUD ’45 ASLI. Penjelasan tersebut di atas adalah penjabaran Pancasila untuk menerangkan tujuan mendirikan Negara. Pancasila dimasukkan dalam Pembukaan UUD ’45.

Merujuk pada Butir 3 Penjelasan UUD ’45 di atas , yaitu “Oleh karena itu sistim negara yang terbentuk dalam Undang-undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan Rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia,” maka pemilihan presiden dan Kepala Daerah secara langsung telah bertentangan dengan UUD ’45 ASLI.

Pada UUD ’45 ASLI, MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara, menjadi hanya Lembaga Tinggi di UUD 2002, di mana kewenangannya yang mendasar dipangkas, yaitu Pasal 1 Ayat 2: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Di UUD 2002 Pasal 1 Ayat 2 diubah menjadi:”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Tidak ada satupun Pasal dan Ayat du UUD 2002 yang menjelaskan mengenai pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pasal 3, yaitu “Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN’). GBHN dihapus dan tidak ada di UUD 2002. Yang ketiga adalah Pasal 6 ayat 2, yaitu “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.” Pasal 3 Ayat 2 diubah menjadi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Peraturan perundang-undangan dari zaman penjajahan juga menjadi pertimbangan dalam menetapkan batasan mengenai siapa yang dimaksud dengan ORANG-ORANG BANGSA INDONESIA ASLI dan siapa orang-orang bangsa lain yang DAPAT menjadi warga negara Indonesia. Hal ini merupakan sikap para pendiri Negara dan Bangsa Indonesia terhadap peraturan negara (Staatsregeling) pemerintah kolonial yang sangat diskriminatif bahkan rasialis terhadap pribumi, yang adalah pemilik negeri ini.

Hal ini tertera dalam buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara. Ditulis:[7]

“…Sesuai dengan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang masih berlaku pada saat itu, pembahasan masalah warganegara dilakukan bedasar GOLONGAN RAS DAN ETNIK PENDUDUK. Penduduk golongan Bumiputra dengan sendirinya menjadi warganegara. Penduduk golongan Timur Asing keturunan Arab – yang diwakili oleh A.R. Baswedan meminta dengan tegas agar mereka dinyatakan sebagai warganegara, dengan alasan demikianlah ajaran Islam serta tradisi Arab. Penduduk golongan Timur Asing keturunan Tionghoa terbagi, antara mereka yang berkehendak dinyatakan sebagai warganegara – diwakili oleh Liem Koen Hian- dan mereka yang tidak ingin menjadi warganegara, diwakili oleh Oey Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoey dan Tan Eng Hoa. Sedangkan penduduk keturunan Eropa – yang diwakili PF Dahler- meminta agar dinyatakan menjadi warganegara Indonesia.” [8]

Catatan: Belakangan terungkap, bahwa ternyata Liem Koen Hian seorang komunis. Tahun 1951 Liem Koen Hian ditangkap sebagai agen Cina komunis RRC. Hingga meninggal, dia tidak mau menjadi warganegara Republik Indonesia dan menjadi warga negara RRC.[9]

Apabila tidak mengetahui sejarah penjajahan, perbudakan, yaitu pribumi diperjual-belikan sebagai budak di negeri sendiri, diskriminasi terhadap pribumi, yaitu pribumi menjadi warga kelas tiga, maka tidak akan mengetahui maksud kalimat:
“…Sesuai dengan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang masih berlaku pada saat itu, pembahasan masalah warganegara dilakukan bedasar GOLONGAN RAS DAN ETNIK PENDUDUK …”

Pertimbangan yang berlatar belakang sejarah penjajahan, perbudakan dan diskriminasi terhadap pribumi di masa penajahan menjadi dasar untuk merumuskan dan menetapkan Pasal 6 ayat 1, yaitu: “Presiden ialah ORANG INDONESIA ASLI.” Dan Pasal 26 ayat 1 mengenai warga negara, yaitu: “Yang menjadi warga negara ialah ORANG-ORANG BANGSA INDONESIA ASLI dan ORANG-ORANG BANGSA LAIN yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.”

Dalam Penjelasan UUD ’45 ASLI mengenai Pasal 26 ayat 1 ditulis: “ORANG-ORANG BANGSA LAIN, MISALNYA PERANAKAN BELANDA, PERANAKAN TIONGHOA DAN PERANAKAN ARAB yang bekedudukan di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada negara Republik Indonesia DAPAT menjadi warga negara.”

Demikian penjelasan dalam UUD ’45 ASLI. Dengan demikian jelas adanya, bahwa para pendatang DAPAT menjadi warga negara, namun mereka bukan ORANG INDONESIA ASLI.

Mengenai definisi pendudk asli/pribumi (Indigeneous people), dapat dipakai konvensi PBB mengenai pribumi, yaitu ‘masyarakat yang telah bermukim di suatu wilayah sebelum kolonialisme.’ Mengenai batasannya dapat berpatokan pada Resolusi organisasi-organisasi pemuda pribumi yang dcetuskan dalam Kongres Pemuda Indonesia II tanggal 28 Oktober 1928, yaitu akan mengaku SATU NUSA, SATU BANGSA dan menjunjung tinggi BAHASA PERSATUAN, INDONESIA.

Masalah kewarganegaraan keturunan Arab dan keturunan Indo-Eropa selesai disusun dalam draf UUD yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Namun masalah kewarga negaraan bangsa Cina yang ada di Indonesia tidak selesai sampai disahkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.

Kewarga-negaraan bangsa Cina yang ada di Republik Indonesia tidak jelas, bahkan semakin mengambang dengan datangnya bangsa Belanda ke Republik Indonesia setelah Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Belanda menganggap bahwa wilayah bekas jajahannya masih milik Belanda, sehingga semua penduduknya dianggap sebagai warga negara Nederlands Indie, termasuk bangsa Cina. Pada waktu itu, sebagian terbesar bangsa Cina lebih memilih berpihak kepada Belanda, dan bahkan dibentuk pasukan milisi bangsa Cina, Po (Pao) An Tui, yang ikut berperang di pihak Belanda selama masa agresi militer Belanda di Republik Indonesia 1945 – 1949.

Masalah bangsa Cina di Republik Indonesia berlarut terus sampai tahun 1950-an. Untuk menyelesaikan masalah kewarganegaraan bangsa Cina yang tinggal di Indonesia, baru dibahas di sela-sela Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung bulan April 1955. Dicapai kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah RRC yang diwakili oleh Perdana Menteri Chou Enlai. Disepakati bahwa bangsa Cina yang ada di Republik Indonesia diberi waktu sampai bulan Januari 1960 untuk memilih, apakah akan memilih menjadi warganegara Indonesia atau memilih menjadi warganegara RRC.

Sampai bulan November tahun 1959, sebagian besar bangsa Cina di Indonesia tetap tidak ingin menjadi warga negara Indonesia, Atas desakan berbagai kalangan pribumi yang menginkan adanya keputusan yang tegas, maka Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 10 bulan November tahun 1959 tentang larangan bagi orang asing untuk berdagang di luar Ibukota Kabupaten (dahulu Karesidenan). Akibatnya, sekitar 200.000 bangsa Cina memilih kembali ke RRC, dan sisanya mengajukan permohonan untuk menjadi warganegara Indonesia. Dengan demikian, mereka yang telah menjadi wargenagara Republik Indonesia, dapat berdagang sampai ke pelosok-pelosok desa di Indonesia.

BERSAMBUNG

BACA JUGA:

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=