Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@PTDI Jawa Timur
Ummat Islam adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Kesultanan2 Nusantara sejak dari Aceh, Riau, Banten, Demak, Makasar, hingga Ternate sebelum kedatangan penjajah adalah kesultanan2 Islam sebagai penerus Sriwijaya dan Majapahit. Laksamana Malahayati, Ratu Kalinyamat, hingga Cut Nyak Dien adalan tokoh2 perempuan muslimah yang mengobarkan semangat melawan penjajahan. Islamlah yang memungkinkan kelahiran sebuah bangsa baru yg lebih egaliter dan kosmopolit, yaitu bangsa Indonesia, karena melampaui sukuisme, dan feodalisme. Di hadapan Allah Tuhan YME semua manusia, apapun asal usul sukunya adalah sama di hadapanNya. Yang termulia di antara manusia adalah yang paling bertaqwa. Di sini penting dicermati, bahwa China hingga hari ini gagal melepaskan diri sebagai tribal-state karena perlakuan diskrimasi rasialnya terhadap suku Uyghur di Xinjiang. AS sekalipun masih mengidap white-supremacy yg rasialis.
UUD 1945 yang dirumuskan dan disepakati oleh para pendiri bangsa dari berbagai latar belakang, kecuali kaum komunis yg menganggap agama sebagai candu, adalah sebuah pernyataan perang melawan penjajajahan. Setelah beberapa kali upaya perubahan konstitusi sejak KMB 1949 di Belanda, UUD RIS, lalu UUD Sementara, hingga kebuntuan Konstituante untuk menyepakati UUD baru, Presiden Soekarno memgambil terobosan hukum melalui Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Sejarah kemudian mencatat bahwa UUD 1945 ditafsirkan oleh Soekarno menjadi Nasakom. Ini terbukti menjadi blunder paling besar Soekarno, sebagian karena kaum komunis tidak pernah menjadi bagian bangsa Indonesia yang menyepakati UUD 1945 di mana negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Rangkaian pengkhianatan terhadap bangsa Indonesia sudah dilakukan PKI sejak 1926, 1948 sampai 1965 dalam G30S/PKI. Kaum komunisme tidak pernah menjadi bagian dari Bhinneka Tunggal Ika bangsa ini.
Soeharto kemudian menafsirkan UUD 1945 secara kapitalistik karena harus melayani kepentingan AS segera setelah Soekarno jatuh. Penanaman Modal Asing sebagai instrumen neokolonialisme menjadi ciri pokok Orde Baru. Hampir semua kebijakan pembangunan dirumuskan oleh para teknokrat alumni AS dan Eropa Barat, termasuk persekolahan massal sebagai instrumen untuk menyiapkan buruh yg cukup trampil menjalankan mesin2 pabrik sekaligus cukup dungu dan buta-politik untuk setia bekerja bagi kepentingan pemilik modal, terutama asing. Orde Baru kemudian melahirkan sebuab elite baru yang bisa disebut sebagai ersatz capitalist yaitu para konglomerat yg besar karena fasilitasi penguasa Orde Baru yg didukung tentara.
Pada saat Republik ini nyaris bangkit menjadi macan Asia sebagai negara industri, dan Soeharto makin dekat dengan kelompok Islam, Orde Baru dijatuhkan melalui krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik pada 1998. Di permukaan, yang tampil adalah kaum reformis, padahal yang bekerja adalah kelompok2 sekuler radikal yang tidak menghendaki Indonesia menjadi negara maju yang dipimpin oleh elite muslim di sekitar Soeharto dan BJ Habibie, dan kaum komunis baru yang masih memendam dendam kesumat pada Soeharto.
Dengan dukungan logistik dari NGO AS, kaum reformis yang sedang mabuk reformasi telah mengubah UUD 1945 menjadi UUD 2002 melalui serangkaian perubahan yg mereka sebut dengan congkak sebagai amandemen. Mereka ini mendaku bahwa UUD 2002 merupakan kemenangan civil society atas otoriterianisme Orde Baru yang didukung tentara. Bahkan Pilres langsung dipuja sebagai kemenangan paling ikonik gerakan reformasi itu. Kini kita tahu, bahwa UUD 2002 hanya melahirkam demokrasi mbelgedhes.
Namun sejarah Indonesia di awal abad 21 justru menunjukkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sekedar ersatz capitalism, 10 tahun terakhir di era Jokowi, kita mencatat full fledged capitalism sebagai ciri terpenting Jokowisme yg tumbuh pesat yg dimungkinkan oleh UUD 2002. Kaum reformis die hard Jokower seperti Gunawan Muhammad, Ikrar Nusabakti, Todung Mulya Lubis, Ahmad Sobari hingga Butet Kartarajasa kini menjadi pengkritik Jokowi yang paling keras.
Sejak agama dinyatakan sebagai musuh terbesar Pancasila oleh Ketua BPIP, Islam terus dipojokkan sebagai elemen pemecah belah bangsa, anti-NKRI, anti-kebhinnekaan, bahkan anti-Pancasila. Ini jelas daur ulang narasi nasakomik untuk menjauhkan Islam dari politik, sehingga kaum sekuler radikal kiri maupun liberal bisa jag-jagan di jagad politik Republik ini. Opu Mulyadi dari FISIP UI jelas menggambarkan betapa jagad politik nasional selama 10 tahun terakhir ini diawaki oleh para bandit, badut dan bandar politik yg sesekali berperan sebagai gendam, glembuk dan copet politik.
Ummat Islam tidak bisa membiarkan pembusukan politik ini secara berlarut-larut yg bisa menjerumuskan Republik ini ke jurang kehancuran sebagai negara gagal. Ummat Islam harus mengambil tanggungjawab sejarah untuk mengembalikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara Republik ini ke fitrah cita Proklamasi Kemerdekaan, yaitu UUD 1945 sebagaimana didekritkan oleh Soekarno pada 1959. Adaptasi untuk menghadapi perubahaan lingkungan stratejik dapat dilakukan dengan menambahkan pasal2 penjelas, pembatas dan pelengkap dalam addendum, bukan dengan mengubah kerangka dasar UUD 1945.
Partisipasi aktif ummat Islam di era kepresidenan Prabowo ini makin penting karena tantangan ini justru sedang terjadi di periode bonus demografi untuk memastikannya menjadi berkah demografi bagi bangsa Indonesia. Ummat Islam akan menjadi faktor perekat ASEAN agar bisa lebih sinerjik sebagai kekuatan regional baru di tengah dunia yang multi-polar. Ummat Islam Indonesia harus lebih percaya diri, lebih artikulatif, dan kontributif bersama elemen2 bangsa lainnya, tidak sekedar menjadi penonton di pinggiran, playing victim, atau malah menjadi kerikil di sepatu Prabowo.
Waru, Sidoarjo. 3 Nopember 2024
EDITOR: REYNA
Related Posts
Kita Harus Faham DNA Media Barat
Bukti Gamblang, Kebenaran Takdir Allah
Keikhlasan Kunci Keberhasilan
Akurasi Membaca Kemunculan Pratanda Pilbup Kulon Progo
Para Pejabat Negara Perlu Belajar Ilmu Komunikasi
BUMN Indonesia menyedihkan, Bagaimana Mau Setara Temasek
Membantah Penilaian The Economist: Presiden Prabowo dan Kabinetnya Memiliki Visi Kuat
Sufmi Dasco, Senopati Politik Prabowo Subianto (Bagian 2): “Profesor Kancil”, “Don Dasco”, dan “Mr. Dasco”
Pemberian Bantuan Negara Tidak Boleh Riya’
Negara Swasta: Transformasi Negara Menjadi Korporasi Oligarki
No Responses