Yudhie Haryono: Natsir Dan Defisit Negarawan Sederhana

Yudhie Haryono: Natsir Dan Defisit Negarawan Sederhana
Yudhie Haryono



Oleh: Yudhie Haryono
Presidium Forum Negarawan

 

Sungguh, dari penderitaan yang dalam akan lahir jiwa-jiwa yang kuat dan agung. Jiwa merdeka yang akan memerdekakan diri dan bangsanya. Begitulah hipotesa Natsir, pahlawan nasional sekaligus perdana menteri ke-5 Republik Indonesia.

Natsir memang crank (menyempal): sangat sederhana, cerdas, jujur dan fokus. Ia mewakafkan dirinya untuk republik belia dengan tekad baja, “untuk mencapai sesuatu, harus diperjuangkan dulu. Seperti mengambil buah kelapa, dan tidak menunggu saja seperti jatuh durian yang telah masak,” begitulah fatwanya yang diulang-ulang dalam khotbah pada para pengikut dan kaum muslim yang terus menunggu petuah-petuahnya.

Pada tahun 1950, sejarah mencatat Natsir mengumumkan Mosi Integral Natsir yang berhasil menyatukan kembali Republik Indonesia menjadi negara kesatuan, yang sebelumnya sempat berbentuk federal. Inilah jasa terbesarnya: menyatukan yang berserak, menghancurkan politik adu domba dan pecah belah penjajah, menguatkan negara kesatuan (NKRI).

Mohammad Natsir lahir dan besar di Solok, Sumatra Barat. Lalu pindah ke Bandung untuk sekolah SMA dan kemudian mempelajari ilmu lainnya: Islam dan negara secara luas di kota yang sama. Ia terjun ke dunia politik tahun 1930-an, lalu bergabung di partai Masyumi.

Ia menulis 45 buku dan ratusan artikel yang memuat pandangan dan pikiran-pikirannya tentang agama, negara, revolusi dan pendidikan. Karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929, selanjutnya tulisan umumnya berbahasa Belanda, Indonesia dan Inggris. Karyanya menjadi catatan sejarah dan panduan bagi umat Islam. Selain menulis, berpolitik dan berdakwah, Natsir juga mendirikan sekolah Pendidikan Islam pada tahun 1930 serta membuat organisasi dakwah.

Jika dirunut dengan seksama, pilihan dan tesis-pemikiran Natsir itu betali temali dari ide pemikiran keindonesiaan, keislaman, kepartaian, kepemerintahan, kependidikan dan demokrasi. Terutama soal demokrasi, Natsir punya tesis menarik. Hal tersebut bisa dilacak dalam pidatonya di Majlis Konstituante saat mengkritik sistem sekuler dan sistem teokrasi (khilafah).

”Teokrasi adalah satu sistem kenegaraan di mana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia.

Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu. Jadi negara yang berdasarkan Islam bukanlah satu teokrasi. Tetapi, negara demokrasi. Juga bukan sekuler yang saya uraikan lebih dahulu. Ia adalah negara demokrasi Islam dan kalaulah saudara Ketua hendak memberi nama yang umum juga, maka barangkali negara yang berdasarkan Islam itu dapat disebut “theistic democracy” (see, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, 2001).

Tentu saja, dalam theistic democracy, hukumnya ada tiga: bertuhan (periketuhanan), bermanusia (perikemanusiaan), berlingkungan (perisemesta). Ketiganya resiprokal dan bergotongroyong mencipta Indonesia yang adil, sentosa dan bermartabat. Ketiganya tercermin di negara dan lembaganya; di pemerintahan dan kementriannya; di masyarakat dan tradisinya. Logika perjalanannya adalah benar salah. Menjalankan kebenaran, meninggalkan kesalahan.

Ini tentu saja antitesa demokrasi liberal yang mempraktekkan paradigma menang-kalah. Tidak ada urusan moral, prestasi, umur, kejujuran, rekording, mental, karakter dll. Dominasi dan praktik demokrasi liberal ini menghancurkan bangunan negara pancasila sehingga titik tumpunya (pancasila): punah. Titik kumpulnya (konstitusi): roboh. Titik tujunya (GBHN): rabun. Titik bahagianya (pembukaan konstitusi): dilupakan.

Episode lanjutannya lebih tragis. Kini telah tumbuh subur di atas bumi demokrasi liberal jadi kriminal satu bentuk madzab baru yang kita sebut sebagai “sariminisme” di mana polanya menyembah pada kekuasaan bagai candu; membangun sekutu dengan genk kuat; mengejar ke seluruh penjuru dengan jagoan satria yang tak punya prestasi untuk minum kursi. Menang kalah adalah metoda bin petanya. Sehingga, menang walau salah akan “jadi” benar dan dominan. Begitupula sebaliknya.

Bagaimana mengatasinya? Minimal ada tiga tahap solusinya: 1)Hidupkan kembali mentalitas Natsirisme: kesederhanaan dan kebersahajaan; 2)Jadikan agama, negara dan demokrasi sebagai alat pemanusiaan dan keadilan; 3)Praktekkan pancasila.

Ketiga tahap itu setidaknya dikerjakan oleh lima kelompok yang bekerjasama: 1)Mereka yang crank dan menyempal dari keumuman; 2)Mereka yang sadar atas dampak buruk dari praktek UUD2002; 3)Mereka yang memahami maksud dan tujuan didirikannya Republik Indonesia, terutama Pancasila dan Pembukaan UUD45; 4)Mereka yang menyelami pikiran dan gagasan para pendiri republik—BPUPKI dan PPKI; 5)Mereka yang tak ingin melihat Indonesia mengkhianati warisan pikiran dan konstitusinya sekaligus tak ingin mewariskan ke generasi berikutnya sebuah negara dan pemerintahan yang mengkhianati para pendirinya.

Ini pekerjaan raksasa. Tentu saja. Tapi, percayalah bahwa sebagian hidup itu seindah bunga mawar dan seharum bunga melati. Terutama saat kewajiban bukanlah beban, saat perjuangan bukanlah derita, saat lotre bukanlah kesenangan, dan bayangan hari esok bukanlah kecemasan. Tetaplah berpikir positif menikmati revolusi, sebab hanya di situ tempat segala sukses, tempat segala harapan dan tempat seluruh cita-cita yang revolusioner dipijakkan: para negarawan bersahaja dihadirkan.(*)

EDITOR: REYNA




http://www.zonasatunews.com/wp-content/uploads/2017/11/aka-printing-iklan-2.jpg></a>
</div>
<p><!--CusAds0--><!--CusAds0--></p>
<div style=