Laporan khusus redaksi berdasarkan pandangan dan penjelasan Muhsin Budiono Nurhadi, Certified Quality Engineer; General Manager Region V, Centre for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS)
JAKARTA – Keresahan masyarakat di Jawa Timur atas fenomena kendaraan “brebet” setelah mengisi bahan bakar Pertalite kini berkembang menjadi isu nasional.
Bagi Muhsin Budiono Nurhadi, seorang Certified Quality Engineer dan General Manager Region V Centre for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS), gejolak ini bukan sekadar keluhan teknis — melainkan gejala krisis kepercayaan terhadap sistem energi nasional.
“Kalau ini hanya persoalan teknis, mestinya bisa selesai lewat pengujian laboratorium. Tapi yang kita lihat justru perang narasi di ruang publik. Artinya, ini sudah masuk ke wilayah psikologis dan politik energi,” ujar Muhsin.
Fakta Teknis di Lapangan
Menurut Muhsin, gejala kendaraan “brebet” bisa disebabkan oleh banyak faktor, bukan langsung menuding bahan bakar.
“Secara teknis, campuran air dalam tangki, kebersihan sistem injeksi, hingga sisa residu di jalur distribusi bisa menimbulkan gejala serupa,” jelasnya.
Ia menilai langkah cepat Pertamina melakukan uji laboratorium terhadap sampel Pertalite dari berbagai SPBU adalah tindakan yang profesional dan tepat.
“Reaksi cepat Pertamina patut diapresiasi. Mereka langsung turun ke lapangan, mengambil sampel, dan menguji di laboratorium bersama Lemigas serta Kementerian ESDM. Ini menunjukkan tanggung jawab dan komitmen terhadap mutu produk,” kata Muhsin.
Namun, ia menegaskan bahwa publik tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan sebelum hasil resmi keluar.
“Sains itu bekerja dengan data, bukan dengan viralitas,” ujarnya menekankan.
Kasus SPBU Rajawali dan Bahaya Manipulasi Narasi
Insiden di SPBU Rajawali Surabaya disebut Muhsin sebagai contoh sempurna bagaimana fakta teknis bisa berubah menjadi komoditas politiK.
“Kasus Rajawali adalah case study yang luar biasa. Dari satu video viral yang menunjukkan dugaan Pertalite tercampur air, publik langsung percaya tanpa menunggu verifikasi,” katanya.
Ia menjelaskan, hasil penelusuran CCTV SPBU memperlihatkan bahwa botol berisi cairan yang ditunjukkan dalam video itu bukan berasal dari dispenser SPBU, melainkan diduga telah disiapkan sebelumnya.
“Kalau benar demikian, maka ini bukan kelalaian teknis, tapi indikasi manipulasi. Kita bicara soal pembentukan persepsi publik yang disengaja,” tegasnya.
Muhsin menyebut fenomena ini sebagai bentuk sabotase narasi yang harus diwaspadai.
“Sabotase itu tidak selalu merusak fasilitas fisik. Kadang yang dirusak adalah kepercayaan publik. Dan kepercayaan adalah aset paling berharga bagi perusahaan strategis seperti Pertamina,” jelasnya.
Elite Capture dan Serangan Balik Politik Energi
Lebih jauh, Muhsin melihat peristiwa ini tak lepas dari dinamika besar di sektor migas nasional. “Pertamina adalah tulang punggung kedaulatan energi. Ketika pemerintah sedang menata ulang tata kelola migas, tentu akan ada pihak-pihak yang terganggu,” ujarnya.
Ia menyinggung teori Elite Capture, di mana sekelompok elit memanfaatkan kelemahan institusi untuk mempertahankan rente ekonomi.
“Begitu keuntungan mereka terancam oleh kebijakan yang lebih transparan, mereka akan menyerang balik. Dan yang paling mudah diserang adalah citra Pertamina,” kata Muhsin.
Menurutnya, pola ini terlihat dari maraknya meme, video hoaks, hingga atribut yang mendiskreditkan Pertamina di media sosial.
“Itu bukan spontanitas rakyat. Itu terorganisir. Narasi negatif yang berulang adalah strategi lama: jatuhkan kepercayaan publik agar lembaga negara kehilangan legitimasi,” tegasnya.
Ia bahkan mengaitkan momentum ini dengan agenda besar pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam reformasi sektor energi.
“Upaya pembersihan mafia migas jelas mengganggu banyak kepentingan lama. Ketika reformasi berjalan, serangan balik pasti muncul. Dan yang diserang pertama adalah simbol negara dalam energi — Pertamina,” katanya.
Seruan Transparansi dan Penegakan Fakta
Meski begitu, Muhsin tidak menampik bahwa keluhan masyarakat adalah hal yang valid dan harus direspons dengan empati.
“Keluhan warga jangan disepelekan. Tapi validasi data harus jadi dasar. Hanya hasil laboratorium resmi yang boleh dijadikan acuan,” ujarnya.
Ia mendorong Pertamina dan pemerintah untuk membuka hasil uji mutu secara publik. “Transparansi adalah senjata utama melawan hoaks. Begitu data dibuka, ruang spekulasi akan tertutup,” katanya.
Muhsin juga menyerukan agar aparat hukum memisahkan dua hal penting dalam penyelidikan. “Pertama, apakah benar ada kontaminasi teknis di lapangan. Kedua, siapa aktor intelektual di balik pembentukan narasi negatif. Dua-duanya harus diusut,” tegasnya.
Edukasi Publik dan Stabilitas Energi
Dalam pandangan Muhsin, isu Pertalite brebet seharusnya menjadi momentum memperkuat komunikasi publik di sektor energi.
“Pertamina harus lebih aktif menjelaskan soal standar mutu, rantai distribusi, dan prosedur pengawasan. Masyarakat berhak tahu, tapi jangan dibiarkan tersesat oleh framing,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa sektor energi bukan sekadar bisnis, tapi juga urat nadi stabilitas nasional.
“Kalau kepercayaan terhadap BBM runtuh, efeknya bisa berantai — dari psikologis konsumen, gangguan distribusi, hingga spekulasi harga. Maka ini harus dijaga dengan kepala dingin dan kejujuran data,” ujarnya.
Muhsin menutup dengan refleksi tajam. “Dalam dunia energi modern, yang paling mahal bukan minyaknya, tapi kepercayaannya. Dan menjaga kepercayaan publik terhadap Pertamina berarti menjaga kedaulatan energi bangsa.”
EDITOR: REYNA
Related Posts

Aliansi Masyarakat Tirak Nilai Seleksi Perangkat Desa Cacat Hukum, Akan Bawa ke DPRD dan PN

Isolasi Dalam Sunyi – Gibran Akan Membeku Dengan Sendirinya

Ini 13 Ucapan Kontroversial Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Purbaya Yudhi Sadewa: Dari Bogor ke Kursi Keuangan — Jejak Seorang Insinyur yang Menjadi Ekonom Kontroversial

The Guardian: Ketika Bendera One Piece Jadi Lambang Perlawanan Generasi Z Asia

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Digital Counter-Revolution: Mengapa Pemerintah Indonesia Berbalik Takluk pada Media Sosial?

Otonomi Yang Melayani : Menanggapi Cak Isa Anshori dengan Kacamata Tata Kelola Islam

Komik Edukasi Digital dari ITS Jadi “Senjata” Literasi Anak di Daerah Terpencil”

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional




No Responses