Oleh: Sutoyo Abadi
Forum Purnawirawan Prajurit ( FPP ) TNI mengusulkan 8 tuntutan yang di antaranya meminta Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka untuk diganti atau dimakzulkan.
Sejatinya, proses “pemakzulan” Gibran telah dimulai jauh hari sebelum tuntutan itu mengemuka lewat strategi senyap.
Semula info tersebut berjalan seperti angin berlalu, hanya setelah tanda tanda itu muncul rakyat mulai menaruh perhatiannya.
Penampilan anak haram konstitusi ini hanya akan menurunkan marwah kepemimpinan nasional dalam forum-forum strategis, terutama dalam diplomasi internasional.
Presiden Prabowo, sebenarnya menyadari betul bahwa kehadiran Gibran dalam momen-momen penting bisa menggeser narasi serius menjadi pertunjukan komedi nasional.
Rakyat mulai menaruh perhatian dari kejadian beruntun bisa di amati dalam pola dan intensitasnya bukan dari wacana yang ganas tuntutan memakzulkan di media sosial.
Tanda-tanda Gibran di isolasi :
Pertama, Saat Presiden Prancis Emmanuel Macron berkunjung ke Indonesia. Gibran “diungsikan” ke Ibu Kota Nusantara untuk meninjau proyek pembangunan, sendirian, tanpa liputan media dari sorotan nasional atau internasional.
Kedua, Saat berlangsung acara peresmian pabrik baterai milik perusahaan Korea Selatan. Dalam susunan acara resmi, nama Gibran awalnya tercantum sebagai salah satu tokoh yang akan hadir dan memberi sambutan. Namun, pada hari pelaksanaan, secara mengejutkan posisinya digantikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Ketiga, Saat delegasi tingkat tinggi dari Rusia melakukan kunjungan resmi ke Indonesia, Gibran kembali tidak terlihat. Posisi tersebut diberikan kepada Menteri Luar Negeri.
Keempat, Saat pertemuan dengan Elon Musk sosok yang selama masa kampanye begitu dielu-elukan oleh Gibran, bahkan disebut-sebut sebagai lambang kemajuan dan inovasi. Namun, ketika momen penting itu benar-benar terjadi, Gibran tidak dilibatkan maupun muncul dalam pemberitaan.
Kelima, Saat pelantikan pejabat tinggi negara berlangsung, Gibran ditempatkan di barisan keempat di belakang tokoh-tokoh seperti Ketua DPR, Ketua MPR, dan Panglima TNI. Dalam konteks simbolis kekuasaan, pengaturan tempat duduk bisa berbicara lebih keras daripada kata-kata. LP
Keenam, Dalam berbagai forum internasional dan agenda besar kenegaraan seperti KTT ASEAN, Forum Investasi Global di Bali, serta pertemuan penting dengan lembaga finansial dunia seperti IMF dan Bank Dunia, pola isolasi Gibran tampak semakin gamblang.
Ketujuh, Di Forum Investasi Global yang digelar di Bali sebuah ajang prestisius yang mempertemukan pemimpin-pemimpin bisnis dan pejabat tinggi dari seluruh dunia kehadiran Gibran nyaris tak terasa. Ia memang datang, tetapi hanya untuk satu sesi: makan malam.
Kedelapan, Pada momen sakral yang berkaitan langsung dengan jati diri bangsa peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni Gibran kembali tampak terpinggirkan. Acara tersebut dihadiri sejumlah tokoh penting, termasuk Megawati Soekarnoputri yang duduk di posisi simbolik kebangsaan. Gibran di isolasi tidak sebagai bagian dari lingkaran sentral. Ia hadir, tetapi seperti diasingkan secara simbolik di antara para pemilik narasi ideologis bangsa.
Kesembilan, Saat dunia memberi penghormatan terakhir kepada Paus yang wafat, Prabowo sebagai kepala negara tentu diundang secara resmi untuk menghadiri upacara pemakaman. Prabowo justru menunjuk ayah Gibran sendiri, Joko Widodo, sebagai utusan khusus. Sebuah keputusan yang mengandung banyak makna tersembunyi.
Kesepuluh, Saat pelepasan Perdana Menteri Tiongkok di bandara sebuah prosesi diplomatik yang biasanya dihadiri langsung oleh Presiden atau Wakil Presiden posisi Gibran kembali digantikan Menteri ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono. Pergantian ini simbolis: Gibran tak lagi dianggap representatif untuk urusan hubungan bilateral tingkat tinggi.
Kesebelas, Ketika dalam rapat kerja nasional partai koalisi ajang strategis yang semestinya menjadi wadah konsolidasi kekuatan dan penyusunan arah politik, Gibran hanya diminta untuk membuka acara dengan membacakan doa.
Keduabelas, Saat Presiden Prabowo dijadwalkan bertemu dengan Presiden Turki, – Tayyip Erdoğan, seorang staf istana yang masih mengira Gibran adalah bagian dari lingkaran dalam bertanya dengan polos, “Apakah Gibran akan diajak serta?” Jawaban Prabowo dilaporkan singkat, tajam, dan nyaris dingin: “Turki itu negara besar, jangan mempermalukan kita.”.
Kalimat itu, walau ringkas, adalah bom politik dalam selimut kesantunan. Di balik kata-katanya yang sederhana, tersimpan pesan bahwa Gibran bukan bagian dari wajah diplomasi Indonesia.
Jejak isolasi Gibran dari panggung kekuasaan terus berlanjut, menyusup dalam berbagai peristiwa penting yang semestinya menjadi ruang bagi seorang wakil presiden untuk tampil, menyuarakan posisi negara, atau sekadar mengokohkan simbol kehadiran negara.
Kumpulan peristiwa tersebut bukan sekadar catatan harian protokoler, keadaan semakin sulit dibantah, Gibran sedang diisolasi dengan cara yang sistematis, perlahan, dan senyap.
Pola isolasi Ia kadang diundang, lalu batal secara sepihak. Kadang digantikan oleh menteri lain dan bahkan dalam beberapa kasus dikirim menghadiri agenda yang tidak setara secara politik.
Sebuah pengasingan dalam sunyi inilah dari serangkaian kejadian tersebut , publik mulai menangkap pola Gibran tak hanya sedang “tidak dilibatkan”, tapi perlahan-lahan sedang “dipindahkan” dari inti kekuasaan menuju pinggir selokan.
Di tengah sorotan publik yang kian tajam, Gibran Rakabuming Raka, akan diperankan hanya sebagai Wakil Presiden Kosmetik ornamen politik. Sekedar ada nyaris tak berfungsi. Seolah-olah kehadirannya hanya untuk melengkapi formasi, bukan untuk mengambil peran dalam pementasan.
Sekelas Gibran tak akan sadar bahwa dirinya sedang diisolasi dari peta pengaruh. Bahkan mungkin gembira bisa bermain main di halaman Istana Wapres.
Dalam keheningan itu, satu hal menjadi jelas Gibran sedang menjalani fase paling sunyi dalam karier politiknya.
Yang membuat situasi ini kian menggelitik adalah reaksi Gibran sendiri. Dalam beberapa kesempatan di forum publik, ucapannya justru memunculkan sifat kekanak-kanakan. Ia pernah berbicara soal makanan kucing atau menceritakan hobinya bermain layangan di sela agenda kabinet.
Apakah karena alasan diatas Prabowo Subianto belum mau menerima FPP TNI yang mengusulkan pemakzulan Gibran karena Prabowo sedang dalam bergerak dalam senyap. Ia tidak meledak, tidak membuat keputusan drastis, dan tidak mengumumkan apa pun ke publik.
Kalau Prabowo akan menjatuhkan Gibran secara frontal dalam hitungan politiknya mungkin dianggap akan memicu gelombang simpati, membuka ruang serangan balik politik, dan mungkin menodai stabilitas yang sedang ia bangun. Maka digunakanlah pendekatan khas militer: isolasi dalam keramaian, “Jika tidak bisa diberhentikan, maka singkirkan perlahan-lahan.”
Jika keberadaan Gibran dianggap berisiko menurunkan kualitas narasi diplomatik Indonesia, maka solusinya memang ada dua : turunkan sesuai jalur konstitusi yang berlaku atau mengisolasi, menggeser peran dan fungsinya perlahan nyaris tanpa suara, membeku dengan sendirinya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Aliansi Masyarakat Tirak Nilai Seleksi Perangkat Desa Cacat Hukum, Akan Bawa ke DPRD dan PN

Pertalite Brebet di Jawa Timur: Krisis Kepercayaan, Bukan Sekadar Masalah Mesin

Ini 13 Ucapan Kontroversial Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

Purbaya Yudhi Sadewa: Dari Bogor ke Kursi Keuangan — Jejak Seorang Insinyur yang Menjadi Ekonom Kontroversial

The Guardian: Ketika Bendera One Piece Jadi Lambang Perlawanan Generasi Z Asia

Kolaborasi Manusia Dan AI: Refleksi Era Digital di IdeaFest 2025

Digital Counter-Revolution: Mengapa Pemerintah Indonesia Berbalik Takluk pada Media Sosial?

Otonomi Yang Melayani : Menanggapi Cak Isa Anshori dengan Kacamata Tata Kelola Islam

Komik Edukasi Digital dari ITS Jadi “Senjata” Literasi Anak di Daerah Terpencil”

Seni Tergores, Komunitas Bangkit: Bagaimana Dunia Seni Indonesia Pulih Usai Protes Nasional



No Responses