Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Oleh: Budi Puryanto

Angin timur berhembus dingin di atas geladak kapal Arunika. Kapal riset kecil milik PSC itu tampak biasa saja dari luar, namun di dalamnya terdapat pusat kendali taktis yang disamarkan sebagai laboratorium oseanografi.

Seno berdiri di depan jendela sempit, menatap riak laut Banda yang bergulung gelap di bawah langit berawan. Di belakangnya, Ratna sedang mengkalibrasi sensor sonar mini.

“Koordinat kapal OceanMind sudah dikonfirmasi,” ujar Ratna. “Mereka berlayar pelan di 6° Selatan, 128° Timur. Tapi ada keanehan — pola pergerakannya membentuk spiral berulang. Seperti sedang menandai titik.”

Seno memutar peta digital. “Atau menanam sesuatu di bawah.”

Ia menatap layar besar di dinding ruang kendali. Citra satelit menampilkan sebuah kapal berwarna putih keperakan, dengan tulisan OMF-17. Tak ada bendera nasional, hanya lambang berbentuk tiga lingkaran biru berpotongan — simbol Imperium Tiga Samudra.

Sesaat kemudian, radio terenkripsi berbunyi pelan. Suara Kolonel Aditya terdengar dari Jakarta:

“Seno, kalian resmi memulai fase penyusupan. Hindari kontak langsung. Fokus pada konfirmasi visual dan bukti dokumentasi. Kami butuh data, bukan ledakan.”

Seno menjawab singkat, “Diterima.”

Ratna menatapnya dengan khawatir. “Mereka punya drone bawah laut, Sen. Kalau kita terlalu dekat—”

Seno tersenyum tipis. “Kita tak akan dekat. Kita akan tenggelam lebih dulu dari mereka.”

Ia memberi isyarat pada operator muda di sampingnya, Laras, ahli sonar yang baru direkrut dari BRIN. “Turunkan Manta-4. Mode senyap penuh.”

Laras mengetik cepat. Sebuah mini-submarine sebesar peti besar meluncur dari perut kapal, tenggelam tanpa suara ke kedalaman dua ribu meter. Di layar, kamera inframerah mulai menangkap bayangan raksasa — kapal OceanMind.

Pemandangan di dasar laut Banda tampak seperti lanskap dunia lain. Gunung laut menjulang diam, dan dari lembah di antara mereka memancar cahaya biru redup — titik-titik kecil seperti sumbu lilin.

Ratna membelalak. “Apa itu?”

“Sensor energi,” jawab Seno. “Mereka sedang membangun jaringan optik bawah laut — sistem komunikasi independen yang tak bisa dideteksi jaringan satelit nasional.”

Ratna membaca data di layar. “Frekuensinya 21 gigahertz. Itu frekuensi militer. Tapi mereka menyalurkannya lewat kabel bioluminesen sintetis — campuran dari serat optik dan organisme laut hasil rekayasa. Tidak mungkin proyek sipil punya teknologi sekompleks ini.”

Seno menatap monitor dalam diam. “Artinya, mereka bukan sedang meneliti laut. Mereka sedang membangun lautan baru.”

Di layar sonar, muncul sosok-sosok hitam kecil bergerak cepat mendekati posisi Manta-4.

“Drone laut mereka,” kata Laras panik. “Empat unit. Mereka melakukan sweeping!”

“Matikan semua emisi sonar,” perintah Seno. “Gunakan mode bayangan.”

Mini-sub itu berhenti total, menyamar di balik formasi batu karang bawah laut. Beberapa detik terasa seperti jam. Salah satu drone musuh lewat sangat dekat — bentuknya menyerupai ikan pari logam, dengan lampu merah kecil berdenyut di kepalanya.

Ratna menggenggam lengan Seno. “Mereka hampir menabrak kita…”

Namun drone itu berbelok tiba-tiba, lalu menjauh, seolah kehilangan target. Setelah tiga menit sunyi, Seno berbisik,

“Aman. Aktifkan perekam.”

Dari kamera bawah laut, mereka melihat sesuatu yang membuat semua terdiam. Sebuah struktur logam besar berbentuk kubah setengah bola — berdiameter 80 meter — tertanam di dasar laut. Di puncaknya, logo tiga gelombang TOI bersinar lembut.

Ratna menatap layar, tertegun. “Itu bukan sensor. Itu pusat kendali bawah laut.”

Kubah Imperium

Data yang dikirim Manta-4 menampilkan analisis struktur. Lapisan luarnya dari bahan paduan titanium-keramik, tahan tekanan 5.000 meter. Di dalamnya terdeteksi sistem pendingin reaktor mini dan jaringan kabel bioluminesen yang menjalar ke segala arah.

“Ini bukan sekadar pangkalan data,” ujar Ratna. “Ini semacam neural node, pengendali seluruh jaringan komunikasi bawah laut. Kalau mereka menanam beberapa seperti ini di seluruh dunia, mereka bisa mengontrol arus data, logistik, bahkan sistem navigasi kapal.”

Seno menatap peta di layar. “Dan ini pusatnya — jantung Laut Banda.”

Kolonel Aditya kembali tersambung lewat radio.

“Kalian temukan sesuatu?”

Seno menjawab datar. “Lebih dari sesuatu. Kita menemukan jantung Imperium Tiga Samudra.”

“Kirim semua data. Kita akan koordinasi langsung dengan markas Presiden.”

Namun sebelum transmisi selesai, layar tiba-tiba bergaris. Sinyal radio berderit, lalu padam. Laras berseru, “Gangguan magnetik! Mereka mendeteksi kita!”

Tampak di layar monitor, drone-drone musuh berbalik arah, melesat ke lokasi Manta-4. Sistem sonar menjerit, detak jantung semua orang di ruang kendali berpacu.

“Tarik drone! Cepat!” teriak Ratna.

Namun Seno menatap data di layar dan memutuskan sesuatu. “Tidak. Kirimkan paket data dulu — aktifkan burst mode lewat relay satelit milik PSC.”

“Kalau kita lakukan itu, posisi kita terdeteksi!”

Seno menatap Ratna. “Lebih baik mereka tahu kita pernah di sini, daripada dunia tak pernah tahu apa yang mereka tanam.”

Ia menekan tombol merah. Sinyal transmisi melonjak, mengirimkan paket data mentah berisi rekaman struktur kubah bawah laut. Dalam beberapa detik, drone Manta-4 kehilangan sinyal dan… hilang.

Ratna menunduk. “Mereka menghancurkannya.”

Seno menarik napas panjang. “Kita sudah dapat datanya. Sekarang, saatnya keluar dari laut ini sebelum mereka menutup jalur komunikasi.”

Kapal Arunika berbalik arah menuju barat laut, menembus badai kecil. Petir menyambar di kejauhan. Di dalam kabin, Ratna duduk lelah tapi tenang.

“Sen, kalau mereka bisa menguasai komunikasi laut seperti ini… apa artinya perang berikutnya?”

Seno menjawab pelan, “Artinya perang berikutnya akan dimenangkan bukan oleh mereka yang punya senjata paling banyak, tapi oleh mereka yang tahu di mana laut bernafas.”

Ia memandang ke luar jendela, ke laut yang tampak tenang namun menyimpan rahasia besar.

“Imperium sudah menanam jantungnya di sini. Sekarang kita harus mencari otaknya.”

Ratna menatapnya, mengerti. “Raisa Kartanegara?”

Seno mengangguk. “Ya. Ratu Gelombang itu bukan mitos. Dia penjaga sistem ini. Dan dia tahu kita sudah datang.”

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Novel Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

Novel Imperium Tiga Samudra (4) – Pertemuan di Lisbon

Novel Imperium Tiga Samudra (3) – Penjajahan Tanpa Senjata

 

Last Day Views: 26,55 K