Memaknai Perankingan Kampus di Jagad Multi-polar

Memaknai Perankingan Kampus di Jagad Multi-polar
Daniel Mohammad Rosyid

OLeh: Daniel Mohammad Rosyid @DOE ITS

Perankingan kampus secara global bisa lebih merusak daripada perankingan siswa di sekolah. Motivasi internal yang lebih lestari dan kuat diganti dengan motivasi eksternal palsu dan lemah serta mematikan growth mindset. Terjadi kompetisi yang tidak sehat, sementara individualitas setiap siswa yang unik secara perlahan lenyap.

Sir Ken Robinson menyalahkan penyeragaman besar-besaran yang terjadi akibat standardisasi di dunia pendidikan. Penyeragaman ini merusak pembangunan modal manusia, sekaligus menimbulkan kesombongan semu sekolah-sekolah atau kampus-kampus ivy league.

Setiap kampus yang sehat dan sustainably grow adalah kampus yang organik, tumbuh dalam ekosistemnya yang khas yang mendukungnya. Perankingan dengan standard asing akan membuat kampus tidak relevan secara spasial dan temporal, dan secara personal tidak bermakna bagi mahasiswa-mahasiswanya dengan latar belakang yang beragam. Di negeri kepulauan seluas Eropa ini, kajian-kajian kelautan dan kemaritiman mestinya berkembang pesat. Kenyataannya tidak demikian. Potensipotensi agro-maritim nasional yang melimpah terbengkalai.

Membandingkan 2 mahasiswa di satu departemen dengan beberapa kriteria saja sulit konsisten, apalagi membanding-bandingkan ratusan kampus dengan belasan kriteria. Dalam perspektif Analytical Hierarchy Process, perankingan ratusan kampus secara global semacam ini tidak adil, dan cacat secara matematik, sehingga hasilnya nyaris tidak berguna. Membandingkan MIT dan ITS saja lelucon, apalagi membandingkan Harvard di Massachusetts dengan Cendrawasih di Papua.

Di dunia yang makin multi-polar yang diwarnai dengan kebangkitan Asia yang dimotori China, perankingan dengan standard Barat jelas tidak tepat, jika bukan menyesatkan. Paling tidak kita harus membangun standard sendiri yang dirumuskan bersama di tingkat nasional atau regional ASEAN. Standard itu jangan terlalu banyak dan detil agar bisa diterjemahkan oleh masing-masing kampus secara kreatif dan kontekstual. Jika tidak, kampus-kampus kita akan kehilangan relevansinya terhadap lansekap ekosistem terdekat yang mendukungnya. Lalu perlahan punah seperti dinosaurus, atau at best menjadi zombie university. Masih hidup, tubuhnya mungkin besar, tapi tanpa jiwa.

Sukolilo, Surabaya. 12 Nopember 2025.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K