Testimoni dan analisis Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra, mantan Perwira intelijen BIN dengan setumpuk informasi A1, membuka anatomi pengaruh yang tidak mau mati
JAKARTA – Ada satu hal yang sering dilupakan publik: kekuasaan tidak pernah berhenti hanya karena masa jabatan berhenti. Ketika Presiden Joko Widodo menanggalkan jabatan setelah dua periode, ia tidak serta-merta meninggalkan panggung.
Yang terjadi justru sebaliknya: menurut analisis tajam Sri Radjasa Chandra, mantan intel BIN yang punya reputasi sebagai pemegang informasi A1, Jokowi sedang menjalankan apa yang ia sebut sebagai “operasi garis dalam” terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Ini bukan teori liar. Ini bukan gosip politik kedai kopi. Ini adalah pembacaan intelijen: dingin, sistematis, dan sangat mungkin benar.
Kekuasaan Jokowi Belum Selesai—Ia Hanya Berganti Bentuk
Mereka yang mengira Jokowi sudah selesai pada Oktober 2024 patut mengoreksi pandangan.Kekuasaan Jokowi justru memasuki fase paling menentukan: fase pengaruh tanpa kursi.
Dan menurut Sri Radjasa, pengaruh itu dijalankan dengan tiga tujuan jelas: Mencegah pemerintahan Prabowo membongkar kasus-kasus era Jokowi. Menjaga jaringan ekonomi-politik yang dibangun selama 10 tahun tetap utuh. Mengamankan jalur Gibran menuju Pilpres 2029.
Ini bukan sekadar strategi, tetapi pertaruhan masa depan keluarga politik Jokowi.
Jika pemerintahan baru membuka satu per satu persoalan warisan lama—dari proyek-proyek ambisius hingga kebijakan kontroversial—maka stabilitas politik Jokowi bisa runtuh dalam hitungan bulan.
Jadi apa solusinya? Masukkan orang. Kendalikan arus. Pengaruhi keputusan. Amankan jejak.. Inilah inti dari operasi garis dalam.
Prabowo Dikepung, Tapi Tidak Terkunci
Pertanyaan besar: apakah Prabowo sadar?
Menurut Sri Radjasa, jawabannya brutal: ya, sepenuhnya sadar.
Prabowo tahu bahwa sejumlah posisi strategis di kabinet dan lingkar teknokratis bukan 100% pilihannya sendiri. Ia tahu ada “orbit Jokowi” yang diisi orang-orang yang lebih loyal kepada presiden sebelumnya daripada kepada presiden yang sekarang.
Namun Prabowo bukan pemain kemarin sore. Ia memilih mengelola kepungan, bukan memeranginya.
Mengapa?
Prabowo butuh stabilitas di awal pemerintahan. Menggulingkan pengaruh Jokowi secara frontal hanya akan memecah negara.
Prabowo paham bahwa orang-orang Jokowi bisa berguna untuk sementara waktu.
Ini bukan kepasrahan. Ini kecerdasan politik.
Seperti harimau yang membiarkan mangsa mendekat lebih dulu sebelum menerkam.
Gibran: Anak yang Harus Selamat
Dalam opini publik, Gibran sering digambarkan sebagai politisi muda yang sedang belajar.
Menurut analisis Sri Radjasa, gambaran itu naif.
Gibran adalah proyek politik Jokowi yang paling serius.
Tidak ada investasi politik yang nilainya setara dengan mendorong anak sendiri menjadi presiden.
Untuk itu, seluruh ekosistem kekuasaan harus dikondisikan:
“Tidak ada kasus lama yang bocor, tidak ada konflik internal yang menjerumuskan, tidak ada dinamika yang melemahkan citra, dan tidak ada musuh politik yang muncul dari dalam pemerintahan sendiri.”
Jika Prabowo tiba-tiba ingin menunjukkan taring kepada warisan era Jokowi, Gibran akan terkena imbas paling besar.
Dan Jokowi tidak akan membiarkan itu terjadi.
Pertanyaan yang Paling Provokatif: Siapa Sebenarnya Presiden Bayangan?
Editorial politik biasanya sopan.Tapi mari bicara apa adanya.
Jika operasi garis dalam benar adanya—dan analisis Sri Radjasa memberi dasar yang kuat—maka Indonesia sedang berada dalam situasi unik: dua pusat kekuasaan yang bekerja dalam satu pemerintahan.
Prabowo menjalankan negara. Jokowi menjaga arah. Dan Gibran disiapkan menjadi masa depan.
Sistem seperti ini berbahaya. Tidak ada negara yang stabil ketika mesin kekuasaan bekerja dengan dua operator.
Pertanyaannya sederhana namun menyengat: Apakah Prabowo benar-benar memimpin sendirian? Atau Indonesia sedang dipimpin oleh duet yang tidak terlihat?
Pada Akhirnya: Ini Pertarungan Yang Tidak Akan Tenang
Pertarungan antara pengaruh lama Jokowi dan kekuatan baru Prabowo tidak akan pecah secara terbuka. Tidak akan ada konflik terang-terangan. Tidak akan ada perang dingin yang diumumkan ke publik.
Yang ada adalah: tekanan di balik meja, tarik-menarik kebijakan, pertempuran senyap antar-loyalis, dan konsolidasi kekuasaan yang semakin keras mendekati 2029.
Kita mungkin melihat senyum di televisi. Tapi di balik tirai, dua kubu sedang bermain catur politik dengan taruhan terbesar dalam 20 tahun terakhir.
Dan seperti diingatkan Sri Radjasa Chandra, “Operasi garis dalam hanya bisa dihentikan oleh satu hal: kemenangan total salah satu pihak.”
Pertanyaannya sekarang: Apakah itu akan menjadi kemenangan Jokowi? Atau Prabowo sedang menunggu waktu untuk membalik papan?
EDITOR: REYNA
Baca juga:
- Jejak Kekuatan Riza Chalid: Mengapa Tersangka “Godfather Migas” Itu Masih Sulit Ditangkap?
- Wawancara Eksklusif dengan Kolonel (Purn) Sri Radjasa Chandra (1): “The Gasoline Godfather” Dan Bayangan di Balik Negara
- Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (2): Dari Godfather ke Grand Strategi Mafia Migas
- Wawancara Eksklusif Dengan Kol (Purn) Sri Radjasa Chandra (3-Tamat): Korupsi Migas Sudah Darurat, Presiden Prabowo Harus Bertindak!
Related Posts

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Jejak Kekuatan Riza Chalid: Mengapa Tersangka “Godfather Migas” Itu Masih Sulit Ditangkap?

Penjara Bukan Tempat Para Aktifis

FTA Mengaku Kecewa Dengan Komposisi Komite Reformasi Yang Tidak Seimbang

Keadaan Seperti Api Dalam Sekam.

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Pak Harto Diantara Fakta Dan Fitnah

Surat Rahasia Bank Dunia: “Indonesia Dilarang Membangun Kilang Minyak Sendiri”

Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Mengaku Ditekan 2 Tokoh (PY) dan (HR) Untuk Memperhatikan Perusahaan Riza Chalid





No Responses