Mengapa OTT Kepala Daerah Tak Pernah Usai?

Mengapa OTT Kepala Daerah Tak Pernah Usai?
Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA—Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sekaligus Presiden Institut Otonomi Daerah

JAKARTA – Setiap kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan Operasi Tangkap Tangan (OTT), publik kembali diguncang realitas pahit: pejabat daerah kembali tertangkap tangan menggerogoti uang rakyat. Gubernur Riau dan Bupati Ponorogo hanyalah dua nama terbaru dalam daftar panjang kepala daerah yang gagal menjaga amanah.

Namun pertanyaan lebih mendasar pun mengemuka: salah mereka atau salah sistemnya? Dapatkah seorang kepala daerah benar-benar memimpin dengan bersih, ketika ongkos politik untuk memenangkan jabatan bahkan menembus angka ratusan miliar?

KPK tetapkan 4 tersangka dalam kasus korupsi di Kabupaten Ponorogo : 1. Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko (SUG), kedua dari kanan
2. Sekretaris Daerah Ponorogo Agus Pramono (AGP)
3. Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah Dr Harjono Ponorogo Yunus Mahatma (YUM)
4. Sucipto (SC) selaku pihak swasta rekanan RSUD Ponorogo dalam paket pekerjaan di lingkungan Kabupaten Ponorogo.

Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan gamblang oleh Guru Besar IPDN, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A (Prof Djo) kepada media.

Sistem Pemilihan yang Rusak Melahirkan Pemimpin yang Rusak

Menurut Prof. Djo, akar masalahnya bukan semata karakter individunya, tetapi sistem pemilihan kepala daerah yang “mahal, liberal, dan tak sesuai kultur Indonesia”.

“Ketika sistemnya buruk, jangan berharap melahirkan pemimpin yang baik,” tegasnya.

UU Pilkada No. 10/2016 yang digunakan pada Pilkada Serentak 2024 tidak mengubah pola lama: biaya tinggi, kompetisi brutal, dan jual-beli suara. Akibatnya, kata Prof. Djo, ketika seseorang memenangi kontestasi, pikiran pertama yang muncul bukanlah bagaimana melayani rakyat, tetapi bagaimana mengembalikan modal politik.

Harga Sebuah Jabatan: 50 Miliar Hingga 100 Miliar Lebih

Riset Prof. Djo di delapan provinsi menemukan fakta mencengangkan:

Gubernur: biaya kampanye bisa mencapai Rp100 miliar lebih

Bupati/Walikota: Rp50 miliar–Rp100 miliar

Bahkan kepala desa: kini sudah “bermain miliaran” rupiah.

Dan uang sebesar itu tidak hanya berasal dari kantong kandidat, tetapi juga utang dan sokongan para cukong politik. Setelah menjabat, “para sponsor” tentu akan menagih balik—sebuah mekanisme yang akhirnya mendorong penyimpangan kewenangan dan praktik korupsi. Bahkan, adanya pemerintah bayangan.

“Kepala daerah itu gajinya hanya Rp 9 juta, bupati Rp5 jutaan. Bagaimana mengembalikan modal 100 miliar?” tanya Prof. Djo.

Jawabannya sederhana: lewat minta fee proyek, jual beli jabatan, perizinan, atau permainan anggaran. Inilah titik masuk berbagai OTT.

Setiap OTT Bukan Kebetulan, Tapi Konsekuensi Sistem

Ketika publik berkomentar bahwa pejabat yang tertangkap hanya sedang “apes”, Prof. Djo menegaskan bahwa korupsi tidak berdiri tunggal.

“Kalau satu kena OTT karena ‘apes’, maka yang lain tinggal menunggu giliran. Sistem yang sama akan melahirkan perilaku yang sama.”

Ia menyebut dua jenis korupsi:

1. Korupsi politik – dilakukan pejabat publik (kepala daerah, DPRD)

2. Korupsi birokrasi – dilakukan pejabat struktural (kepala dinas, kepala bagian).

Keduanya bisa saling berkelindan, dan pada akhirnya merugikan rakyat: pelayanan publik macet, anggaran bocor, pembangunan stagnan, obat rumah sakit tidak tersedia, jalan rusak tak diperbaiki.

Voting Behavior: Ketika Rakyat Ikut Menyuburkan Korupsi

Prof. Djo menyinggung fenomena yang jarang dibahas: perilaku pemilih

Di negara maju, kampanye dibiayai lewat penggalangan dana (fundraising) dari masyarakat. Publik menyumbang satu-dua dolar untuk kandidat yang mereka suka.

Di Indonesia, sebaliknya: yang terjadi adalah rakyat meminta uang.

“Kalau tidak dikasih Rp200 ribu atau Rp300 ribu, mereka tidak mau datang ke TPS,” ujar Prof. Djo.

Inilah ironi demokrasi langsung: suara rakyat berubah menjadi transaksional, sementara kualitas pemimpin jatuh ke titik nadir.

Kembali ke Semangat Pancasila: Musyawarah Yang Hilang

Prof. Djo menyayangkan pemilu langsung yang terlalu mahal dan tidak cocok dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa Pancasila sila keempat dan UUD 1945 Pasal 18 ayat 4 sebenarnya membuka ruang untuk pemilihan tidak langsung melalui DPRD. Mekanisme musyawarah dianggap lebih tepat untuk mencegah dominasi uang dan cukong, namun dengan meniadakan penyuapan kepada anggota dewan.

“Sistem liberal 1 orang 1 suara ini tidak cocok untuk kondisi kita yang masih rawan money politics,” tegasnya.

Reformasi Pilkada: Mendesak, Tidak Bisa Ditawar

Menurut Prof. Djo, pemerintah dan DPR sedang menyiapkan pembahasan untuk menyatukan tiga undang-undang: UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik

Penyatuannya diharapkan melahirkan sistem yang lebih murah, adil, dan sesuai kultur Indonesia.

Karena selama mesin politik tetap kapitalistik, orang baik pun bisa ikut busuk.

“Lingkungan kotor membuat orang bersih berubah kotor. Itu teori miliu.”

Masih Adakah Pemimpin Bersih?

Pertanyaan terakhir yang perlu dijawab: Apakah masih mungkin kepala daerah memimpin dengan bersih?

“Mungkin. Tapi syaratnya: dia naik dengan cara yang bersih.”

Prof. Djo menyebut contoh seperti Tri Rismaharini Walikota Surabaya dulu yang tidak membeli suara atau membayar mahar. Namun ia mengingatkan bahwa praktek seperti itu “bisa dihitung jari”—karena mayoritas pemilihan hari ini berbiaya luar biasa mahal.

Demokrasi Kita Sakit, Tapi Masih Bisa Disembuhkan

Prof. Djo ini menyimpulkan satu hal yang tak terbantahkan: korupsi kepala daerah bukan sekadar soal moral pribadi, tapi gejala sistem yang cacat.

Selama pemilihan kepala daerah: berbiaya ratusan miliar, rakyat masih mau menggadaikan suara, partai politik masih menjual rekomendasi, pengawasan dan hukuman masih lemah, maka mimpi menghentikan OTT hanyalah ilusi.

Reformasi sistem politik menjadi keharusan, bukan pilihan.

Harapan itu kini ada pada keberanian negara membongkar akar persoalan, bukan sekadar memotong ranting-rantingnya.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K