Bandara IMIP Morowali : Antara Hilirisasi, Kedaulatan, dan Arah Baru Politik Pengawasan Negara

Bandara IMIP Morowali : Antara Hilirisasi, Kedaulatan, dan Arah Baru Politik Pengawasan Negara
Bandara IMIP Morowali

Oleh: Adha Fadhilah Shobrina, Mahasiswa semester 1 Universitas Airlangga Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

 

 

Polemik Bandara IMIP di Morowali kembali menempati pusat perhatian publik. Video tanggapan Alvin Lie—yang membantah tudingan “bandara ilegal” dan menegaskan legalitas Bandara IMIP sebagai bandara khusus—membuka percakapan nasional yang lebih luas: benarkah fasilitas ini melanggar kedaulatan? Atau justru perdebatan ini mencerminkan kerumitan hilirisasi nikel, investasi asing, serta pengawasan negara yang tertinggal dari ekspansi industri?

Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, melalui sikap Menhan Sjafrie Sjamsoeddin yang sangat tegas, menandai babak baru penegasan kedaulatan negara terhadap infrastruktur industri yang dikelola korporasi besar. Untuk memahami polemik ini secara jernih, diperlukan tinjauan regulatif, historis, geopolitik, hingga konsekuensi fiskal dan politik dari keberadaan Bandara IMIP.

Bandara IMIP dalam Sorotan : Polemik yang Meletup

Video klarifikasi Alvin Lie menyampaikan dua poin utama: pertama, Bandara IMIP terdaftar resmi sebagai bandara khusus domestik di Kementerian Perhubungan; kedua, karena status tersebut, bandara tidak diwajibkan memiliki imigrasi, bea cukai, atau fasilitas CIQ seperti bandara umum.

Pernyataan inilah yang memicu dialektika publik. Di satu sisi, klaim “ilegal” terlihat lemah secara administratif. Namun di sisi lain, sorotan Menhan terhadap minimnya kehadiran otoritas negara membuka isu yang lebih substansial: apakah infrastruktur swasta berskala raksasa seperti IMIP telah melampaui kapasitas pengawasan negara ?

Regulasi: Antara Bandara Umum dan Bandara Khusus

Secara hukum, Indonesia membagi bandara menjadi dua kategori inti:

1. Bandara umum, yang melayani publik dan penerbangan komersial.

Fasilitas ini wajib memiliki imigrasi, bea cukai, karantina, lounge penumpang, serta prosedur keselamatan yang ketat.

2. Bandara khusus, yang digunakan untuk kepentingan internal perusahaan, tanpa kewajiban fasilitas publik.

Bandara jenis ini boleh legal sepanjang terdaftar dan tidak melayani penerbangan umum atau internasional.

Bandara IMIP termasuk kategori kedua. Statusnya legal jika dan hanya jika kegiatan yang dilakukan tetap berada dalam koridor izin tersebut. Masalah timbul bila muncul indikasi penyimpangan fungsi: adanya penerbangan internasional tanpa CIQ, atau aktivitas udara yang tidak tercatat, yang tentu melanggar prinsip dasar pengawasan negara.

IMIP dan Kepentingan Tiongkok : Simbol Integrasi Rantai Pasok Global

Tidak dapat dipungkiri bahwa IMIP adalah ikon investasi asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam industri nikel Indonesia. Tsingshan Holding Group menjadi aktor kunci. Puluhan smelter, PLTU, serta pelabuhan dan bandara di kawasan ini menghubungkan langsung Morowali ke rantai pasok baja tahan karat dan baterai kendaraan listrik global.

Dalam kacamata geopolitik :

IMIP menjadi salah satu titik paling strategis dalam peta suplai nikel dunia.

Infrastruktur seperti bandara memperkuat efisiensi mobilitas tenaga ahli dan logistik perusahaan asing.

Ketergantungan ekonomi lokal terhadap perusahaan asing semakin besar.

Di sinilah pertanyaan kehadiran Bandara IMIP memasuki dimensi baru : bukan lagi sekadar legalitas administratif, tetapi bagaimana fasilitas tersebut mempererat dominasi ekonomi aktor asing atas sektor strategis nasional.

Legacy Jokowi : Hilirisasi yang Sukses, Pengawasan yang Tertinggal

Secara formal, Jokowi tidak pernah meresmikan Bandara IMIP. Ia meresmikan Bandara Maleo—bandara pemerintah—yang sering tertukar dalam percakapan publik. Namun demikian, keberadaan IMIP sebagai kawasan raksasa tidak dapat dilepaskan dari legacy hilirisasi Jokowi.

Di bawah kebijakan larangan ekspor mineral mentah dan dorongan hilirisasi, IMIP tumbuh dari kawasan terbatas menjadi megapolitan industri. Ekspansi masif ini menciptakan kebutuhan bandara internal.

Legacy Jokowi bukanlah bandara tersebut, melainkan kebijakan ekonomi yang memungkinkan IMIP berkembang sedemikian besar sehingga memerlukan infrastruktur swasta skala besar. Di sini, problem muncul: pertumbuhan industri jauh lebih cepat dibanding kapasitas negara dalam mengawasi.

Timeline IMIP dan Bandara IMIP : 2009–2025

– 2009–2013: Investasi tambang awal Tsingshan masuk; IMIP didirikan sebelum Jokowi berkuasa.

– 2014–2016: Kebijakan hilirisasi Jokowi mempercepat ekspansi IMIP.

– 2017–2019: IMIP tumbuh menjadi pusat smelter terbesar Asia Tenggara.

– 2020–2021: Bandara IMIP mulai dibangun dan didaftarkan sebagai bandara khusus.

– 2022–2023: Mobilitas TKA meningkat, isu pengawasan mulai mengemuka.

– 2024–2025 : Menhan Prabowo menyoroti absennya perangkat negara, polemik nasional meledak.

Timeline ini memperlihatkan bagaimana bandara IMIP merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan industri yang sangat pesat selama satu dekade terakhir.

Potensi Kerugian Negara: Dari Fiskal hingga Geopolitik

Bandara IMIP berpotensi menimbulkan kerugian negara bila tidak diawasi ketat:

1. Kebocoran Pajak dan Bea Cukai

Tanpa CIQ, risiko lolosnya barang bernilai tinggi dan kebocoran fiskal meningkat.

2. Risiko Tenaga Kerja Asing

Pergerakan TKA yang tidak tercatat dapat menimbulkan kerugian DKPTKA, retribusi visa, dan risiko pelanggaran keimigrasian.

3. Hilangnya Pengawasan Navigasi Udara

Jika ada penerbangan tidak dilaporkan, negara kehilangan PNBP AirNav.

4. Ancaman Kedaulatan Operasional

Ketergantungan pada infrastruktur korporasi asing berpotensi mengurangi kontrol strategis negara atas rantai pasok nikel.

5. Beban Lingkungan dan Sosial yang Disubsidi Negara

Eksternalitas industri besar sering jatuh ke APBN/APBD.

Dalam konteks IMIP, kerugian negara bukan hanya ekonomi, tetapi juga menyentuh ranah keamanan, geopolitik, dan reputasi.

Sikap Pemerintahan Prabowo : Penegasan Kedaulatan dan Penegakan Hukum

Menhan Sjafrie Sjamsoeddin mencerminkan arah kebijakan baru :

– Menegaskan bahwa bandara yang tidak memiliki perangkat negara menimbulkan ancaman kedaulatan.

– Memerintahkan verifikasi dan kemungkinan peninjauan ulang status bandara IMIP bila ditemukan penyimpangan.

– Menyoroti bahwa negara tidak boleh dikesampingkan oleh kepentingan korporasi atau asing.

– Menghubungkan isu bandara dengan isu tambang ilegal dan pengawasan kawasan industri secara keseluruhan.

Sikap keras ini menandai bahwa era Prabowo tidak lagi sekadar memfasilitasi investasi besar, tetapi memasuki fase “pengetatan pengawasan terhadap industri raksasa”.

Penutup : Mengembalikan Negara di Infrastruktur Strategis

Polemik Bandara IMIP bukan semata-mata persoalan legal atau ilegal. Ia adalah cermin perubahan besar: dari hilirisasi cepat yang melampaui daya kontrol negara, menuju era pemerintahan baru yang berupaya menegakkan kembali otoritas melalui regulasi, audit, dan penegakan hukum.

Pertanyaan pokoknya sederhana namun fundamental:
Apakah negara cukup hadir dalam setiap infrastruktur strategis yang menopang industri kritis seperti nikel ?

Jawabannya akan menentukan bukan hanya nasib Bandara IMIP, tetapi arah pembangunan industri Indonesia dekade ke depan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K