Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Saya tidak berani kalau tidak memiliki data lengkap dan pengetahuan yang dalam mengatakan bahwa banjir bandang di Sumatra itu adalah sebuah “dosa ekologi”. Namun yang berpendapat seperti itu adalah pakar dari UGM tepatnya Dr. Hatma Suryatmojo – dosen Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta. Beliau ini adalah Peneliti Konservasi Hidrologi dan DAS dan pendapat beliau ini bisa dilihat di Laman resmi UGM.
Dr. Hatma Suryatmojo mengatakan bahwa banjir bandang pada akhir November 2025 bukanlah peristiwa yang terisolasi (bukan satu-satunya). Para ahli memandangnya sebagai bagian dari pola bencana hidrometeorologi yang berulang yang telah meningkat selama dua dekade terakhir. Mereka muncul dari kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia….. (kalau pakai bahasa saya yang sederhana ….”kelakuannya manausia”, “ulah tingkah manusia” atau “keserakahan manusia”).
Memang curah hujan di Indonesia terutama di Pulau Sumatra sangat tinggi. Menurut BMKG curah hujan harian sudah melebihi 300 milimeter. Namun menurut beliau, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak destruktif sangat diperparah oleh melemahnya pertahanan alam di DAS bagian atas. Hal tersebut dapat mengurangi kapasitas ekologis daerah untuk menyerap dan mengatur curah hujan yang tinggi. Hilangnya tutupan hutan berarti hilangnya fungsi hutan yang mengatur siklus air melalui proses hidrologi seperti intersepsi, infiltrasi, evapotranspirasi, dan pengendalian erosi. Tanpa fungsi-fungsi tersebut, erosi masif dan tanah longsor terjadi, membentuk prekursor banjir bandang.
Padahal hutan di DAS hulu berfungsi sebagai penyangga hidrologi kritis. Vegetasi hutan lebat bertindak seperti spons raksasa, menyerap air hujan ke dalam tanah dan mencegahnya mengalir langsung ke sungai. Studi di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan bahwa kanopi hutan dapat mencegat 15-35 persen curah hujan.
Sang dosen UGM ini prihatin bahwa deforestasi besar-besaran yang terjadi di banyak daerah aliran sungai hulu Sumatera. Di Aceh, misalnya, sekitar 59 persen provinsi (±3,37 juta hektar) tetap menjadi hutan alam pada tahun 2020. Namun, data gabungan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh dan organisasi lingkungan menunjukkan bahwa provinsi itu kehilangan lebih dari 700.000 hektar hutan antara tahun 1990 dan 2020.
Kondisi bahkan lebih memprihatinkan di Sumatera Utara, di mana tutupan hutan hanya menyumbang sekitar 29 persen dari luas daratan (±2,1 juta hektar) pada tahun 2020. Hutan yang tersisa terfragmentasi di seluruh pegunungan Bukit Barisan barat, termasuk bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser, dan kantong-kantong konservasi seperti Tapanuli. Bahkan hutan utuh memiliki batasan jumlah curah hujan yang dapat mereka serap. Di bawah curah hujan ekstrem, kapasitas ini kewalahan, meningkatkan kemungkinan tanah longsor. Puing-puing tanah longsor, tanah, batu, dan batang pohon dapat membendung sungai dan menciptakan penyumbatan alami sementara.
Volume besar air yang terakumulasi dengan cepat melebihi kapasitas sungai, dan ketika bendungan alami gagal, itu memicu banjir bandang. Tanah yang tidak lagi berlabuh oleh akar mudah terkikis, mengirimkan lumpur dan pasir ke sungai, di mana ia menumpuk dan menyebabkan dasar sungai dangkal.
Salah satu benteng hutan terakhir yang tersisa di Sumatera Utara adalah ekosistem Batang Toru, yang sekarang berada di bawah tekanan berat dari aktivitas manusia. Batang Toru terus terdegradasi oleh konsesi dan operasi perusahaan mulai dari penebangan liar hingga pengembangan perkebunan dan penambangan emas. Hutan yang terfragmentasi dan tertekan kehilangan banyak fungsi ekologisnya dalam pengaturan curah hujan dan pengendalian banjir.
Sumatera Barat memiliki sekitar 54 persen tutupan hutan (±2,3 juta hektare) pada tahun 2020. Meskipun tutupan hutannya lebih tinggi daripada Sumatera Utara, provinsi ini memiliki salah satu tingkat deforestasi tertinggi di negara ini. Walhi Sumatera Barat melaporkan bahwa antara tahun 2001 dan 2024, provinsi ini kehilangan sekitar 320.000 hektar hutan primer dan 740.000 hektar total tutupan pohon (gabungan hutan primer dan sekunder). Pada tahun 2024 saja, deforestasi mencapai 32.000 hektar. Sebagian besar hutan Sumatera Barat yang tersisa terletak di lereng curam di sepanjang pegunungan Bukit Barisan, yang berarti bahwa hilangnya hutan secara tajam meningkatkan risiko tanah longsor dan banjir bandang.
“Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatera pada November 2025 pada dasarnya adalah akumulasi ‘dosa ekologis’ yang sudah lama ada di DAS hulu. Cuaca ekstrem hanyalah pemicunya; Tingkat keparahan bencana mencerminkan degradasi lingkungan yang luas dari hulu ke daerah hilir,” katanya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Korban Banjir Sumatera Mulai Terserang Penyakit, Wakil Ketua Komisi IX Yahya Zaini Minta Kemenkes Kirim Dokter dan Obat

Imam Utomo Turun Gunung Kawal RS Pura Raharja Hadapi Konflik Internal

Walhi : Pemicu Utama Banjir Bandang di Sumut Bukan Cuaca Ekstrem, Melainkan Kerusakan Hutan Batang Toru

Menteri LH: Harus Ada Yang Tanggung Jawab Atas Kerusakan Hutan Batang Toru

Presiden Terlambat Dapat Informasi? Mengurai Kekacauan Koordinasi di Lingkaran Prabowo

Menteri LH Pastikan Kayu Yang Terbawa Banjir Adalah Hasil Penebangan, 4 Perusahan Disegel

Kepala Dinas Kesehatan Jombang Harus Tindak Tegas, Dugaan Malpraktek Di Puskesmas Bandar Kedungmulyo

ASPIRASI: Korupsi Musuh Utama Pekerja Indonesia, Sahkan UU Perampasan Aset Sekarang!!

Puncak berlakunya sunatullah kerusakan adalah dengan Allah datangkan pemimpin yang menjadi sebab sampainya adzab bencana

Presiden Prabowo Singkirkan Perasaan Pekewuh, Ini Negara, Pecat Semua Pejabat Yang Akan Menghambat Kerja Presiden


No Responses