ZONASATUENWS.COM–Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattaliti kembali menyampaikan perlunya melakukan amandemen ke-5 terhadap UUD 1945. La Nyalla menegaskan hal itu saat tampil sebagai pembicara di FGD Pasca Sarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang dilakukan secara virtual, Kamis (8/7/2021).
Dalam FGD bertema “Penghapusan Ambag Batas Pencalonan Presiden Sebagai Peneguhan Kedaulatan Rakyat dan Penguatan Sistem Presidensiil” itu La Nyalla membeberkan alasan perlunya amandemen ke-5 terhadap UUD 1945 tersebut sebagai koreksi terhadap amandemen sebelumnya. Pasalnya, banyak frasa kalimat dan norma yang harus dikoreksi dari hasil amandemen konstitusi tahun 2022 tersebut.
Sebagai akibat amandemen tersebut lahirlah beberapa UU yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang mengatur Presidentian Threshold yang dipandang mengibiri kedaulatan rakyat, dengan membatasi calon-calon pemimpin terbaik untuk mendapatkan hak yang sama agar bisa tampil dalam Pemilihan Umum.
“UU Tentang Pemilu dalam pasal 222 yang memberikan ambanng batas 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara partai politik secara nasional, sama sekali tidak derivatif dari pasal 6A UUD hasil amandemen tahun 2002. Karena paal 6A ayat(3) dan (4) mengatur ambang batas keterpilihan, bukan pencalonan,” kata La Nyalla.
Tetapi faktanya, lanjutnya, oleh Mahkamah Konstitusi hal itu dianggap Open Legal Policy pembuat undang-undang.
Menurutnya, DPD RI memperjuangkan amandemen ke-5 agar dilakukan koreksi dan memberikan frasa yang lebih kuat agar tidak ada ambeng batas begi pencalonan presiden.
“Setiap partai politik atau gabunan partai politik berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa batas minimal perolehan suara,” jelasnya.
DPD RI membutuhkan rekomendasi dan latar belakang pemikiran, perlunya memberikan frasa yang lebih jelas dan kuat terhadap hal itu.
Pada pasal 222 UU Pemilu terdapat frasa “pada Pemilu DPR sebelumnya” terkait dengan kepesertaan pada Pemilihan Umum. Poin tersebut juga dianggap tidak derivatif dengan pasa 6A ayat (2) UUD 1945.
Pasal 6 A ayat (2) menyebutkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilhan umum “sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Menurut para pelaku amandemen kalimat “sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum” normanya adalah partai politik peserta pemilu saat itu mendaftarkan nama Capres dan Cawapres sebelum pilpres.
“Makna dan hermeneutika kalimat ‘sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum’ sangat berbeda dengan kalimat ‘pada Pemilu anggota DPR sebelumnya’,” jelas La Nyalla.
Atas dasar hal tersebut dia menilai menjadi sangat tidak logis bila Pasangan Capres dan Cawapres di Pilpres 2019 diajukan oleh partai politik peserta Pemilu tahun 2014.
Begitu juga dengan Pilpres tahun 2024 nanti diajukan oleh partai politik peserta Pemilu tahun 2019.
“Namun menurut MK, lagi-lagi itu dianggap Open Legal Policy sehingga upaya Judicial Review atas pasal 222 UU Pemilu mengalami kegagalan,” tegasnya.
EDITOR : SETYANEGARA
Related Posts

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Jejak Kekuatan Riza Chalid: Mengapa Tersangka “Godfather Migas” Itu Masih Sulit Ditangkap?

Penjara Bukan Tempat Para Aktifis

FTA Mengaku Kecewa Dengan Komposisi Komite Reformasi Yang Tidak Seimbang

Keadaan Seperti Api Dalam Sekam.

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah

Pak Harto Diantara Fakta Dan Fitnah

Surat Rahasia Bank Dunia: “Indonesia Dilarang Membangun Kilang Minyak Sendiri”



ventilator aerNovember 26, 2024 at 11:52 am
… [Trackback]
[…] Info to that Topic: zonasatunews.com/nasional/ketua-dpd-ri-aturan-pencalonan-presiden-harus-dirombak-agar-putra-putri-terbaik-bangsa-bisa-tampil/ […]