Ketua DPD RI : Amandemen ke-5 dan Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden

Ketua DPD RI : Amandemen ke-5 dan Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Ketua DPD RI AA La Nyalla M Mattalitti saat tampil sebagai pembiicara di FGD Pasca Sarjana Unair bertema “Penghapusan Ambag Batas Pencalonan Presiden Sebagai Peneguhan Kedaulatan Rakyat dan Penguatan Sistem Presidensiil”,Kamis (8/7/2021)

Oleh: AA. LaNyalla Mahmud Mattalitti*

Saya sudah keliling ke 33 Provinsi di Indonesia. Kurang satu saja, Kalimantan Tengah. Dari perjalanan saya, akhirnya saya menemukan satu kesimpulan, mengapa hampir semua permasalahan di daerah sama. Mulai dari persoalan sumber daya alam daerah yang terkuras, hingga kemiskinan dan indeks kemandirian fiskal daerah yang jauh dari kata mandiri. Setelah saya petakan, ternyata akar persoalannya ada di hulu. Bukan di hilir.

Akar persoalan yang ada di hulu adalah ketidakadilan sosial. Padahal keadilan sosial adalah tujuan hakiki dari lahirnya negara ini, seperti dicitacitakan para pendiri bangsa dan menjadi sila pamungkas dari Pancasila. Mengapa keadilan sosial sulit terwujud? Ternyata karena adanya kekuatan modal dan kapital dari segelintir orang untuk mengontrol dan menguasai kekuasaan. Inilah yang belakangan sering disebut dengan istilah Oligarki.

Di mana oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpulsimpul kekuasaan. Dan kemudian oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Mengapa ini bisa terjadi? Karena memang di dalam konstitusi dan undang-undang turunannya dibuka peluang untuk terjadinya dominasi segelintir orang untuk menguasai dan menguras kekayaan negara ini.

Maka, pembenahan atau koreksi atas hal itu harus dilakukan di hulu. Bukan di hilir. Karena itu saya datang ke kampus-kampus untuk menggugah kesadaran publik.

Ketua DPD RI AA La Nyalla M Mattalitti saat tampil sebagai pembiicara di FGD Pasca Sarjana Unair bertema “Penghapusan Ambag Batas Pencalonan Presiden Sebagai Peneguhan Kedaulatan Rakyat dan Penguatan Sistem Presidensiil”,Kamis (8/7/2021)

Untuk memantik pemikiran kaum terdidik dan para cendekiawan agar terbangun dalam suasana kebatinan yang sama, yaitu untuk memikirkan bagaimana Indonesia ke depan lebih baik. Bagaimana Indonesia bisa menjadi negara seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Bukan negara dengan mazhab kapitalisme liberal.

Karena kalau kita mau jujur, silakan dijawab; Apakah arah perjalanan bangsa ini semakin menuju apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini, atau semakin menjauh dari cita-cita yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945?

Presidential Threshold dan Peluang Calon Presiden Perorangan

Ada dua fokus materi dalam FGD kali ini. Yakni presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan peluang calon presiden perorangan, atau dari jalur non-partai. Dua fokus bahasan tersebut saling terkait.

Bahkan terkait juga dengan pengantar saya di atas tadi. Yaitu soal keadilan sosial. Para narasumber dan peserta FGD pasti telah mempelajari dengan detil materi FGD kali ini. Saya hanya akan memberi penekanan singkat saja.

Pertama, Undang-Undang tentang Pemilu di Pasal 222 yang memberi ambang batas 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara partai politik secara nasional, sama sekali TIDAK DERIFATIF dari pasal 6A Undang-Undang Dasar hasil Amandemen 2002. Karena Pasal 6A Ayat (3) dan (4), mengatur Ambang Batas keterpilihan. Bukan pencalonan. Tetapi faktanya, oleh Mahkamah Konstitusi hal itu dianggap Open Legal Policy pembuat undang-undang.

Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti

Di sini masalahnya. Oleh karena itu, DPD RI ingin memperjuangkan agar dalam Amandemen ke-5, harus dilakukan koreksi dengan memberi Frasa yang lebih kuat tentang tidak adanya ambang batas pencalonan.

Karena setiap partai politik atau gabungan partai politik berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Untuk itu, DPD RI, melalui FGD kali ini, membutuhkan rekomendasi dan latar belakang pemikiran, perlunya memberi Frasa yang lebih jelas dan kuat terhadap hal itu.

Kedua, masih dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu dimana terdapat kalimat; ….pada Pemilu anggota DPR sebelumnya…. juga TIDAK DERIFATIF dari Pasal 6A Ayat (2) yang diambil dari kalimat; …. sebelum pelaksanaan pemilihan umum…. Karena makna dan hermeneutika kalimat …. sebelum pelaksanaan pemilihan umum…. SANGAT BERBEDA dengan kalimat ….….pada Pemilu anggota DPR sebelumnya….

Tapi lagi-lagi, oleh Mahkamah Konstitusi hal itu dianggap Open Legal Policy. Sehingga upaya Judicial Review atas Pasal 222 UndangUndang Pemilu mengalami kegagalan. Padahal kalimat ….pada Pemilu anggota DPR sebelumnya… telah menjadi penghalang bagi partai politik baru peserta pemilu pada 2024 nanti untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Empat Dampak Negatif Presidential Threshold

Sementara 6 konstitusi menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik. Jadi UU Pemilu, khususnya Pasal 222 itu dapat disimpulkan sebagai disain besar dari oligarki untuk menguasai negara secara keseluruhan, sehingga negara mengabdi pada tujuan oligarki untuk memperkuat akumulasi kekayaannya. Kalau perlu negara harus menjadi pelayan bagi kaum oligarki.

Saya mencatat setidaknya ada 4 dampak negatif yang terjadi di negara ini akibat adanya presidential threshold yang diatur di Undang-Undang Pemilu tersebut.

Ketua DPD RI, LaNyalla Mahmud Mattalitti saat berbicara dalam FGD di Universitas Airlangga Surabaya/Ist

Yang pertama, hanya akan muncul dua pasangan calon yang head to head. Meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon. Tetapi tidak begitu dalam prakteknya. Buktinya, dalam pemilu yang lalu-lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon.

Dampaknya, kita menyaksikan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput. Dan itu masih kita rasakan hingga detik ini. Dan sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa dan negara ini.

Kedua, presidential threshold mengerdilkan potensi bangsa. Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya.

Semakin sedikit kandidat 7 yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik.

Ketiga, presidential threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih. Peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi, karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju. Sehingga kedaulatan rakyat melemah digerus kedaulatan partai yang semakin menguat.

Dan keempat, partai kecil cenderung tak berdaya di hadapan partai besar terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama. Padahal sejatinya, partai politik didirikan adalah untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional. Tetapi dengan aturan ambang batas pencalonan presiden itu, maka peluang kader partai politik untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres.

Apalagi dalil bahwa presidential threshold ini dikatakan untuk memperkuat sistem presidensil, agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.

Persoalan di Hulu Tak Pernah Terbahas

Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah.

Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu. Bukan di hilir. Terus terang, selama ini yang banyak diperdebatkan dan didiskusikan di masyarakat adalah persoalan-persoalan di hilir. Bukan di hulu. Meskipun berkongsi dalam politik adalah sesuatu yang lumrah. Namun menjadi jahat ketika kongsi dilakukan dengan mendesain hanya agar hanya ada dua pasang kandidat Capres-Cawapres, yang bisa benarbenar berlawanan dan memecah bangsa, atau sebaliknya bisa pula seolaholah berseteru. Aturan presidential threshold bisa membuka peluang menuju dua kemungkinan itu. Terlebih ketika oligarki semakin menguat. Didukung jaringan dan sokongan finansial, oligarki bisa mengatur permainan politik di dua kubu bersebelahan.

Terkait dengan peluang calon presiden dan calon wakil presiden perorangan, atau dari kalangan non-partai, adalah sebuah ikhtiar untuk mengembalikan atau memulihkan hak konstitusional DPD RI dalam mengajukan pasangan capres-cawapres. Disebut memulihkan, karena bila melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, hilangnya hak DPD RI untuk mengajukan kandidat caprescawapres adalah kecelakaan hukum yang harus dibenahi.

Dulu, sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan. Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon.

DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Maka, hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dihilangkan. Termasuk hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Lagipula, DPD memiliki legitimasi yang kuat.

Bila Utusan Daerah dipilih secara eksklusif oleh anggota DPRD Provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. Ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif Non-Partisan yang memiliki akar legitimasi kuat dan mandat langsung dari rakyat.

Survei Akar Rumput Strategis Consulting

Kita bisa berkaca kepada hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 yang lalu, dimana hasilnya ditemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai.

Studi ini harus direspons dengan baik. Seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai. 

KETERANGAN FOTO : Ketua DPD RI saat berbelanja di gerai UMKM TravelFood di Kawasan Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan beberapa waktu yang lalu.

Makanya saya menggagas bahwa Amandemen ke-5 nanti, harus kita jadikan momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa. Kalau Partai Politik, yang di parlemen direpresentasikan melalui DPR RI, dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres, maka DPD RI sebagai representasi daerah idealnya juga mendapat kesempatan yang sama untuk mengusung, misalnya satu pasangan calon presiden dan wakil presiden dari usulan DPD RI.

Apalagi negara bangsa ini lahir atas proses panjang perjuangan komunitas civil society, yang meliputi Kerajaan Nusantara hingga pesantren serta organisasi masyarakat sipil lainnya. Bukan dilahirkan oleh partai politik.

Akhir kata, semoga kampus kembali menjadi pemantik kesadaran publik dan kesadaran para pejabat pemegang amanah untuk mengingat sumpah jabatannya dan kemudian duduk bersama untuk merumuskan perbaikan negeri ini ke depan.

Dan bila rakyat, khususnya kaum terdidik di kampus sungguhsungguh menghendakinya, maka DPD RI siap menjadi wadah yang menampung dan menyalurkan aspirasi tersebut. Yakinlah bahwa niat baik, insya Allah akan menghasilkan sesuatu yang baik. Teruslah bekerja keras dan bekerja ikhlas, demi Indonesia yang lebih baik.(*)

*Ketua DPD RI
Disampaikan ketika sebagai Keynote Speech pada “Focus Group Discussion Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden Sebagai Peneguhan Kedaulatan Rakyat dan Penguatan Sistem Presidensiil” Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya Kamis, 8 Juli 2021.

EDITOR : SETYANEGARA

Last Day Views: 26,55 K