SURABAYA – Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) adalah kampus yang menjalankan toleransi secara penuh dan nyata. Pernyataan ini bukanlah ispan jempol. Tapi ini disampaikan oleh dua wisudawan kampus di bawah Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (YARSIS) masing-masing, Maria Redonna Indah Rahayu dan Ni Nyoman Sukartini yang Kamis (26/9) siang diwisuda dan diambil sumpah.
Dua permpuan ini menjalani prosesi wisuda bersama 1.082 wisudawan lain yang beragama Islam di Dyandra Convention Hall, Jl, Basuki Rachmat, Surabaya. Dihubungi secara terpisah mereka mengungkapkan jika Unusa benar-benar menjadi kampus toleransi. Mereka merasakan itu selama menjalani pendidikan di sana hingga di wisuda. “Tidak ada perbedaan baik yang diterima dari mahasiswa maupun dosen. Semua diperlakukan sama,” kata Maria Redonna Indah Rahayu.
Dikatakannya, dia mengikuti perkuliahan Program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) untuk menyelesaikan jenjang Sarjana Keperawatan. Sebelumnya dia menyelesaikan pendidikan Diploma 3 di Rumah Sakit RKZ kota Malang, lulus tahun 2009. Lalu karena tuntutan rumah sakit dimana dia bekerja saat ini, agar memiliki akreditasi paripurna, maka tiap karyawannya diminta untuk menempuh pendidikan sarjana atau S1. “Karena ada izin dan peluang bisa melanjutkan ke tingkat pendidikan lebih tinggi saya beserta 17 karyawan lainnya mengikuti RPL di Unusa atas biaya sendiri, institusi tempatnya bekerja hanya memberikan izin,” katanya.
Ada hal menarik yang menurut isteri dari Bridagir Paskalis Aditya Setyawan, saat dia mengikuti perkuliahan di Unusa. Seperti diketahui salah satu keunggulan Prodi Keperawatan di Unusa adalah pada Keperawatan Komunitas dan ini menjadi mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh semua mahasiswa. “Mata kuliah ini praktiknya di salah satu komunitas pondok pasantren. Waktu itu saya praktik di pondok pasantren, karena masuk ke wilayah kawasan wajib berhijab, maka saya pun untuk bisa memberi pelayanan maksimal kepada warga ponpes, mengenakan jilbab. Saya beli dua buah untuk digunakan selama dua minggu berpraktik di sana. Saya tidak merasa dipaksa, tapi bagian dari menjalankan toleransi,” katanya menjelaskan.
Tapi, kata ibu dua anak ini menambahkan, dia tidak mengenakannya dari rumah, khawatir jadi bahan pertanyaan anak-anak. “Saya menggunakannya saat akan masuk pondok. Dua minggu itu saya mengenakan jilbab di ponpes,” kata wanita kelahiran, Banyuwangi, 21 Oktober 1987.
Bagi Maria, semua itu dijalankannya tidak dengan keterpaksaan. Apalagi di tempatnya bekerja sebagai perawat dan juga lafal janji seorang perawat yang pernah diucapkannya, tidak membedakan terhadap asal-usul sosial, jenis kelamin, bendera partai atau lainnya seorang pasien. “Jadi saya biasa saja menjalankan dan menempuh mata kuliah tersebut,” katanya.
Lain lagi cerita yang disampaikan oleh Ni Nyoman Sukartini, peserta Program Studi Profesi Ners yang beragama Hindu. Alumni D3 Akper RSPAD Gatot Subroto, Jakarta ini adalah perawat dengan pangkat Peltu di RS AL Dr. Ramelan Surabaya. Ia menempuh pendidikan Profesi Ners karena sebelumnya mengambil Program RPL juga di Unusa, jadi sudah tidak asing lagi dengan pergaulan yang ada di Unusa. “Semuanya berjalan normal dan apa adanya, tidak membedakan terhadap asau-usul seseorang termasuk soal keyakin. Itu bukan hanya di lingkungan mahasiswa tapi juga di dosen dan karyawan,” katanya.
Bagi Ni Komang Sukartini, hal yang paling dirasakan saat mengikuti Program RPL maupun menjalani Profesi Ners di Unusa adalah pengetahuan yang diperoleh tentang manajemen keperawatan. “Saya jadi makin paham dan tahu bahwa keperawatan itu bukan hanya soal kemampuan keterampilan tapi juga ada manajemen keperawatan yang harus dipahami. Ini menurut saya pengembangan ilmu yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seorang perawat,” kata ibu tiga anak kelahiran Tabanan, Bali, 9 Desember 1976.
Dikatakannya, hal terberat yang dia rasakan saat menjalani pendidikan Profesi Ners adalah beban kerja yang dijalaninya, karena pagi bekerja lalu sore kadang sampai malam harus belajar atau kuliah. “Dukungan dan pengertian dari keluarga sangat membantu dalam menyelesaikan pendidikan yang saya jalani ini,” katanya. (Sumber: Humas Unusa)
EDITOR: REYNA
Related Posts

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Mengapa OTT Kepala Daerah Tak Pernah Usai?

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Jejak Kekuatan Riza Chalid: Mengapa Tersangka “Godfather Migas” Itu Masih Sulit Ditangkap?

Penjara Bukan Tempat Para Aktifis

FTA Mengaku Kecewa Dengan Komposisi Komite Reformasi Yang Tidak Seimbang

Keadaan Seperti Api Dalam Sekam.

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah


No Responses