Tiga Kasus Besar Dan Permintaan Pemanggilan Mantan Presiden

Tiga Kasus Besar Dan Permintaan Pemanggilan Mantan Presiden
Sumber gambar: Koran Kota

JAKARTA – Di tengah pusaran politik pasca-pemilu, publik kembali dihadapkan pada isu sensitif: munculnya tiga kasus besar yang menyeret nama mantan menteri dan pejabat tinggi negara. Meski kasus-kasus tersebut secara formal ditangani KPK, sorotan publik tertuju pada satu benang merah: permintaan terbuka agar mantan Presiden diperiksa sebagai saksi.

Ketiga kasus ini tidak berdiri sendiri. Mereka berkelindan dalam narasi besar tentang integritas penyelenggara negara, relasi kekuasaan, dan akuntabilitas pasca-kepemimpinan. Meski belum ada pembuktian hukum yang mengarah pada keterlibatan langsung mantan Presiden, gelombang desakan pemeriksaan menguat dari pernyataan resmi para tokoh yang terlibat.

Kasus Pertama: Kuota Haji & Mantan Menteri Agama

Kasus yang melibatkan mantan Menteri Agama ini bermula dari dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan kuota haji. Saat menjalani pemeriksaan di KPK, mantan Menteri Agama Yaqut Qoumas membuat pernyataan publik yang mengejutkan: ia meminta agar mantan Presiden dipanggil untuk memberikan keterangan.

Pernyataan tersebut memicu spekulasi luas. Mengapa Yaqut begitu yakin bahwa pemanggilan tersebut relevan? Apakah ada komunikasi atau kebijakan strategis terkait kuota haji yang perlu diungkap?

Bagi sebagian pengamat, ini adalah indikasi bahwa penyidikan belum menyentuh seluruh simpul yang memegang peran penting di masa lalu.

Kasus Kedua: Program Digital Pendidikan & Mantan Menteri Pendidikan

Mantan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, menjadi pusat perhatian dalam kasus pengadaan sistem digital pendidikan berskala nasional. Program ini, yang awalnya digadang-gadang sebagai lompatan modernisasi, belakangan disorot karena adanya temuan pemborosan anggaran dan dugaan mark-up.

Yang membuat kasus ini berbeda adalah pernyataan Nadiem kepada media bahwa dirinya siap memberikan kesaksian, bahkan jika itu berarti memanggil mantan Presiden. Ia menegaskan bahwa setiap kebijakan strategis pada masa jabatannya berada dalam koordinasi tingkat tinggi, yang secara hierarkis melibatkan kepala negara.

Bagi publik, ucapan ini memberi sinyal bahwa peran mantan Presiden dalam mengarahkan kebijakan besar di kementerian patut diuji secara hukum, setidaknya untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi.

Kasus Ketiga: OTT Wakil Menteri & Jejak Kebijakan Ketenagakerjaan

Kasus terakhir melibatkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan kala itu, Ebenezer, yang tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Kasus ini awalnya dianggap sebagai perkara individual, namun berkembang menjadi isu yang lebih kompleks setelah Ebenezer mengungkap bahwa kebijakan tertentu di kementeriannya saat itu tidak lepas dari arahan politik tingkat pusat.

Dalam sebuah wawancara, Ebenezer juga menyampaikan pandangan bahwa mantan Presiden memiliki informasi penting yang dapat membantu mengurai persoalan. Ia tidak menuduh, tetapi menegaskan bahwa keterbukaan semua pihak, termasuk mantan Presiden, akan mempercepat penuntasan kasus.

Titik Persamaan: Benang Merah yang Mengarah ke Puncak

Meski ketiga kasus tersebut berbeda sektor—haji, pendidikan, dan ketenagakerjaan—ada pola yang serupa. Setiap pejabat yang diperiksa atau terlibat menyebut bahwa pengambilan keputusan strategis selalu melibatkan lingkaran inti kekuasaan.

Hal inilah yang menjadi dasar bagi desakan publik: jika memang ingin membuktikan komitmen pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu, maka memanggil mantan Presiden sebagai saksi adalah langkah yang logis dan adil.

Para pakar hukum tata negara menilai, secara yuridis tidak ada yang melarang pemeriksaan seorang mantan presiden sebagai saksi, selama prosesnya mengikuti mekanisme hukum yang berlaku. Precedent ini bahkan pernah terjadi di negara lain, di mana mantan kepala negara bersedia hadir di pengadilan untuk memberi keterangan.

Respons Politik & Dampak Terhadap Kepercayaan Publik

Respons dari lingkaran politik mantan Presiden cenderung defensif. Mereka menilai bahwa desakan tersebut bermuatan politis, terlebih di tengah dinamika transisi kekuasaan. Namun di sisi lain, kelompok masyarakat sipil berpendapat bahwa pemeriksaan mantan Presiden justru akan memperkuat kepercayaan publik pada sistem hukum, karena menunjukkan bahwa hukum berlaku setara bagi semua.

Bagi publik, ini bukan sekadar soal individu, melainkan soal pembuktian bahwa negara mampu menegakkan hukum secara konsisten, bahkan terhadap orang yang pernah berada di puncak kekuasaan.

Penutup: Antara Keberanian & Preseden Baru

Tiga kasus besar ini telah membentuk narasi baru tentang hubungan antara pejabat publik, kebijakan nasional, dan akuntabilitas kepala negara. Permintaan pemanggilan mantan Presiden menjadi ujian penting bagi KPK dan lembaga penegak hukum lainnya.

Apakah ini akan menjadi momen bersejarah di mana Indonesia menetapkan preseden baru—bahwa tidak ada satu pun pejabat, termasuk mantan kepala negara, yang berada di atas hukum?

Jawabannya bergantung pada keberanian institusi penegak hukum, serta dukungan publik untuk memastikan bahwa proses ini tidak berhenti di tengah jalan.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K