Api Diujung Agustus (Seri 14) – Balas di Panggung Publik

Api Diujung Agustus (Seri 14) – Balas di Panggung Publik

Fiksi Politik

Oleh: Budi Puranto

Kota terbangun oleh dentuman bukan dari langit, melainkan dari riuh televisi. Berita pagi segera berubah jadi kecamuk ketika layar-layar menayangkan satu pesan singkat dan dingin: rekaman video berisi wajah Komandan Bram yang diproyeksikan di dinding Istana Budaya, diikuti tuntutan yang sama sekali bukan isyarat kompromi—melainkan pengumuman kehadiran Garuda Hitam di panggung nasional.

Episode 1 — Proyeksi di Panggung

Tepat ketika rapat kabinet sedang dimulai, layar hadapan gedung kebudayaan yang biasanya menampilkan jadwal konser tiba-tiba dipenuhi wajah Bram. Suaranya berat, tanpa emosi palsu:

“Kami tidak meminta ruang untuk bernegosiasi. Kami menuntut kembalinya kedaulatan yang dicuri. Lihat siapa yang kalian rangkul—lihat siapa yang kalian tahan.”

Di bawah layar, klip-klip singkat muncul: konvoi logistik bermuatan kotak-kotak palsu; daftar nama yang sebelumnya dicuri Seno; rekaman singkat koridor penjara yang menampilkan Ratna berjalan diborgol. Tidak ada ledakan di sana, tidak ada darah—tapi pesan itu eksplisit: Garuda Hitam ada, dan mereka memiliki bukti untuk merusak reputasi banyak orang.

Massa berkumpul spontan di plaza dekat Istana Budaya; beberapa memegang plakat, beberapa lagi menatap layar dengan ketakutan. Politik berubah dari dengungan di warung kopi menjadi teriakan di jalan.

Episode 2 — Blackout Simbolik

Dalam jam-jam berikutnya, beberapa area penting kota mengalami pemadaman listrik singkat—bukan kecelakaan teknis, melainkan pemutusan terkoordinasi. Di jalan-jalan yang tiba-tiba gelap, lampu-lampu reklame menampilkan pesan-pesan Garuda Hitam yang terpindai dalam warna merah dan hitam. Bank sentral, kantor penyiaran, dan tiga stasiun televisi mengalami gangguan siaran terputus-putus; hal ini menyebabkan spekulasi liar tentang kebocoran data finansial dan keamanan nasional.

Di meja darurat Istana, Pradipa berdiri tegap, mendengar laporan: “Mereka ingin kita merasa tak berdaya, Pak. Mereka ingin tahu—apakah institusi ini akan panik?”

Pradipa menatap peta kota. “Jangan beri mereka panggung lebih dari ini. Kita harus jaga ketertiban—tapi juga harus menjawab pertanyaan publik yang mereka lontarkan.”

Episode 3 — Teror Politik yang Mengguncang

Tidak lama setelah proyeksi dan blackout, terjadi dua aksi yang lebih personal:

Peledakan kecil di monumen simbolis — sebuah perangkat non-lethal meledak di dasar tugu peringatan sebuah reformasi lama, menyebabkan partikel cat yang menodai patung dan mengeluarkan asap berbau iritasi ringan. Tidak ada korban jiwa, namun simbol itu tercemar di hadapan kamera internasional.

Penyanderaan simbolik — sekelompok aktivis pro-Garuda mengambil alih ruang konferensi di sebuah universitas ternama, menahan beberapa staf administrasi sebagai tameng publik. Mereka menyiarkan tuntutan politik melalui akun-akun media yang dibajak. Aksi itu lebih teatrikal daripada mematikan—garis besar: buka kotak-kotak sejarah yang disegel, minta pemeriksaan komprehensif terhadap pejabat-pejabat yang terlibat kasus lama.

Intensinya bukan untuk membunuh, melainkan memaksa dialog di panggung publik—menggunakan ketakutan, rasa malu, dan simbolisme.

Episode 4 — Dampak Politik dan Sosial

Publik terbelah. Sebagian melihat Garuda Hitam sebagai pembongkar cacat institusi—radikal, tapi perlu. Sebagian lain melihat mereka sebagai teroris yang mengganggu ketentraman. Tagar-tagarnya berbahaya: #GarudaPulih, #TerorGaruda, #BukaBukti. Media internasional mulai meliput, pejabat asing menelepon Istana; pasar saham sedikit oleng ketika rumor kebocoran data finansial beredar.

Di pihak Pradipa, tekanan politik memuncak. Partai-partai oposisi mengeluarkan pernyataan hati-hati, menuntut ketegasan tapi juga pemeriksaan kebenaran klaim-klaim Garuda. Di DPR, sebagian politisi mulai membisikkan bahwa penangkapan Ratna harusnya dimanfaatkan untuk menunjukkan bukti—tapi kalau bukti itu tidak cukup, narasi Garuda akan menguat.

Seno, yang memimpin Operasi Bayangan, menatap layar dengan tangan mengepal. “Mereka bermain dengan simbol, bukan nyawa—tapi efeknya lebih berbahaya. Simbol merasuk ke pikiran massa.”

Episode 5 — Pencarian Agen Ganda Memanas

Sementara publik terbakar oleh perdebatan, Bram mengarahkan operasi pembersihan internal. Ia tahu ada agen ganda yang bekerja di jaringan—Maya adalah nama yang kini berbisik di antara pemimpin Garuda. Bram tidak ingin tiba-tiba menyerang warga sipil; ia ingin memakai jejak-jejak kecil sebagai alat penyaringan: korek kayu, pola logistik, kesalahan kecil yang sengaja disemai untuk memancing rumah-rumah aman.

Di sisi lain, operasi intel Seno menemukan feed kamera yang memperlihatkan seseorang menyerahkan paket pada kurir Garuda—siluetnya mirip Maya. Video buramnya dikirim ke Pradipa malam itu; Presiden menatap dan berkata pelan, “Kalau itu benar, kita tak hanya berhadapan dengan Garuda. Kita berhadapan dengan hantu masa lalu yang menuliskan masa depan.”

Cliffhanger — Tanda yang Membelah Malam

Di akhir hari yang kacau, Bram berdiri di gudang pelabuhan, memegang sebuah amplop cokelat. Di permukaannya hanya tertulis satu kata: “UNGKAP”. Ia membuka amplop itu perlahan—di dalamnya sebuah foto: Ratna dalam sel, tersenyum kecil, diambil dari sisi yang hanya mungkin dilakukan oleh seseorang yang sangat dekat dengan proses penahanan—bukan dari kamera pengintai biasa. Di bawah foto itu, ada pesan tercetak: “Kau tak bisa bermain dua wajah lebih lama dari itu.”

Bram menatap foto itu, wajahnya tak berubah, tapi matanya menyala dingin. Di lain sisi kota, Maya menerima pesan singkat yang sama: foto Ratna, kata UNGKAP, lalu sebuah koordinat. Jantungnya berdegup keras. Ia tahu sekarang bahwa permainan telah memasuki lapisan yang lebih pribadi—dan bahwa jadwal pelindungannya mungkin sudah ditarik.

Di Istana, Pradipa menutup rapat darurat dengan suara serak: “Kita harus tahu siapa yang menulis aturan permainan ini—sebelum aturan itu menulis kita.”

Malam menutup hari itu dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Garuda telah memberi sinyal—mereka ada dan tak takut menggunakan panggung publik. Operasi Bayangan punya bukti—tetapi bukti juga bisa menjadi jebakan. Dan di antara semua pihak, satu kebenaran mulai jelas: permainan ini kini bukan hanya perang antar organisasi—tetapi perang narratif untuk hati dan pikiran bangsa.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Api Diujung Agustus (Seri 13) – Aksi Pertama: Operasi Bayangan

Api Diujung Agustus (Seri 12) – Operasi Bayangan

Api Diujung Agustus (Seri 11) – Bayangan Yang Kembali

 

Last Day Views: 26,55 K