Bara Api di Istana Kerajaan Mulyono

Bara Api di Istana Kerajaan Mulyono
Isa Ansori

Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya

Sejarah Kerajaan Mulyono, salah satu kerajaan terbesar di Nusantara, diwarnai oleh kisah-kisah kepahlawanan dan kejayaan, namun juga oleh pertarungan kekuasaan yang menyala-nyala menjelang akhirnya. Menjelang keruntuhan, bara api di dalam istana mulai menyulut keretakan yang tak terelakkan. Pergantian kekuasaan di Kerajaan Mulyono, pada masa-masa akhir menampilkan gambaran yang gelap tentang perebutan tahta, ketidakstabilan politik, dan ambisi pribadi yang membakar persatuan kerajaan.

Kerajaan yang dahulu mampu mengendalikan hampir seluruh wilayah kepulauan Nusantara kini terpecah dalam konflik internal yang menggerogoti kekuatannya dari dalam. Para bangsawan dan pejabat istana yang dulu setia kepada sang raja mulai menunjukkan tanda-tanda perpecahan, mengadu kepentingan pribadi demi kekuasaan yang tersisa. Api kemelut ini membesar di antara intrik, dendam, dan pengkhianatan yang melibatkan keluarga kerajaan hingga para panglima perang.

Sebagai gambaran krisis politik, kisah Kerajaan Mulyono menjelang kejatuhannya tidak hanya mengingatkan kita pada sejarah masa lalu, tetapi juga relevan dengan kondisi kekinian. Ketika sebuah kekuasaan berada di ambang pergantian, intrik politik, ketidakpercayaan, dan rasa takut akan hilangnya kendali sering kali memperuncing perselisihan di antara para elite.

Menjelang akhir masa kekuasaan Raja Mulyono, Istana kerajaan tidak lagi berwibawa sebagai lambang ketenangan dan kepemimpinan. Di balik dinding-dinding tebalnya, api kegelisahan berkobar semakin hebat. Bayang-bayang penghabisan kekuasaan tidak hanya menggerogoti Raja Mulyono, tetapi juga keluarga dan dinasti oligarki yang ia bentuk selama ini. Waktu yang berjalan mendekati pergantian kekuasaan seolah-olah menjadi duri dalam setiap langkah sang presiden.

Kecemasan Raja Mulyono dan Keluarganya, yang dulunya dipandang sebagai pemimpin rakyat, kini dirundung kecemasan yang tak tertahankan. Proyek ambisius seperti Ibu Kota Kerajaan yang seharusnya menjadi peninggalan monumental, malah dipenuhi kritik. Dana besar yang dihabiskan untuk sebuah visi yang tidak jelas, menciptakan kebingungan di antara rakyat dan memicu desakan untuk evaluasi ulang. Setiap hari Raja Mulyono harus berhadapan dengan laporan-laporan yang menunjukkan kegagalan perencanaan, ketidakmampuan manajemen, dan kegelisahan publik yang semakin meluas.

Tidak hanya kebijakan besar seperti Ibu Kota Kerajaan yang membebani pundaknya. Samsul, sang putra, terseret dalam kontroversi dengan akun misterius “Si Jorok”. Akun ini menjadi simbol misteri yang membebani kredibilitas keluarga Kerajaan. Opini publik, yang awalnya bersimpati, kini berubah menjadi gelombang kritik yang terus membesar. Di saat yang sama, Kaipang, dengan gaya hidup hedonisnya bersama istrinya, menambah citra negatif keluarga ini. Pesta-pesta mewah dan gaya hidup mewah yang dipertontonkan di media sosial semakin menjauhkan mereka dari rakyat yang bergelut dengan masalah ekonomi sehari-hari.

Para pembantu raja, yang selama ini menjadi tameng dari serangan-serangan politik, kini mulai goyah. Upaya untuk menutup-nutupi kebijakan yang gagal semakin sulit dilakukan. Di ruang-ruang tertutup, rapat-rapat darurat sering kali berlangsung hingga larut malam. Setiap laporan tentang kerusakan citra, kritik atas kebijakan, dan serangan politik dari lawan-lawan semakin membuat suasana di istana semakin tegang.

Mereka yang dulu berteriak lantang membela, kini mulai kehilangan pijakan. Narasi tentang Ibu Kota Kerajaan sebagai “proyek harapan bangsa” mulai dipertanyakan bahkan oleh anggota kabinet sendiri. Sementara itu, masalah internal dengan anak-anak raja terus menjadi bahan pembicaraan di media massa dan media sosial. Samsul dan Kaipang menjadi pusat perhatian negatif, menambah beban yang Mulyono dan keluarganya rasakan.

Malam-malam Mencekam di Istana Setiap malam di Istana kerajaan terasa semakin mencekam. Di luar istana, demonstrasi mulai bermunculan, menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintahan. Mereka yang dulu menjadi sekutu politik Mulyono perlahan-lahan menjauh, bersiap menghadapi era baru yang mungkin tidak lagi melibatkan mereka. Kecurigaan dan rasa tidak percaya di dalam lingkaran kekuasaan semakin kuat. Ada bisik-bisik tentang pengkhianatan dan kepentingan pribadi yang mengancam stabilitas rezim.

Sang Raja, yang dulu dikenal sebagai pemimpin tenang, kini terlihat rapuh. Bayang-bayang kekalahan politik semakin nyata, dan harapan untuk meninggalkan warisan yang berarti semakin memudar. Para pengamat mulai meramalkan bahwa api di Istana kerajaan ini akan terus membesar, dan mungkin menjadi penutup yang suram bagi kepemimpinan yang pernah dielu-elukan sebagai masa depan baru Indonesia.

Namun, di antara semua kepanikan ini, ada satu hal yang pasti: api di istana bukan hanya tentang kebijakan yang gagal atau masalah pribadi keluarga. Ini adalah gambaran dari suatu kekuasaan yang berada di ujung tanduk, yang mencoba bertahan di tengah badai kritik, kontroversi, dan tantangan yang semakin besar. Kini Sang raja dan permaisurinya disibukkan dengan permintaan maaf dan melempar tanggung jawab, bahwa pemindahan ibu kota kerajaan bukan maunya dia, ini maunya rakyat, rakyat kembali dijadikan tameng atas kegagalan proyek ambisiusnya. Akankah mahkamah rakyat berlaku ?

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K