Belitan Korupsi Dana Sosial BI-OJK, Anggota DPR Terjerat

Belitan Korupsi Dana Sosial BI-OJK, Anggota DPR Terjerat
Ilustrasi: Museum Bank Indonesia (De Javasche Bank)

JAKARTA – Kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial yang digulirkan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini menyeret nama anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) periode 2019-2024.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua anggota Komisi XI DPR, yakni “HG” dan “ST”, sebagai tersangka dalam perkara ini. Mereka diduga menerima gratifikasi puluhan miliar rupiah melalui skema bantuan sosial ke yayasan milik mereka sendiri, yang kemudian dipergunakan untuk aset pribadi atau kepentingan lainnya.
kpk.go.id

Kronologi perkara: Komisi XI DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) bersama mitra kerja BI dan OJK untuk menyetujui rencana anggaran bantuan sosial sejumlah kegiatan tiap tahun. Dalam rapat tersebut, disepakati kuota kegiatan yang kemudian diarahkan ke yayasan yang ternyata dimiliki atau dikelola oleh anggota DPR tersebut. Staf dan tenaga ahli bahkan dilibatkan untuk mengajukan proposal ke yayasan-yayasan milik mereka sendiri. Setelah dana dicairkan, alih-alih digunakan untuk tujuan sosial sebagaimana mestinya, dana dipindahkan ke rekening pribadi atau rekening penampungan staf, lalu dibelanjakan aset atau kepentingan pribadi.

Dari periode 2021-2023, HG menerima total sekitar Rp 15,86 miliar dari BI, OJK dan mitra lainnya; ST menerima Rp 12,52 miliar. Seluruh dana itu diklaim “bantuan sosial”, namun konstruksi perkara menunjukkan rekayasa untuk memperkaya diri sendiri.

Dampak bagi publik dan pemerintahan sangat besar. Pertama, bantuan sosial adalah instrumen penting bagi pemerintah untuk mengurangi ketimpangan dan memperkuat jaring pengaman sosial—karena itu, penyalahgunaan dana ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kedua, kasus ini menghadirkan sinyal bahwa ruang legislatif masih memungkinkan penetrasi korupsi melalui proses penganggaran dan alokasi bantuan sosial.

Reaksi publik pun mengeras. Banyak yang menilai bahwa sistem kontrol internal dalam DPR maupun lembaga mitra kerja belum cukup kuat. Pakar hukum sempat mengingatkan bahwa lembaga legislatif, mitra kerja, serta lembaga negara pengawas seperti BI & OJK perlu memperkuat mekanisme transparansi, audit, dan pertanggungjawaban.

Untuk ke depan, beberapa hal yang perlu diperbaiki antara lain: meningkatkan transparansi alokasi dan penggunaan dana bantuan sosial; memperkuat mekanisme audit eksternal dan independen; memastikan yayasan atau organisasi penerima benar-benar menjalankan program sosial dan bukan hanya sebagai “saluran” dana; serta mempertegas sanksi terhadap penyalahgunaan dana publik.

Penanganan perkara ini akan menjadi tolok ukur seberapa kuat komitmen pemberantasan korupsi di era sekarang, terutama ketika melibatkan legislator dan lembaga keuangan negara. Bagi rakyat, harapan besar tertuju pada terbukanya seluruh proses penganggaran hingga pelaporan penggunaan dana sosial, agar skema yang seharusnya menyentuh masyarakat paling rentan tidak malah ikut “tenggelam” akibat praktik korupsi.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K