Oleh: M. Isa Ansori
Ada satu kegelisahan yang kini tak bisa lagi ditutup dengan kata-kata manis “pembangunan”: bahwa sumber daya alam Indonesia—nikel, hutan, hingga bandara—telah terlalu lama digelayuti oleh jejaring kekuasaan yang kekuatannya nyaris melampaui negara itu sendiri. Mereka bukan bekerja di bayang-bayang gelap; mereka berdiri terang di pusat lingkaran kekuasaan, mempengaruhi, menentukan, dan menggeser batas kewenangan negara demi arah kepentingan tertentu.
Dan ketika publik berbicara tentang konsentrasi kekuasaan SDA, tiga nama tak bisa dielakkan: Joko Widodo, Luhut B. Pandjaitan, dan Zulkifli Hasan. Mereka adalah figur sentral dalam satu dekade terpenting pengelolaan SDA. Arah kebijakan, pola konsesi, hingga arsitektur ekonomi yang bertumpu pada komoditas strategis dibangun dari orbit mereka. Ini bukan sekadar teknokrasi; ini adalah politik SDA yang padat kepentingan.
Sekarang kendali republik berada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Lalu muncul pertanyaan yang tak dapat dihindari: Beranikah Prabowo tegas terhadap Jokowi, Luhut, dan Zulkifli Hasan—tiga figur yang jejak kekuasaannya begitu dalam dalam tubuh kebijakan SDA?
Pertanyaan ini bukan spekulasi. Ini tuntutan publik.
Nikel: Di Mana Ruang Publik Ketika Kebijakan Ditentukan Segelintir Nama?
Indonesia adalah raksasa nikel dunia, tetapi selama bertahun-tahun rakyat hanya menjadi penonton dari pesta besar yang tak pernah selesai. Narasi hilirisasi, industrialisasi, dan lompatan ekonomi nasional dikemas begitu megah—tetapi publik melihat hal yang lain: kabut kepentingan, kabut dominasi dua figur yang terlalu kuat: Jokowi dan Luhut.
Ketika dua nama begitu dominan di sektor strategis sebesar nikel, ruang demokrasi untuk menentukan arah kebijakan mengecil drastis. Keputusan publik terasa diputuskan dalam ruang privat yang tak pernah benar-benar dibuka.
Kini Prabowo berdiri di puncak kekuasaan. Ia harus memilih:
memutus orbit kebijakan lama atau malah masuk ke sirkuit pengaruh yang sudah terbentuk.
Bandara: Ketika Pintu Republik Hampir Terlepas dari Tangan Negara
Pengelolaan bandara yang dilepas melalui skema leasing jangka panjang kepada konsorsium asing adalah alarm keras yang selama ini tidak cukup direspons. Bandara adalah pintu republik. Jika pintu itu dijaga orang lain, apa arti kedaulatan?
Ini bukan soal menolak investasi. Ini soal batas: mana yang boleh dinegosiasikan, mana yang prinsipil.
Keputusan leasing bandara di era Jokowi—yang didorong oleh narasi efisiensi dan modernisasi—justru membuka pertanyaan lebih serius: apakah negara masih memimpin, atau sekadar mengikuti arus kepentingan yang lebih besar daripada dirinya?
Di sini pula Prabowo diuji. Beranikah ia menarik ulang keputusan-keputusan yang lahir di era Jokowi, meski secara politik ia terikat kedekatan dengan pendahulunya itu?
Hutan dan Banjir Sumatra: Jejak Kebijakan Zulkifli Hasan yang Tak Bisa Dihapus Air Bah
Ketika Sumatra digulung banjir, ketika rumah hanyut, sawah tenggelam, dan ribuan warga kehilangan ruang hidup, publik tidak sedang menuduh secara sembrono. Publik hanya merunut jejak yang tersisa di atas kertas: ribuan konsesi, pelepasan kawasan hutan, ekspansi perkebunan yang banyak dilegalkan di era Zulkifli Hasan.
Benar bahwa ia bukan satu-satunya aktor. Namun pola perizinan di masanya menjadi rantai yang terkait langsung dengan kerusakan ekologis hari ini.
Alam tidak pernah menjadi saksi palsu. Ketika hutan ditebang, banjir tinggal menunggu tanggal.
Maka pertanyaan itu kembali muncul: Beranikah Prabowo menata ulang, membongkar, bahkan mencabut konsesi bermasalah yang pernah dilegalkan tokoh yang kini juga berada di lingkar koalisi?
Ketika Negara Mulai Kalah oleh Jejaring Kekuasaan
Dalam politik, ketika kebijakan publik lebih banyak dirancang oleh mereka yang punya kekuatan ekonomi dan akses dibanding oleh pemerintah yang dipilih rakyat, itulah tanda state capture.
Apakah Indonesia mengalami itu? Publik merasakannya:
– aktor yang sama terus mendominasi,
– kebijakan strategis diputuskan dalam lingkar kecil,
– transparansi minim,
– dan negara terasa tidak lagi utuh mengendalikan SDA.
Jika fenomena ini dibiarkan, negara akan mengerut, sementara oligarki membesar.
Di titik inilah Prabowo harus menegaskan garis merah.
Yang Dibutuhkan Bukan Presiden Penerus, Tetapi Presiden Pemutus
Jika Prabowo ingin dikenang sebagai pemimpin yang mengembalikan wibawa negara, ia harus:
1. Menggelar audit total sektor nikel, termasuk keputusan era Jokowi–Luhut.
2. Meninjau ulang skema leasing bandara, dan mengembalikan kontrol penuh negara.
3. Menata ulang izin kehutanan, termasuk warisan kebijakan era Zulkifli Hasan.
4. Memperkuat lembaga pengawasan independen, agar oligarki SDA kehilangan ruang sembunyi.
5. Menjaga jarak politik yang sehat, sekalipun terhadap nama-nama besar yang pernah dianggap “pilar”.
Beranikah Prabowo?
Menjadi tegas kepada warga kecil itu mudah. Menjadi tegas kepada oposisi itu sudah biasa. Namun menjadi tegas kepada Jokowi, Luhut, dan Zulkifli Hasan—tiga figur kuat dengan jaringan politik-ekonomi yang menembus birokrasi—itulah inti pertanyaan besar bagi kepemimpinan Prabowo.
Jika ia ingin dikenang sebagai presiden yang memulihkan martabat negara, maka ia harus mampu mengatakan:
“Kekayaan alam Indonesia bukan milik siapa pun yang berada di lingkar kekuasaan. Ia milik rakyat, dan negara wajib menjaganya.”
Pada akhirnya, sejarah hanya mencatat pemimpin yang berani menegur yang kuat, dan melindungi yang lemah. Dan hari ini, publik hanya ingin tahu satu hal:
Beranikah Prabowo?
Surabaya, 1 Desember 2025
Tentang Penulis :
M. Isa Ansori adalah Penulis dan Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jawa Timur
EDITOR: REYNA
Related Posts

Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Sampaikan Duka Mendalam Atas Banjir dan Lonsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar

Tim Penjaringan dan Penyaringan Tetapkan Muhammad Nabil Calon Tunggal Bacaketum KONI Jatim

Korban banjir di Indonesia mengumpulkan puing-puing rumah dan mata pencaharian yang hanyut

Pengawasan Bandara Morowali Dipertanyakan, Para Tokoh Desak Pemerintah Tegakkan Kedaulatan Negara

Banjir Utara Sumatera, Hanura Minta Pemerintah Tetapkan Status Bencana Nasional

Satu juta orang dievakuasi di Indonesia karena jumlah korban tewas akibat banjir melampaui 600

Kubu Alumni UGM Tantang Andi Aswan, Minta Salinan Ijazah Jokowi Dibawa Ke PN Solo

Jokowi dan LBP Tiba Saatnya Akan Ditangkap Rakyat

Beda Pendapat Rektor UGM vs AI, Faizal Assegaf: Yang Jujur Robot Atau Manusia?

Bantuan Terlambat Datang, Warga Tapanuli Jarah Supermarket



No Responses