Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (13): Negara Dibawah Bayang-Bayang Kartel Migas

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (13): Negara Dibawah Bayang-Bayang Kartel Migas
Gambar Ilustrasi: Para penguasa kartel migas sedang mengadakan rapat

Oleh: Budi Puryanto
Pemimpin Redaksi

Negara di bawah bayang-bayang kartel migas tak selalu ditandai pistol dan jaket kulit. Ia berwujud angka: impor yang membengkak, subsidi yang kian besar, tender gelap, kontrak jangka panjang tanpa transparansi, serta jaringan perusahaan perantara yang menyaru sebagai “market maker”. Ketika semua itu berpadu, publik kehilangan miliaran rupiah tiap hari—bukan hanya melalui kebocoran, tetapi juga lewat harga yang dimanipulasi dan kebijakan yang dibelokkan.

Pertama, lihat struktur energinya. Indonesia sejak lama menjadi net importir minyak. Pada 2023, konsumsi minyak mentah nasional mencapai sekitar 518 juta barel sementara impor minyak (mentah dan produk) masih tinggi; pemberitaan yang merujuk data Kementerian ESDM menyebut impor minyak RI menembus 297 juta barel. Angka-angka ini menegaskan betapa dominannya komponen impor dalam rantai pasok BBM domestik. Ketergantungan impor membuka celah dua hal: permainan harga di hulu (trading) dan biaya logistik yang mudah “dikreasikan”. 

Kedua, lihat uangnya. Beban fiskal energi terus meroket. Untuk 2025, pemerintah menyiapkan pagu subsidi + kompensasi energi sekitar Rp394,3 triliun, naik dari pagu 2024 yang sebesar Rp334,8 triliun. Angka sebesar itu adalah sumbu yang menggiurkan bagi pemain rente, karena setiap selisih kecil pada formula harga, kualitas, atau volume—dari tender impor hingga distribusi—berarti uang besar. ([merdeka.com]
[2])

Ketiga, lihat kuota dan produk. Penyaluran BBM bersubsidi (Pertalite & Solar) diawasi lewat kuota tahunan; menjelang akhir 2024, BPH Migas melaporkan penyaluran baru sekitar 86–87% dari kuota APBN, menggambarkan ketegangan abadi antara kebutuhan riil dan kontrol administratif. Rencana pembatasan penjualan dan reformulasi produk (misalnya wacana penghapusan Pertalite/RON 90) juga berulang kali muncul—menunjukkan bahwa tata kelola hilir kita masih mencari bentuk, dan di ruang abu-abu inilah praktik oportunistik kerap tumbuh.

Keempat, telusuri jejak lembaga perantara. Kasus Petral adalah buku pelajaran klasik: unit trading yang seharusnya efisien justru dituduh jadi “sarang” pengaturan tender miliaran dolar AS saban tahun, hingga akhirnya dibubarkan pada 2015. Meski Petral ditutup, berbagai analisis mengingatkan bahwa pola dan aktornya bisa berganti baju: skema tender tetap, mark-up tetap, hanya kendaraan hukumnya yang berubah. Dengan kata lain, kartel bukan tempat, melainkan metode—dan metode itu punya banyak rumah.

Kelima, lihat sisi teknis: kapasitas kilang. Keterbatasan kilang domestik memaksa kita mengimpor produk jadi (gasoline/diesel) yang marjin perantaranya lebih tebal daripada impor minyak mentah. Buku Statistik Migas ESDM terbaru menunjukkan tren kapasitas dan produksi yang belum mampu menutup kebutuhan; infrastruktur pengolahan memang bertambah, tetapi tak sekencang pertumbuhan konsumsi. Program revitalisasi dan proyek seperti pengoperasian TPPI membantu mengurangi impor—pemerintah bahkan mengklaim bisa memotong impor BBM signifikan jika utilitas kilang optimal—namun eksekusi dan konsistensinya kerap naik-turun. Kekosongan pasokan inilah yang dimanfaatkan pedagang global, broker regional, dan “komprador” lokal untuk memainkan harga dan spesifikasi.

Kilang Shell di Singapura. Foto/Shell.com

Bagimana Kartel Bekerja

Bagaimana modus kartelnya bekerja? Pertama, penguasaan informasi: akses eksklusif ke jadwal tender, kebutuhan volume, dan spesifikasi kualitas. Dengan informasi asimetri, pemain bisa “mengondisikan” harga referensi, memanfaatkan volatilitas pasar, atau membesar-besarkan biaya freight, demurrage, dan insurance.

Kedua, layering kontrak: penggunaan special purpose vehicle (SPV) atau perusahaan perantara di yurisdiksi berbeda untuk menyamarkan marjin.

Ketiga, quality gaming: spesifikasi BBM yang tampak “setara” tetapi kualitasnya menurun beberapa poin RON/CFPP/ sulfur—cukup untuk menurunkan harga beli, namun dijual pada formula yang sama ke APBN.

Keempat, quota arbitrage: memindahkan volume antar wilayah/terminal guna menciptakan “kelangkaan lokal” yang melegitimasi penyesuaian harga dan biaya distribusi. Semua teknik ini dapat berlangsung dalam koridor kertas yang tampak sah.

Apa yang harus dilakukan 

Ada lima koreksi struktural yang realistis. (1) Transparansi tender real-time: semua tender impor crude/produk, biaya shipping, dan hasil quality inspection dipublikasikan granular (port, vessel, spec, supplier, harga per komponen). Pelibatan auditor independen lintas negara wajib sejak awal proses, bukan pasca-fakta.

(2) Reformasi formula harga: kurangi ruang negosiasi “gelap” dengan mengikatkan komponen freight & premium ke indeks publik dan survei multi-sumber, serta audit berkala atas outlier pricing.

(3) Penguatan hilir domestik: percepat revamping kilang dan integrasi petrokimia agar impor produk jadi turun—mendorong crude-to-chemicals dan optimalisasi unit existing seperti TPPI yang terbukti bisa menekan impor ketika utilisasi tinggi.

(4) Digitalisasi kuota dan target subsidi: berlakukan “named allocation” berbasis NIK/NPWP & pelat nomor untuk Solar dan Pertalite (atau penggantinya), plus geofencing nozzle agar penyelewengan kuota menurun.

(5) Forensik kontrak historis: audit investigatif atas kontrak 5–10 tahun terakhir (harga, kualitas, demurrage) menggunakan data pelacakan kapal (AIS), data bea cukai, dan catatan inspeksi laboratorium; hasilnya dipublikasikan, dan proses hukum diprioritaskan pada skema layering lintas yurisdiksi.

Ilustrasi pengeboran minyak Husky-Cnooc Madura Limited (HCML)

Harapan

Ada sinyal harapan. Ketika pemerintah konsisten menambah kapasitas kilang, memperketat transparansi, dan menyehatkan mekanisme subsidi, ruang kartel menyempit. Namun selama impor masih menjadi “urat nadi” BBM dan angka subsidi ratusan triliun mengalir tiap tahun, insentif untuk bermain curang akan selalu ada.

Kuncinya sederhana: buka datanya, ikat harganya, benahi kilangnya, dan tindak tegas jaringannya. Tanpa itu, negara akan terus hidup di bawah bayang-bayang kartel—membayar lebih mahal untuk energi yang seharusnya bisa diperoleh lebih adil dan lebih murah.

EDITOR: REYNA

Baca jua artikel terkait:

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (12): Pengkhianatan di Meja Tender: Siapa yang Menjual Kedaulatan Energi?

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (11): Profil Para “Don” Migas Indonesia, Perampok Berjas Rapi

Menguak Skandal Kotor Mafia Migas (10): Impor Minyak, Sumber Rente Abadi Mafia Migas

Last Day Views: 26,55 K