Cerpen: Tangan-Tangan Kotor di Lautan Minyak Republik

Cerpen: Tangan-Tangan Kotor di Lautan Minyak Republik

Oleh: Setya Negara

Bayang di Atas Laut

Hujan tipis menggantung di udara malam, membasahi permukaan dermaga tua yang berderit dihempas angin laut. Lampu sorot kuning pucat memantul di genangan air, menciptakan ilusi cahaya bergetar di antara kabut asin. Di kejauhan, kapal kargo minyak raksasa Eastern Glory berdiri angkuh, tubuhnya hitam legam, seperti paus purba yang siap menelan rahasia ke perut samudera.

Aku berdiri di balik tumpukan kontainer, jantung berdetak tak beraturan. Bau solar pekat menusuk hidung, bercampur aroma logam basah dan asin laut. Suara langkah berat mendekat dari arah gelap. Seorang pria bersetelan jas, payung hitam menutupi wajahnya, berhenti tepat di sisi dermaga. Di tangannya, sebuah koper hitam—sudah jelas, isinya bukan sekadar dokumen.

“Semua siap?” suaranya berat, nyaris tertelan angin malam.

“Ya, Tuan. Tidak ada hambatan. Kapal akan berangkat sebelum fajar,” jawab seorang pria berseragam pelabuhan, suaranya setengah berbisik.

Dari balik bayangannya, aku hanya bisa menangkap kilatan mata yang penuh keyakinan… atau mungkin keserakahan. Lalu, mereka menghilang ke dalam perut kapal, meninggalkan jejak air hujan dan bayangan yang terus menghantui pikiranku.

Aku tahu malam ini, sesuatu yang besar akan bergerak. Dan ketika Eastern Glory menembus gelap menuju laut lepas, aroma bahaya menyelimuti udara.

Rapat di Hotel Berbintang

Hotel itu menjulang di jantung kota, dikelilingi lampu kota yang berkelip seperti permata. Namun di lantai 23, di sebuah ruangan pertemuan yang tertutup rapat, dunia luar terasa jauh. Tirai tebal menutup jendela, cahaya lampu gantung temaram memantulkan siluet tiga orang di meja bundar.

“Pakde” duduk di tengah. Lelaki berusia sekitar enam puluh, rambutnya perak tapi matanya tajam seperti belati. Di depannya, secangkir kopi hitam mengepulkan aroma pahit. Tangannya mengetuk-ngetuk meja, ritme lambat tapi mematikan.

“Rani, pastikan dana masuk ke tiga rekening pagi ini,” katanya datar. “Adrian, malam ini Eastern Glory harus berangkat. Tidak peduli cuaca, tidak peduli patroli.”

Rani, perempuan berusia empat puluhan dengan kacamata tipis dan tatapan dingin, membuka laptop. “Kita punya masalah, Pakde. Ada sinyal bahwa intel pemerintah sudah memantau jalur ini sejak minggu lalu. Kalau mereka menyadap komunikasi,—”

“Diam.” Pakde mengangkat tangannya, memotong kalimat itu seperti pisau mengiris daging. “Mereka tidak akan menemukan apa-apa. Semua jalur informasi sudah kita tutup. Dan kalau ada yang berani membocorkan, kalian tahu apa yang akan terjadi.”

Adrian, pemuda berjas biru rapi, menelan ludah. Dia bukan pemain lama di meja ini, tapi cukup cerdas untuk tahu bahwa ancaman Pakde bukan sekadar kata-kata.

Rani menutup laptopnya perlahan. “Kalau ada pemeriksaan mendadak?”

Pakde tersenyum tipis. “Kita punya ‘kawan’ di istana yang memastikan semua pintu terbuka. Dari sana, aliran barang akan turun ke pelabuhan tanpa hambatan. Percayalah, Rani. Permainan ini sudah berlangsung jauh lebih lama daripada umur kariermu.”

Suara hujan mulai mengetuk kaca jendela, seperti irama rahasia yang hanya mereka bertiga mengerti. Di bawah sana, kota terus berdetak, tak menyadari bahwa di ruangan inilah, jalannya minyak—dan kekuasaan—sedang diatur.

Dan di luar pintu, tanpa mereka sadari, seseorang berdiri di balik dinding, menahan napas, merekam setiap kata.

Gudang Bayangan

Jam menunjukkan pukul 01.37 dini hari ketika sebuah truk tangki tua, catnya pudar dan berkarat, meluncur pelan melewati pintu gerbang besi sebuah kompleks gudang di pinggiran kota. Di gerbang, dua pria berbadan besar dengan rompi hitam dan pistol di pinggang memeriksa kartu identitas sopir—ritual yang lebih mirip formalitas daripada pemeriksaan sesungguhnya.

Lampu-lampu sorot di halaman kompleks hanya menerangi sebagian kecil area, sisanya tenggelam dalam gelap. Suara rantai besi beradu, diiringi derit engsel pintu gudang yang dibuka dari dalam. Bau solar langsung menyeruak, bercampur aroma minyak mentah dan oli mesin.

Di dalam gudang, bayangan orang-orang bergerak cepat. Beberapa memakai helm proyek, sebagian lain mengenakan masker kain lusuh. Tangki-tangki besar berwarna abu-abu berderet seperti raksasa tidur, sementara selang-selang hitam tebal melilit lantai seperti ular.

Seorang pria berkemeja putih, perutnya menonjol, berdiri di tengah keramaian. Ia dikenal dengan panggilan “Uban”—mantan pegawai pelabuhan yang kini menjadi pengatur semua arus keluar-masuk barang di wilayah ini.

“Cepat! Kita punya waktu dua jam sebelum truk terakhir datang,” suaranya serak namun penuh wibawa. “Tangki nomor empat isi sampai penuh. Jangan sampai tercampur!”

Seorang pekerja berbisik pada rekannya sambil memandang ke arah Uban, “Kudengar malam ini isinya nggak main-main… nilainya miliaran.”

Rekannya hanya mengangguk tanpa berani menatap langsung. Di dunia mereka, terlalu banyak tahu adalah tiket cepat menuju liang kubur.

Dari sudut gudang, seorang wanita dengan jaket kulit hitam dan ransel kamera kecil memotret diam-diam. Lensa kameranya menangkap aktivitas setiap pekerja, setiap tangki, bahkan nomor plat truk yang keluar-masuk. Dia tahu ini bukti yang dicari banyak pihak—terutama orang-orang yang ingin menjatuhkan jaringan Pakde.

Namun, tepat saat ia mengatur fokus untuk memotret Uban, sebuah suara dingin terdengar di belakangnya.

“Bagus… bidikan yang rapi. Sayang, kamu memotret di tempat yang salah.”

Dia membeku. Bayangan tinggi seorang pria menutupi tubuhnya, dan dalam genggamannya berkilat baja dingin dari moncong pistol

Jejak di Laut Lepas

Fajar baru saja merekah di ufuk timur ketika langit Laut Jawa disapu cahaya oranye pucat. Ombak memantul lembut di buritan kapal Eastern Glory, sebuah kapal tanker berbendera asing yang tubuhnya tampak megah namun menyimpan rahasia kelam di perut baja raksasanya.

Di geladak atas, seorang pria berkaca mata gelap memegang teropong, matanya menyapu cakrawala. Ia dikenal di lingkaran gelap pelabuhan sebagai “Kapten Raka”—mantan perwira TNI AL yang membelot demi uang. Di tangannya, kapal ini bukan sekadar sarana angkut, tapi jalur emas yang menghubungkan gudang-gudang bayangan di pesisir dengan pelabuhan luar negeri yang tak pernah tercatat di manifest resmi.

Di ruang kendali, suara radio statis memecah kesunyian.

“Muatan aman. Pihak ‘Atas’ minta tiba di perairan bebas sebelum tengah malam,” ujar suara berat di seberang.

Kapten Raka hanya mengangguk pelan, meski tahu orang di ujung sana tak bisa melihatnya.

“Tidak ada yang bisa menghentikan kita. Di laut, hukum yang berlaku adalah siapa yang punya kapal lebih cepat dan senjata lebih besar.”

Namun, tak jauh di belakang Eastern Glory, kapal cepat milik Badan Penegak Hukum Maritim bergerak diam-diam, dipimpin oleh Komandan Satria—mantan rekan Raka yang kini menjadi musuh bebuyutan. Di tangannya ada foto-foto buram hasil pengintaian seorang wanita misterius yang menghilang di gudang malam tadi.

“Pastikan kita tetap di radar bayangan. Jangan sampai mereka tahu kita mengikuti,” perintah Satria pada kru navigasi.

Ketegangan di laut kian memuncak. Angin membawa aroma garam bercampur dengan rasa was-was yang menekan dada. Di kejauhan, burung camar beterbangan, seakan menjadi saksi bisu permainan kucing dan tikus ini.

Di kabin pribadinya, Kapten Raka menatap sebuah map cokelat berisi daftar nama, nomor rekening, dan kode-kode transaksi. Di sudut halaman, tertulis inisial P.D.—sinyal yang hanya dipahami oleh segelintir orang yang tahu bahwa operasi ini tidak berhenti di pelabuhan. Semua jejak mengarah kembali… ke jantung kekuasaan.

Sementara itu, Satria tahu satu hal: jika Eastern Glory lolos malam ini, maka bukti keterlibatan “orang dalam” akan menguap di lautan, selamanya.

Di cakrawala, matahari mulai memanjat langit, namun di perairan ini, bayang-bayang justru kian pekat.

Pintu Rahasia di Istana

Malam turun dengan perlahan di Jakarta. Lampu-lampu kota memantul di genangan hujan sore tadi, menciptakan mozaik cahaya di halaman Istana. Di balik megahnya gerbang, sebuah pintu kayu berlapis cat putih—yang bagi sebagian orang hanyalah pintu ke ruang arsip—menjadi jalur masuk menuju pusat kendali operasi gelap yang telah berdenyut selama bertahun-tahun.

Pintu itu hanya bisa dibuka dengan kunci khusus, dan malam ini, Pradana—pejabat senior yang dikenal publik sebagai birokrat bersih—berjalan cepat melewatinya. Di tangan kirinya, sebuah ponsel satelit berkode enkripsi; di tangan kanannya, map tipis berisi catatan kapal, kode sinyal radio, dan jadwal keberangkatan tanker.

Di ruangan yang redup hanya diterangi lampu meja, Rafiq, penghubung antara lingkaran Istana dan para bandar pelabuhan, sudah menunggu.

“Raka sudah di laut. Gudang Bayangan aman. Tapi Satria… dia terlalu dekat kali ini,” ucap Rafiq pelan, matanya tak berani menatap langsung.

Pradana duduk, membuka map, lalu menarik napas panjang.

“Satria itu masalah. Tapi masalah lebih besar adalah… kita tidak bisa berhenti sekarang. Semua jalur uang sudah mengalir. Banyak kepala besar yang ikut mandi di sungai ini.”

Rafiq ragu sejenak. “Bagaimana dengan permintaan ‘Orang Tua’?” Pradana menatapnya lama, lalu tersenyum tipis.

“Besok pagi, dia akan terima laporan bahwa semuanya berjalan lancar. Tidak ada bocor, tidak ada pengkhianat.”

Tapi di luar ruangan, seseorang berdiri di balik bayangan pilar koridor—Alya, staf muda yang selama ini dianggap hanya pengurus dokumen, ternyata diam-diam merekam percakapan itu dengan alat perekam mikro di saku blazernya. Ia tahu taruhannya nyawa, tapi juga tahu bahwa bukti ini adalah satu-satunya cara menghentikan rantai korupsi yang menghubungkan pelabuhan kotor dengan ruang rapat tertinggi negara.

Suara hujan mulai terdengar di atap istana. Petir menyambar jauh di utara, seolah mengisyaratkan badai yang akan datang. Alya menutup ponselnya dan berbalik, jantungnya berdegup kencang—tak sadar bahwa dari dalam ruangan, mata Pradana sudah menatap ke pintu, seperti merasakan keberadaan tamu tak diundang.

Pertarungan di Dermaga Tengah Malam

Dermaga tua di pesisir utara itu tampak seperti bangunan mati jika dilihat dari jauh—hanya bayangan crane berkarat, lampu-lampu redup, dan suara ombak menghantam tiang beton. Tapi di balik kegelapan, operasi besar sedang berlangsung. Truk-truk tangki berderet, mesin diesel menderu pelan, dan para pekerja bayangan bergerak seperti hantu, memindahkan cairan hitam dari perut kapal ke pipa-pipa darat tanpa satu pun catatan resmi.

Satria, wartawan investigasi yang selama berminggu-minggu menguntit pergerakan mereka, merapatkan hoodie-nya. Dari balik kontainer, ia memotret setiap langkah—nomor lambung kapal, wajah para mandor, hingga mobil hitam berpelat khusus yang baru saja tiba.

Mobil itu berhenti, dan dari dalamnya keluar Darman, orang lapangan Pradana. Suaranya keras, meski hanya terdengar di lingkaran sempit para pekerja.

“Kita percepat malam ini. Informasi bocor. Besok mungkin tempat ini sudah disapu.”

Satria tahu ini kesempatan terakhir. Ia merayap di antara bayangan, mendekat ke arah sebuah gudang kecil di sisi dermaga. Di dalam, ia melihat peta rute pelayaran terpampang di dinding, dengan tanda-tanda merah yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan rahasia di Kalimantan, Sumatera, hingga perairan internasional.

Tiba-tiba, dari belakangnya, sebuah suara berat memecah keheningan.

“Kau pikir bisa masuk begitu saja, Nak?”

Satria berbalik. Seorang pria besar berjaket kulit—Kelana, tangan kanan Darman—berdiri dengan senyum miring dan sebilah pisau di tangannya. Sebelum Satria sempat bereaksi, suara peluit panjang terdengar dari arah laut. Lampu sorot kapal patroli meledak di kegelapan, menyapu dermaga.

Suasana berubah jadi kekacauan. Para pekerja berlarian, truk mulai bergerak, dan suara tembakan peringatan menggema di udara malam. Satria memanfaatkan momen itu, menendang tumpukan tong ke arah Kelana, lalu kabur keluar gudang.

Namun, ketika ia hampir mencapai pagar dermaga, sebuah mobil hitam lain meluncur dan menghadang jalannya. Pintu terbuka, dan dari dalamnya, Pradana keluar, berdiri tegak dengan tatapan dingin.

“Kau sudah melihat terlalu banyak, Satria.”

Satria terdiam, napasnya berat. Di kejauhan, sirene patroli makin mendekat. Tapi ia tahu, di hadapannya bukan hanya soal pelabuhan atau mafia migas—ini tentang kekuasaan yang menjalar dari dermaga kotor hingga ruang rapat paling bersih di negeri ini. Dan malam itu, semua rahasia itu nyaris terkuak… atau terkubur selamanya di bawah gelapnya laut.

Satria Pasrah. Ia sadar, kekuatannya terbatas. Dihadapannya berdiri kerajaan mafia migas yang bentengnya sulit ditembus. Entah sudah berapa lama, tetapi rasanya kerajaan ini umurnya lebih tua dari republik.

 

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K