Oleh: Budi Puryanto
Ayam jago kedua sudah siap untuk dilepas. Begitu juga ayam jago Cindelaras. Tetapi tiba-tiba ada penonton yang maju berbicara. Orangnya tinggi. Badannya kurus. Kulitnya kuning. Memakai baju batik kecoklatan, celana hitam. Rambutnya panjang sebahu. Hitam rapi. Masih muda, tapi lebih tua dibanding Cindelaras.
“Maaf tuan-tuan. Ini pertandingan macam apa. Saya perhatikan dari awal, pertandingan ini tidak pantas dilaksanakan di bumi Jenggala. Tuan-tuan membuat aturan seenaknya sendiri. Mana ada menghukum ayam yang sedang kluruk. Apalagi dengan menghukum tarung satu lawan lima. Ini tidak adil. Tuan-tuan telah berbuat sewenang-wenang terhadap anak muda yang tidak melakukan kesalahan apapun,” kata orang muda itu dengan lantang. Kadang jari tangannya menuding, kadang bersedekap. Tidak ada rasa takut sedikitpun dari sikap dan ucapannya.
“Siapa saudara. Ada apa mencampuri urusan kami,” jawab tokoh desa, yang juga penanggung-jawab pertandingan adu jago itu.
“Siapa saya itu tidak penting. Saya warga negeri ini. Saya kesini hanya ingin lihat adu jago. Saya dengar disini, hari ini ada pertandingan. Tapi setelah aku lihat, rupanya bukan pertandingan. Tapi pengeroyokan,” jawab orang muda itu enteng.
“Sekarang tolong dijawab, anak muda ini dihukum atas kesalahan apa,” tanya orang itu tajam, sambil telunjuk tangannya mengarah ke Cindelaras.
“Kisanak, ayam jago anak ini tadi pagi kluruk sangat keras. Terdengar sampai jauh. Sampai didesa-desa sebelah. Sehingga orang-orang mengira adu jago sudah dimulai pagi tadi. Padahal adu jago yang sebenanrnya baru akan digelar siang hari. Kami yang mengurusi pertandingan ini belum siap. Ini semua gara-gara kluruk ayam anak muda ini. Dia kami anggap salah. Harus menerima hukuman,” jawab tokoh desa.
“Dan hukumannya pengeroyokan. Maksudku ayam anak muda ini dikeroyok oleh lima ayam secara bergantian. Sepertinya tuan-tuan takut dikalahkan oleh ayam hebat ini.”
“Jangan banyak bicara. Apa maumu.”
“Ya seperti tadi saya katakan. Saya ingin lihat adu jago. Lalu ikut taruhan. Kalau seperti yang tuan-tuan adakan ini, saya dirugikan. Saya tidak bisa taruhan. Padahal saya datang dari jauh ingin taruhan. Ingin mendapat uang yang banyak dari taruhan itu,” ucap orang itu memanaskan suasana.
“Baik kalau itu maumu. Sekarang dibuka taruhan. Tapi aturannya tetap ayam anak muda ini harus melawan empat ayam lagi. Untuk menjalani hukuman. Tapi jika dalam pertaurungan kedua nanti ayamnya mati, pertandingan dianggap selesai,” kata tokoh desa itu.
Orang asing itu senang. Dia jagokan ayam Cindelaras, dengan taruhan cukup banyak. Lawannya seorang bebotoh jagokan ayam kedua yang disiapkan untuk bertarung.
Sementara Cindelaras sendiri tidak terpengaruh dengan adanya bebotoh yang menjagoi ayamnya.
Pertandingan kedua dimulai. Tapi lagi-lagi ayam jago kedua keok tidak lama setelah bertanding. Kali ini, penonton berani bersorak. Keberanian penonton terbakar saat anak muda tadi berani mempertanyakan aturan pertandingan. Berani menilai aturan yang tidak adil. Berani menantang bebotoh desa untuk taruhan, yang nilainya cukup banyak.
Baca Juga:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 5)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 6)
Orang asing yang masih muda itu memenangkan taruhan, tersenyum dan mendekati Cindelaras.
“Siapa namamu anak muda”
“Cindelaras”
Tiba-tiba dia berkata keras,”Tuan-tuan, dua pertandingan sudah dimenangkan oleh ayam jago milik anak muda ini. Namanya Cindelaras. Jadi saya ingin bertanya lagi, apakah tuan-tuan masih ingin melanjutkan pertandingan ini. Saranku, hentikan saja. Karena ayam kalian bukan tandingan dari ayam milik Cindelaras ini,” kata orang asing itu tanpa beban. Kata-katanya makin memanaskan situasi pertandingan. Orang yang sudah kalah dua kali, tentu saja panas dingin mendengar kata-kata orang asing itu.
“Tapi kalau tuan-tuan disini masih nekad untuk meneruskan, silakan itu hak kalian. Tapi saya minta jumlah taruhan ditingkatkan sepuluh kali lipat,” lanjut orang asing itu sambil tersenyum penuh kemenangan.
Bebotoh desa merasa makin tertantang. Ditambah perkataan orang asing itu yang memanaskan kuping, mereka tidak akan mundur. Malu didepan masyarakat kalau tidak meladeni tantangan orang asing itu.
Para bebotoh desa berunding sebentar dan setuju dengan tantangan itu. Mereka rupanya patungan untuk melawan orang asing itu. Sendirian uangnya tidak cukup. Apalagi sudah kalah dalam taruhan sebelumnya.
Ayam jago ketiga sudah disiapkan dipinggir arena. Setelah diberi makan, minum dan dimandikan dengan air kembang, siap untuk dilepaskan. Sementara ayam jago Cindelaras hanya diberi minum secukupnya, tapi anehnya tidak tampak kelelahan. Juga tidak ada goresan luka ditubuhnya, dari kaki hingga kepala. Matanya tetap bersinar terang. Tidak ada takut sama sekali.
Kondisi ayam ketiga ini lebih parah. Setelah ayam jago Cindelaras kluruk keras, lebih keras dari sebelumnya, ayam ketiga itu bergetar badannya. Tidak diduga oleh siapapun, termasuk oleh pemiliknya, ayam itu langsung melompat pergi keluar dari arena. Kabur lari, entah kemana.
Kontan saja para penonton tertawa terbahak-bahak, melihat adegan jago itu. Sorak dan tepuk tangan meriah meledak seketika. Arena menjadi ramai sekali.
Sesuai aturan yang berlaku, ayam yang keluar arena dianggap kalah.
Melihat kejadian ini, orang asing tadi diam mematung. Memandangi ayam jago Cindelaras. Dia memang yakin ayam itu akan menang, setelah melihat dua pertandingan sebelumnya. Tetapi melihat ayam jago ketiga lari dari arena, dia merasa kaget dan kagum. Tapi bisik hatinya yang terdalam dia sangat senang. Sebagai bebotoh dia menang besar hari itu. Tapi bukan itu yang lebih membuatnya senang. Ayam ini akan menjadi sumber kekayaannya.
“Ayam jago ini pilih tanding. Sepanjang hidupnya sebagai bebotoh, baru kali ini melihat ayam jago sehebat ini. Tarungnya nggegirisi, kluruknya keras dan merdu, warna bulunya indah berwarna-warni. Satu lagi, ayam ini tak punya rasa takut saat bertanding,”katanya dalam hati.
Pertandingan akhirnya dihentikan. Karena keanehan berikutnya muncul. Saat ayam jago ketiga melompat lari dari arena pertandingan, rupanya ayam keempat dan kelima juga lepas dari kurungannya. Menghilang entah kemana larinya. Mereka seperti ketakutan saat mendengar kluruk ayam Cindelaras.
Bebotoh desa kecewa dan kesal. Sudah kalah taruhan besar, jagonya juga hilang. Sial benar hari ini, pikir mereka.
“Ini gara-gara ayam setan itu,” kata seorang bebotoh.
“Itu bukan ayam biasa. Saya yakin itu siluman. Lihat, ayam saya lari ketakutan mendengar kluruknya,” sahut bebotoh desa lainnya.
Pertandingan itu tak habis-habisnya dibicarakan masyarakat. Ada yang kagum dengan ayam Cindelaras. Ada juga yang sinis, merasa kejadian tersebut tidak wajar. Ada yang menyebut Cindelaras menggunakan sihir.
Baca juga seri sebelumnya:
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe&” Menjegalnya – (Bagian 1)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 2)
- Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 3)
Sementara itu Cindelaras bersama orang asing yang ternyata bernama Aryadipa, langsung keluar dari desa itu. Sejak peristiwa didesa itu, keduanya akrab. Usia keduanya terpaut tidak jauh. Sekitar lima tahunan. Aryadipa lebih tua.
Dia seorang pengembara. Setelah belajar disuatu padepokan, oleh gurunya disuruh untuk mematangkan ilmunya dengan cara “topo ngrame”. Menemukan “guru laku”. Bertapa di keramaian. Artinya, dia harus berbaur ditengah masyarakat untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatnya. Membela yang lemah. Menegakkan kebenaran. Mebantu sesama yang membutuhkan pertolongan.
Mereka memiliki kesukaan yang sama, adu jago. Sebenarnya tidak sama persis, Aryadipa lihat adu jago selain senang, dia ikut bertaruh uang, mengadu untung. Kalau Cindelaras dia suka aja. Dia menikmati pertandingan adu jago itu. Apalagi ayamnya itu, suka sekali dengan pertarungan. Kalau tidak bertarung sehari saja, ayamnya kelihatan murung dan tidak bersemangat. Tapi kalau sudah ada di arena pertarunga, ayam jago itu semangat sekali. Tidak ada rasa takut samasekali. Sebaliknya semangatnya meluap-luap.
Cindelaras dan ayamnya sudah sejiwa. Dia saling mengerti dan memahami. Oleh karena itu Cindelaras berusaha memenuhi keinginan ayamnya untuk mencarikan lawan tanding setiap harinya. Tidak ada kesulitan, disepanjang perjalanan hampir di setiap desa dia menemukan arena adu jago. Besar maupun kecil.
Cindelaras pasti ikut bertanding. Dan selalu menang. Tak terhitung lagi berapa kali sudah betanding. Sebagai akibatnya, pundi-pundi uang Aryadipa pun semakin banyak. Dia juga memenuhi permintaan Cindelaras. Setelah menang bertanding, agar sebagian uangnya diberikan kepada orang-orang miskin di desa itu.
Awalnya dia tidak bisa memahami permintaan Cindelaras. Tetapi dia nurut saja, karena Cindelaras sumber uangnya. Tapi, lama-lama dia mendapatkan kesenangan membagi-bagi uang setelah pertarungan itu. Ada kesenangan yang sulit dilukiskan, kata Aryadipa suatu hari.
“Saat memberi sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan, ada rasa senang yang sulit digambarkan. Senangnya beda dengan menang taruhan adu jago. Sekarang muncul dalam diriku sebuah dorongan untuk terus memberi orang lain. Sesuatu yang dulu aku tentang darimu. Sekarang aku bisa memahami, mengapa kamu selalu memberikan uang hasil adu jago kepada orang lain. Orang miskin, orang tua, para janda, dan kepada para pengembara pencari ilmu sebagai bekal di jalan,” kata Aryadipa kepada Cindelaras.
“Tapi, aku lihat kamu tidak pernah kehabisan bekal, Cindelaras. Bekalmu banyak ya, kamu pasti anak orang kaya. Kamu pasti sedang menyamar menjadi rakyat biasa. Lagipula kalau kamu mau, ayam jagomu itu akan menjadikan kamu kaya raya. Anak muda yang kaya raya. Ganteng. Sayang belum ada gadis yang kamu cintai. Padahal kalau mau, berapapun jumlahnya mudah kamu dapatkan,” ledek Aryadipa sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Saya masih terlalu muda untuk mencintai wanita. Ada yang lebih tua dariku, tapi juga belum punya wanita pujaan, apalagi isteri,” jawab Cindelaras sambil tersenyum.
“Kamu ngeledek aku ya. Sebenarya aku pernah mencintai seorang gadis cantik di kampungku dulu. Tapi orangtuanya tidak setuju. Orangtuanya ingin anaknya kawin dengan orang kaya atau pejabat istana. Makanya aku meninggalkan kampungku untuk berguru sekaligus untuk melupakan gadis cantik yang aku cintai itu,” kata Aryadipa sambil menerawang jauh.
Pandangannya kosong. Mencoba mengenang gadis cantik kekasih hatinya itu. Tiba-tiba wajah gadis itu terpampang didepan matanya.Jelas sekali.
“Apakah dia masih mencintaiku. Apakah dia sudah dikawinkan dengan pria pilihan orangtuanya,” katanya dalam hati. Seribu pertanyaan menumpuk di kepalanya, tanpa ada jawaban. Aryadipa diam menunduk.
“Aryadipa, aku memang belum pernah jatuh hati kepada seorang gadis, sepertimu. Tapi aku bisa merasakan kesedihanmu. Yakinlah, suatu ketika kamu akan bertemu dengannya. Itu kalau memang kamu berjodoh dengannya. Kalau tidak, yakinlah Tuhan akan menggantinya dengan gadis yang lebih cantik. Lebih baik dari kekasihmu itu,” ucap Cindelaras.
Perkataan Cindelaras menyadarkan dirinya.
“Ya kau benar. Aku harus melupakannya. Tidak boleh larut terus-menerus. Aku harus memandang kedepan, bukan begitu Cindelaras,” kata Aryadipa.
Tanpa sadar pembicaraan kedua pemuda yang belum lama saling mengenal itu berlangsung sampai lewat tengah malam. Kokok ayam kampung di kejauhan terdengar sayup-sayup. Keduanya menghentikan pembicara, masuk kekamar masing-masing.
Rumah penginapan itu cukup besar. Namun tidak begitu ramai. Bisa dibilang sepi. Tiap hari paling cuma satu atau dua orang menginap disitu. Karena itu pemiliknya menurunkan harga sewa.
Saat diberitahu harganya, Cindelaras tidak menawar. Dia langsung setuju menyewa dua kamar. Satu kamar untuk Aryadipa. Satu kamar dirinya. Tentu saja dengan ayamnya.
Dari penginapan itu ke kotaraja tidak jauh. Tapi daerah itu cukup ramai. Banyak pedagang dari daerah lain berdatangan. Juga para penggawa desa, para mantri, juru pungut pajak. Mereka lebih suka menginap disitu sebelum menghadap ke keraton untuk berbagai urusan. Selain tidak jauh dari kotaraja, harga sewanya murah. Makanannya juga enak. Kalau sedang ramai penyewa, pengelola penginapan itu kadang mengundang penari dari desa terdekat untuk menghibur para tamu.
Tapi entah mengapa, Cindelaras merasa kerasan ditempat itu. Bukan karena murah, atau alasan lainnya. Alasannya sulit dijelaskan. Dia merasa tenang, tenteram, hatinya senang. Bahkan, keinginan ke kotaraja sudah tidak menggebu-gebu lagi seperti saat berangkat.
“Ada apa denganku. Mengapa aku seperti kehilangan arah. Bukankah kotaraja sudah dekat. Mengapa aku tidak bersemangat untuk pergi kesana?” kata Cindelaras dalam hati.
Dia tidak bisa tidur. Pikirannya melayang kemana-mana. Menjelang pagi barulah dia bisa memejamkan mata.
Namun, tidak disadari oleh Cindelaras bahwa ada sepasang mata mengintainya sepanjang malam itu. Dia mendapatkan tugas untuk mengamati gerak-gerik Cindelaras. Kemanapun dia pergi, apa yang dikerjakan, dengan siapa dia bertemu. Pengintai itu harus bisa melaporkan kepada atasannya, orang penting di istana Jenggala.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Related Posts

Novel: Imperium Tiga Samudra (6) – Kubah Imperium Di Laut Banda

Imperium Tiga Samudra (5) — Ratu Gelombang

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik

Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana

Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah

Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata



ufa191October 20, 2024 at 12:42 pm
… [Trackback]
[…] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-4/ […]
protein shakesJanuary 15, 2025 at 9:43 pm
… [Trackback]
[…] Read More Information here to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-4/ […]