Dimana Tanggung-Jawab Negara?

Dimana Tanggung-Jawab Negara?
3,2 juta orang terdampak banjir di Aceh, Sumut, dan Sumbar, sementara sekitar 700 lebih meninggal, 2.600 orang luka-luka dan 472 orang masih hilang.

Oleh: Radhar Tribaskoro

Ada sebuah kata yang semakin jarang terdengar dari bibir para pejabat negeri ini: tanggung-jawab. Kata yang sederhana, tapi di masa bencana ia seharusnya menjadi suluh moral, bukan sekadar formalitas konferensi pers. Namun ketika banjir bandang menyapu Aceh, Sumut, dan Sumbar—merenggut ratusan jiwa, menggulung rumah-rumah, menjebol jembatan, menenggelamkan desa—yang terdengar justru gema yang lebih sunyi dari diam: bukan saya.

Di negeri ini, alam seolah menjadi tertuduh yang paling mudah. Hujan deras, cuaca ekstrem, perubahan iklim. Semua dapat disebut tanpa risiko. Tapi siapa yang berani menyebut manusia—dan lebih jauh, negara?

Negara, dalam arti yang paling mendasar, hadir untuk mengambil alih kewajiban kolektif yang tak bisa ditunaikan oleh individu: keselamatan, ketertiban, perlindungan dari ancaman—termasuk ancaman yang sifatnya perlahan dan kumulatif, seperti rusaknya hutan dan kelalaian pengawasan. Tapi apa jadinya ketika negara—yang mestinya menjadi “penjaga” dalam arti paling purba—malah hadir sebagai siluet kabur di balik tragedi?

Di hadapan jurnalis, Menteri Kehutanan mengatakan bahwa ia “tidak pernah menandatangani satu jengkal pun izin eksploitasi hutan” di wilayah yang luluh-lantak itu. Menteri ESDM menolak ada tambang yang merusak kawasan. Menteri Lingkungan Hidup berdalih Amdal sudah lama tidak lagi menjadi syarat mutlak dalam perizinan. Pernyataan-pernyataan itu seperti daun-daun kering yang berusaha menutupi batang pohon yang tumbang. Tidak menyembunyikan apa-apa—hanya menegaskan betapa bobroknya keadaan.

Kita seakan menyaksikan sebuah koreografi penghindaran. Setiap pejabat berdiri pada bagiannya masing-masing, dalam tarian yang rumit namun dapat ditebak: menggeser beban ke “aturan”, ke “prosedur”, ke “masa lalu”, ke “cuaca”. Negara, alih-alih sosok yang bertubuh jelas, berubah menjadi bayangan yang memanjang: hadir ketika meminta kepercayaan, menghilang ketika ditagih pertanggungjawaban.

Namun Aceh, Sumut, dan Sumbar bukanlah satu-satunya teater hilangnya tanggung-jawab. Negeri ini seakan tersusun dari rangkaian ruang hampa, tempat institusi menghilang di saat genting.

Kita pernah melihatnya dalam proyek kereta cepat Whoosh. Kerugian ratusan triliun dibungkus sebagai “risiko investasi”. Tidak ada pejabat yang berdiri mengakui bahwa keputusan-keputusan terburu-buru itulah yang menenggelamkan uang rakyat, tidak ada penyelidikan atas segala kejanggalan. Yang muncul hanya optimisme kosong dan konferensi pers. BUMN yang merugi tak pernah punya wajah; kerugian ditanggung publik, keuntungan dinikmati segelintir. Di tengah angka-angka yang menguap itu, satu pertanyaan sederhana tak dijawab: siapa yang bertanggung-jawab?

Kita juga melihatnya dalam kasus yang paling absurd dalam sejarah republik: keaslian ijazah Presiden. Dokumen publik yang paling dasar berubah menjadi labirin kebohongan dan ketertutupan. Sungguh aneh, instansi-instansi negara yang berkewajiban membuat segalanya lapang dan terbuka, malah bertindak sebaliknya. Rakyat yang bertanya dipenjara. Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifa, Eggi Sujana, Rizal Fadillah menjadi tersangka—bukan karena memalsukan dokumen, tetapi karena berusaha mencari kebenaran. Negara bukannya menjawab, melainkan menyerang pertanyaan.

Di ruang lain, ada bandara internasional megah di Morowali—runway-nya bisa dilalui Airbus—tetapi tidak ada satu pun otoritas negara yang mengelolanya. Bandara yang tampak seperti simbol kemajuan ternyata berdiri di atas absennya negara. Ia menjawab pertanyaan yang lebih menakutkan: bahwa kedaulatan tidak hanya bisa dicuri, tetapi juga bisa dilepas secara sukarela.

Dan di atas semua itu, ada cawe-cawe seorang presiden yang ikut menentukan putusan partai, struktur kekuasaan, bahkan putusan hukum yang seharusnya independen. Ketika presiden turun tangan dalam segala hal, para pejabat di bawahnya berhenti berpikir. Mereka menunggu sinyal. Mereka mencari restu. Dan perlahan, mental aparat negara rusak. Tanggung-jawab tak lagi bersumber dari jabatan atau hukum, tetapi dari keinginan seorang penguasa.

Di Mahkamah Konstitusi, kita melihat tragedi etis yang lebih halus tetapi lebih dalam lukanya. Putusan yang mengubah batas usia calon presiden—yang kemudian mengantarkan seorang anak presiden ke puncak kekuasaan—ditandatangani dalam suasana yang sunyi, tetapi bau busuknya tercium jauh. Hakim konstitusi bukan hanya melanggar etika; mereka membalik makna hukum itu sendiri. Dan lagi-lagi tidak ada satu pun yang berani berdiri dan berkata: saya bertanggungjawab.

Semuanya seperti fragmen dari satu cerita besar: negara yang kehilangan fondasi moral.

Di titik inilah kata tanggung-jawab kehilangan suaranya. Ia pernah lahir dari akar kata yang indah—tanggung dan jawab—dua kata yang menandai keberanian menanggung dan kesediaan menjawab. Keduanya membentuk etika kehadiran: seseorang bertanggungjawab karena ia hadir dalam peristiwa itu; karena ia berperan; karena keputusan atau kelalaiannya punya jejak yang nyata.

Apa yang terjadi ketika seorang menteri mengatakan bahwa ia tidak pernah menandatangani izin? Ia mungkin benar secara administratif. Tetapi tanggung-jawab bukanlah anak kandung dari tanda tangan. Ia lahir dari peran. Dari kewenangan. Dari posisi yang diberikan publik untuk mencegah tragedi. Seorang nakhoda bertanggungjawab atas kapal bahkan jika ia tidak menyentuh kemudi setiap saat.

Kita telah begitu lama mengira bahwa negara adalah sebuah mesin yang bekerja berdasarkan prosedur. Padahal negara, sejak mula, adalah sebuah sistem moral: ia bekerja sejauh orang-orang yang mengisinya memiliki rasa tanggung-jawab. Ketika pemimpin-pemimpin negara menolak bertanggung-jawab atas aneka kerusakan yang mereka lakukan kepada negara, maka basis moral itu telah ambruk. Kepercayaan telah runtuh. Dalam keadaan seperti itu negara tetap berdiri semata dari belas-kasihan warganya. Tetapi jangan jumawa, belas-kasih itu ada batasnya.

Di Sumatera, sungai-sungai yang meluap itu tak pernah sekadar soal hujan. Selama puluhan tahun, hutan dibuka, lereng digergaji, sungai dipersempit. Izin demi izin berpindah tangan. Dalam banyak kasus, bukan izin yang salah: tetapi lemahnya pengawasan, absennya koreksi, dan diamnya negara saat aturan dilanggar. Ketika banjir bandang akhirnya datang, ia bukan sekadar bencana alam—melainkan akumulasi panjang dari keputusan politik.

Namun entah sejak kapan, pejabat kita mulai berperilaku seperti notaris: hanya mau bertanggungjawab atas apa yang ada di atas kertas. Padahal bencana yang merenggut ratusan nyawa itu tidak terjadi di atas kertas. Ia menghantam tubuh manusia, rumah, sawah, jembatan. Ia menelan anak-anak dan orang tua. Ia meninggalkan sunyi yang tidak dapat dihapus oleh alasan administratif.

Di negeri ini, ada kecenderungan halus yang makin kuat: tanggung-jawab diperlakukan sebagai beban, bukan kehormatan. Padahal di banyak tradisi masyarakat, pemimpin dihormati karena kesediaannya memikul kesalahan bahkan ketika bukan dia pelakunya. Seorang raja Jawa kuno akan memikul malu atas kelalaian bawahannya, beitu malunya sehingga ia bisa memotong kaki putranya sendiri semata lantaran menyentuh harta haram. Dalam budaya politik Jepang, ada prinsip yang sangat tua namun terus hidup: 責任 (sekinin) — tanggung jawab yang bukan hanya legal, tetapi moral, sosial, dan simbolik. Menurut logika sekinin: jika sebuah tragedi terjadi dalam domain yang Anda pimpin, Anda gagal — meskipun Anda tidak menyebabkan tragedi itu. Budaya politik itu yang mendorong seorang Menteri Transportasi Jepang mengundurkan diri setelah kecelakaan kereta-api yang mengambil ratusan jiwa. Ia tidak mengurusi kereta-api tetapi “secara moral saya bertanggung jawab,” katanya.

Di Korea Selatan ada budaya politik ch’im-myeon — menjaga kehormatan publik dan mencegah hilangnya kepercayaan rakyat. Budaya itulah yang menyebabkan seorang wali kota mundur ketika sebuah kapal tenggelam menyebabkan ratusan anak-anak meninggal. Setengah menangis walikota mengatakan, “ia bertanggungjawab. Ia tidak dapat melanjutkan jabatan setelah peristiwa itu.

Sementara itu di sini, di Indonesia moderen, tragedi berskala nasional, tidak membuat seorang pun pejabat bergeser sejengkal dari kursinya. Apa yang hilang dari negeri ini? Mungkin bukan hanya hutan. Bukan hanya sungai yang rusak. Yang hilang adalah kesediaan pejabat untuk berkata: “Saya bertanggungjawab.” Kalimat yang dulu dianggap mulia itu kini terdengar seperti kutukan. Mereka lebih rela dikejar kritik publik daripada memikul satu kalimat sederhana yang bisa menyembuhkan sebagian luka rakyat.

Jika negara adalah tubuh, maka tanggung-jawab adalah sarafnya. Ia menghubungkan tindakan dengan konsekuensi. Ia memastikan bahwa rasa sakit di kaki dirasakan juga oleh kepala. Ketika tanggung-jawab lumpuh, negara berjalan seperti tubuh yang kehilangan sensor: ia tidak lagi merespons kerusakan, tidak lagi belajar dari bencana, tidak lagi beradaptasi untuk mencegah tragedi berikutnya.

Mungkin karena itu bencana demi bencana terus berulang. Bukan hanya karena alam semakin ekstrem, tetapi karena negara kehilangan mekanisme untuk merasa bersalah.

Tentu, mudah bagi pemerintah untuk mengatakan bahwa hujan kali ini luar biasa. Bahwa curah hujan tak terduga. Bahwa cuaca ekstrem adalah gejala global. Itu mungkin benar. Tapi bencana yang memakan korban ratusan tidak bisa disederhanakan menjadi statistik hujan. Ia adalah hasil dari pertemuan antara alam yang berubah dan negara yang abai.

Seorang pejabat bisa mengelak dengan berkata bahwa izin itu diterbitkan sebelum masa jabatannya. Pejabat lain dapat mengatakan bahwa tambang berada di kawasan A, bukan kawasan B. Tapi rakyat yang kehilangan rumah tidak peduli pada koordinat itu. Mereka hanya tahu bahwa negara tidak hadir ketika mereka membutuhkan perlindungan, dan ketika bencana datang, negara hadir hanya untuk mengatur konferensi pers.

Apa sebenarnya arti tanggung-jawab negara?

Bukan sekadar menemukan siapa yang bersalah. Bukan mencari tanda tangan di berkas yang jauh. Tapi mengakui bahwa negara, dengan seluruh kewenangannya, telah gagal mencegah sebuah tragedi—dan karena itu negara perlu memperbaiki dirinya. Perlu transparansi. Perlu keberanian untuk mengubah aturan. Perlu kerendahan hati untuk meminta maaf. Perlu kesediaan untuk hadir di tengah korban bukan hanya sebagai pejabat, tetapi sebagai manusia.

Dalam masyarakat modern, negara bukan dewa yang tidak pernah salah. Tapi negara juga bukan makhluk gaib yang melarikan diri dari setiap peristiwa. Negara adalah institusi yang ditopang oleh manusia—manusia yang seharusnya sanggup menanggung dan menjawab.

Mungkin kelak kita akan belajar kembali bahwa kekuasaan tanpa tanggung-jawab bukanlah kekuasaan, melainkan pelarian. Dan bahwa bencana terbesar bukan badai yang datang dari langit, melainkan ketika negara berhenti merasa bertanggungjawab atas warganya.

Karena ketika itu terjadi, bukan hanya hutan yang runtuh—tetapi juga moralitas pemerintahan itu sendiri.

Cimahi, 4 Desember 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K