Oleh : Fauzul Iman
Sosok intelktual dari Jepang yang bernama Prancis Fukuyama merasa kelelahan setelah mempertaruhkn ideologi intelktualnya berkolobrasi dengan Persiden Bush Amerika untuk memporakporandakan Irak lewat peperangan biadab. Perang yang pling banyak memusnahkan peradaban menelan nyawa umat manusia saat itu. Fukuyama dengan bukunya yang berjudul Trust : Social Verture and creation of Prosperity telah menunjukkan sikap trustnya keluar dari prilaku neokonsertvatif bush yang sangat ganas menghancurkan peradaban Irak. Fukuyama dengan penuh penyesalan menyatakan bahwa perang ala bush telah membawa malapetaka dunia.
Integritas Fukuyama ini selayaknya menjadi renungn kuat terhadap persoalan yang banyak menimpa di Indonesia dalam situasi pandemi yang belum kunjung padam. Renungan itu terutama pada pemerintah sendiri yang telah membuat kebijakan berhadapan dengan para tokoh kaum intelektual yang memberikan masukan dan atau keritik strategis yang disampaikannya.
Sejak pandemi corona mulai lahir terjadi semacam kekalutan yang menandai para pejabat negara mengaku blum pngalaman dalam menangani pandemai corona. Sementara saat corona mulai merebak di negara-negara lain bulan Desember 2019 para pejabat indonesia memandang remeh seraya menyatakan virus corona tidak bakal terjadi di Indonesia. Kenyataanya setelah sebulan kemudian corona menyerbu Indonesia dan banyak menelan korban rakyat. Baru pemerintah dengan cepat bercampur sedikit panik berupaya menangani pandemi covid dengan cara memberlakukn PSBB.
Cara ini mulai menuai keritik dari para komponen intelektual yang menginginkan untuk diadakan lockdown dari pada PSBB yang tidak cukup kuat mengatasi pandemi dengan efektif. Sementara Gubernur DKI Anies Baswedan dan berberapa Bupati daerah lebih cendrung memilih cara lockdown. Dari sinilah awal munculnya ketidakkekompakkan antara pemerintah pusat dan daerah yang membuat keritik dari berbagai kalngan bermunculan termasuk dari rakyat biasa.
Pemerintah terkesan memandang angin lalu terhadap keritik yang datang dari berbagai elemen itu. Kebijakan terus berjalan dengan kebijakan lain seakan tidak dipandangnya sebagai masukan positif. Kebijakan lain di situasi pandemi yang teramat sensitif dengan tidak mempertimbangkan sama sekali kondisi psiologi umat, pemerintah mengajukn Rancangan HIP , UU Minerba dan Omnibus Law UU Cipta kerja. Kaum intelektual yang mengeritik keras kali ini lebih besar lagi tidak hanya dari tokoh kaliber perseorangan tapi juga suara lantang datang dari Ketua Umum PB NU dan Ketua Umum PP Muhamadiyah.
Baru setelah pimpinan orma besar itu turun gunung, Rancangan Undang Undang HiP ditunda pmbahasannya hingga sekarang. Para tokoh sedikit gembira, namun tetap dengan umatnya mewaspadai dan terus mengawasinya agar tidak dibahas kmbali apalagi diundangkan dengan cara sembunyi-sembunyi oleh komplotan konspirasi pemerintah dan DPR RI. Disamping itu Undang HIP dicurigai umat islam merupkan upaya penyelundupan kembali ideologi komunis oleh oknum Pemerintah dan DPR.
Kaum intelektual baik perorangn maupun yang diwakili tokoh ormas islam, LSM dan lain lain, tampaknya masih kecewa berat karena Undang-Undang Cipta kerja /Omnibus Law dan minerba yg tetap disahkan oleh DPR dan diberlakukan dengan begitu cepat. Undang-Undang yang ditengarai memberikan karpet merah kepada pengusaha asing dan oligarki itu telah memicu kemarahan masif dar kaum intlktual . Tidak kurang lantangnya tokoh ormas dari Muhamadiyah, NU dan para buruh/pekerja lemah yang paling merasa banyak menelan korban kerugian turut mengeritik dengn pedas dan keras.
Tokoh/pemikir nasionl dari berbagai latar belakang pun tidak tanggung-tanggung secara personafikasi turut mengeritik dengan terang – terangan atas kecerobohan pemerintah dan DPR RI dalam membuat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat itu. Tokoh kaliber seperti Dien Syamdudin, Kwik kian Gie, Busyro, Mukaddas, Said Akil Siraj , Said Didu, Rijal Ramli, Faisal Basyri, Ricky Gerung, Didik Rachbini, para aliansi guru besar , Dekan dan dosen se Indonesia yang dilimpin oleh Prof Dr Susi Dwi Hardijanti. Bahkan terakhir aliansi guru besar yang dipimpin oleh Prof Dr Azyumardi Azra telah mendesak kepada KPK agar tunduk pada rekomendasi ambudsman yang menyatakan telah terjadi malaadministrasi pada praktek TWK yang dilakukan KPK terhadap 70 para pegawainya. Persiden dalam hal ini terlihat membiarkn kondisi terburuk KPK dan dituduh melakukan upaya pelemahan lembaga anti riswah tersebut.
Keritik publik yang diwakili para intelktual kaliber semakin menguat dengan berdirinya Organisasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia yang didirikan Prof Dien Syamsuddin. Koalisi berlanjut melakukan diklarasi dimulai dari Jakarta hingga ke daerah. Lagi-lagi pemerintah menggagalkn diklarasi koalisi itu dengan dalih mengganggu PSBB dengan kerumunan tak legal. Beberapa tokoh koalisi diduga melalukan makar yang berujung ditangkapnya tiga tokoh koalisi yaitu Jumhur Hidayat, Anton Permana dan Syahganda Nainggolan. Bahkan yang paling mengherankan dan sungguh sangat zalim , Din Syamsudin sebagai pimpinan koalisi yang sangat terkenal sebagai pejuang moderasi agama-agama di dunia kerap dibuly dan dituduh sebagai tokoh radikal dan diusulkan agar dipecat dari Ketua Majlis Amanah ITB. Tokoh- tokoh lain yang terkenal paling kritis seperti Refly Harun, Said Didu, Rocky Gerung, Fadli Zon dan lain lain juga tak luput dari serangan buly para buzer dan kerap dilaporkan ke Bareskrim dengan tuduhan melakukan tindak pidana.
Kondisi negara yang makin represif dan kurang memberikan kebebasan kepada suara kaum intelektual ini membuat Kwik Kian Gie tokoh intelektual/Pakar ekonomi PDIP bernasib mengalami kelelahan intelektual seperti Francis Fukuyama . Bedanya Fukuyama mengalami keleahan intelektual di tengah neo konservatif Persiden Bush yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan lewat perang irak. Kwik Kian Gie mengalami kelelahan intelektual berhadapan dengan pemerintah, yang menurutnya , represif menghalanangi kebebasan intlektual dalam menyampaikan pendapat , pikiran dan keritik. Kwik tidak ingin lagi bicara mengeritik pemerintah karena takut dengan para buzer yang suatu saat gampang melaporkannya ke polisi.
Dalam waktu jangka pendek, kondisi kelelahan kaum intelektual ini boleh jadi menguntungkn pemerintah karena statusquo akan tegak abadi dengan mempertahankan stabilitasnya dengan penuh kesemuan. Namun dalam waktu jangka panjang, bukan tidak mungkin, akan tumbuh otoritarianisme baru dari pemerintah dengan makin leluasa membuat kebijakan baru yang selalu merugikan rakyat. Terbukti sampai hari ini pemerintah masih tetap membuat kebijakan barunya dengan memasung peran kebebasan intelaktual untuk dipercaya memimpin Badan riset tingkat nasional ( BRIN). Lembaga riset ini justru dikomandoi oleh Dewan Pembina Megawati pimpinan partai politik terbesar yang sangat dicurigai bertendensi melakukan intervensi kepentingan.
EDITOR : SETYANEGARA
Related Posts

Kedaulatan Kompor – Martabat Negara: Orkestrasi Bauran Energi Dapur Rakyat: LPG, DME, Jargas & CNGR

Mengapa OTT Kepala Daerah Tak Pernah Usai?

Sedikit Catatan Pasca Pemeriksaan di Polda Metro Jaya (PMJ) Kemarin

Operasi Garis Dalam Jokowi: Ketika Kekuasaan Tidak Rela Pensiun

Jejak Kekuatan Riza Chalid: Mengapa Tersangka “Godfather Migas” Itu Masih Sulit Ditangkap?

Penjara Bukan Tempat Para Aktifis

FTA Mengaku Kecewa Dengan Komposisi Komite Reformasi Yang Tidak Seimbang

Keadaan Seperti Api Dalam Sekam.

Ach. Sayuti: Soeharto Layak Sebagai Pahlawan Nasional Berkat Jasa Besarnya Dalam Fondasi Pembangunan Bangsa

SPPG POLRI Lebih Baik Dibanding Yang Lain Sehingga Diminati Sekolah



รับเขียนแบบบ้านFebruary 6, 2025 at 5:48 pm
… [Trackback]
[…] Read More on to that Topic: zonasatunews.com/nasional/fauzul-iman-intelektual-yang-melelahkan/ […]