Belajar dari Aceh dan Sumatra: Hentikan Eksploitasi yang Menghancurkan Masa Depan Bangsa
Oleh: M. Isa Ansori
Minggu pagi, 7 Desember 2025, ketika para cendekiawan ICMI menancapkan bibit-bibit mangrove di pesisir Pesanggaran, Denpasar, negeri ini masih diselimuti kabut duka dari Aceh dan Sumatra. Banjir besar yang menghancurkan permukiman, memutus jalan, merendam ribuan rumah, dan merenggut ratusan nyawa itu bukan hanya peristiwa alam biasa. Lebih dari 800 orang ditemukan meninggal, dan sekitar 500 warga masih dinyatakan hilang, sementara ribuan hewan—mulai dari ternak warga hingga satwa liar—lenyap terseret arus. Ini bukan semata amukan hujan, tetapi akumulasi luka ekologis yang telah lama dibangun oleh tangan-tangan manusia.
Kita perlu jujur: bencana ini bukan sekadar takdir. Ia adalah cermin dari keputusan-keputusan masa lalu yang memprioritaskan eksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan daya dukung lingkungan. Gunung ditambang habis-habisan, hutan ditebang dengan dalih “kebutuhan investasi,” sungai-sungai dipersempit oleh konsesi industri, dan ekosistem yang selama ratusan tahun menjaga kehidupan masyarakat yang dilemahkan sedikit demi sedikit. Ketika alam akhirnya runtuh, yang jatuh bersama air bah bukan hanya rumah warga, tetapi juga seluruh klaim bahwa pembangunan telah berjalan “berkelanjutan.”
Di tengah lanskap muram itu, Silatnas ICMI yang berlangsung di Bali membawa energi berbeda. Kegiatan tanam mangrove yang dipimpin oleh Ketua Umum ICMI Arif Satria bersama Kepala Tahura I Gusti Ngurah Rai, dan Kepala Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar, Tri Adhi Wibisono, bukan sekadar kegiatan simbolik yang biasa menghiasi agenda formal sebuah pertemuan nasional. Ia menjadi bentuk kehadiran moral cendekiawan di titik paling krusial peradaban: penyelamatan bumi.
ICMI, yang sering dianggap sebagai kumpulan intelektual di ruang-ruang akademik, justru menunjukkan bahwa ilmu tidak boleh berhenti di menara gading. Ilmu harus turun ke tanah, menyentuh lumpur pesisir, menanam harapan, dan menghadirkan masa depan. Dan di sinilah pentingnya: aksi ini tidak dilakukan di ruang rapat, tetapi di ruang ekologis yang selama ini menjadi benteng terakhir perlindungan pesisir Bali.
Mangrove adalah simbol kesabaran bumi. Mereka tumbuh perlahan, tapi melindungi dengan kekuatan yang luar biasa: menahan abrasi, meredam gelombang badai, menjaga biodiversitas laut, dan menyerap karbon jauh lebih efektif daripada banyak tanaman darat. Dalam dunia yang bergerak menuju krisis iklim, menanam mangrove bukan pekerjaan kecil—itu adalah deklarasi keberpihakan.
Namun penanaman mangrove tidak akan berarti banyak jika kebijakan nasional tetap membuka pintu selebar-lebarnya bagi eksploitasi. Kita harus belajar dari Aceh dan Sumatra: deforestasi yang tidak terkendali menciptakan daerah aliran sungai yang rapuh. Hilangnya tutupan hutan mempercepat limpasan air hujan. Tambang-tambang terbuka melemahkan struktur tanah. Ketika hujan turun sedikit lebih tinggi dari biasanya, bencana menunggu seperti kutukan yang dijanjikan.
Data dalam satu dekade terakhir menunjukkan kecenderungan yang sama: daerah dengan tingkat eksploitasi sumber daya alam tinggi hampir selalu menjadi daerah dengan risiko bencana ekologis yang ekstrem. Bukan hanya banjir, tetapi longsor, kekeringan, hingga kebakaran hutan.bKarena itu, seruan untuk menghentikan eksploitasi berlebihan bukanlah romantisme aktivis. Ini adalah kebutuhan negara. Sebuah imperative moral dan politik.
Kita membutuhkan keberanian untuk meninggalkan paradigma yang keliru: bahwa pembangunan hanya bisa dicapai dengan menguras sumber daya alam. Dunia telah berubah, negara-negara yang bertahan bukanlah yang paling kaya bahan tambangnya, tetapi yang paling cerdas mengelola ekosistemnya.
Indonesia terlalu besar untuk dibiarkan runtuh oleh kerakusan segelintir orang. Terlalu indah untuk dijual murah melalui izin-izin yang melukai tanahnya. Dan terlalu penting bagi masa depan peradaban untuk dibiarkan ditentukan oleh logika keuntungan jangka pendek. Karena itu, kontribusi ICMI tidak boleh berhenti pada penanaman mangrove hari ini. Ia harus menjadi gerakan intelektual ekologis. Gerakan yang menuntut keberanian politik, mendorong pembaruan kebijakan, mengembalikan logika pembangunan kepada kepentingan rakyat dan keberlanjutan bumi.
Aksi di Pesanggaran hanyalah awal. Kita butuh lebih banyak desa yang ditopang oleh pengetahuan baru. Kita butuh lebih banyak pejabat yang mengerti bahwa setiap kebijakan ekologis akan menentukan nasib generasi masa depan. Kita butuh lebih banyak suara publik yang mendesak perubahan mendasar dalam cara negara memperlakukan tanah, air, hutan, dan lautnya.
Dari Aceh dan Sumatra kita belajar, dengan cara yang sangat menyakitkan, bahwa bumi tidak memberi ruang lagi untuk keserakahan. Dari Bali, melalui ICMI, kita belajar bahwa harapan selalu bisa ditanam kembali—pelan, tapi pasti.
Saatnya Indonesia memilih jalan baru: jalan penyelamatan bumi.
Jalan yang tidak hanya diisi oleh pemerintah, tetapi juga cendekiawan, komunitas lokal, umat beragama, pemuda, dan seluruh elemen bangsa. Jalan yang tidak hanya peduli lingkungan, tetapi peduli kehidupan itu sendiri. Karena menyelamatkan bumi pada akhirnya adalah menyelamatkan masa depan kita. Dan masa depan itu dimulai hari ini—dengan keberanian, kesadaran, dan keteguhan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama
Bali, 7 Desember 2025
Tentang Penulis :
M. Isa Ansori adalah Kolumnis dan Akademisi, Wakil Ketua ICMI Jatim serta Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya
EDITOR:REYNA
Related Posts

Tempat Tinggal Terbaik Bagi Orang-Orang yang Bertakwa!

Rakyat Yang Jadi Korban Dan Di Korbankan, Rakyat Yang Harus Bertanggung Jawab, Otak Dimana?

Berita Viral, Lagi-Lagi SMP Negeri 1 Purwoasri Kediri Lakukan Pungli, Terancam Dilaporkan ke Kepala Dinas Pendidikan Jatim dan Polres

Banjir Sumatra dan Mega Skandal Morowali, Ali Mahsun: “Di Jepang, Pejabat Terkait Mundur”

Pabrik Limbah Bulu Ayam Bodong di Desa Karangtengah Diduga Tak Berijin, Satpol PP dan Dinas DLH Harus Segera Bentindak

Saatnya Reformasi Intelijen (2) – Ketika Para Menteri Salah Membaca Sinyal Presiden

Saatnya Reformasi Intelijen (1) – Intelijen Berjalan Tidak Sesuai Fungsinya

Pulau – Pulau di Indonesia Akan Tenggelam Ke Laut

Dimana Tanggung-Jawab Negara?

Catatan Sinkronisasi Amandemen Ke-5 UUD NRI 1945 dan Kembali ke UUD 1945 Asli


No Responses